1. Ketika Senja Datang

29 2 0
                                    

Read slowly

•••

Seperti biasa, aku duduk di tepian karang pemecah ombak. Menikmati semilir angin yang menerpa wajah, dingin. Senja di hadapanku hampir menyentuh batas cakrawala. Hilir mudik burung lawet menghiasi langit jingga.

Kulihat langkahmu anggun di kejauhan, berjalan mendekat sembari tersenyum. Dan, kubalas dengan senyuman. Lalu, kau duduk di sampingku, seperti senja lalu-lalu.

Kau mulai berceloteh, menceritakan segala apa yang ingin kau tumpahkan. Anak-anak rambutmu yang sesekali menempel dipipi, kau pindahkan ke belakang telinga dengan jemari lentikmu. Aku memperhatikan, enggan berkedip walau sehelaan.

Kutatap matamu yang berbinar saat menceritakan harimu. Saat kau tersenyum. Aku pun tersenyum. Saat kau cemberut. Keningku berkerut.

Kalimatmu seolah menyihir diriku untuk terus memandangi ayunya wajahmu. Mata bulatmu saat bercerita kesenangan membuatku gemas. Bibirmu yang mengerecut, menarikku untuk mengecup.

Sayang, kau bukan milikku seorang.

Nun jauh di batas cakrawala itu, ada seseorang yang menjadi tokoh dalam ceritamu. Seseorang yang selama ini kau gambarkan dan kau jejali ceritanya kepadaku. Aku tak masalah. Tapi...

...aku hanya sesak.

Bagaimana bisa kau ceritakan fajar kepada senja yang mencintai langit yang sama?

"Esuk lusa ia datang, Sen." Lalu kau terkikik dan aku terkikis. Tawa kecilmu kali ini lebih menyayat dibanding lalu-lalu. Hatiku hancur dilebur cemburu. Tapi, aku hanya bisa tersenyum, enggan menampakkan senduku.

Kau lalu mulai berimajinasi, membayangkan hari-hari baikmu dengan kekasih dambaanmu itu. Aku hanya meringis, sesekali mengusap mata yang mulai tergenang tangis.

Matamu menyipit menatapku, pipi tembammu mengembang ketika kau tutup kalimatmu dengan:

Kami akan menikah bulan depan.

Byur!

Segulung ombak menjadi pengiring tragis dari kalimatmu. Sempurna sudah retak di hati ini, Nggi.

Senja mulai mencium cakrawala sekarang. Mata kami lurus, menatap lamat-lamat benda bulat di entah berapa kilometer sana yang terlihat dekat.

Genangan air mata dipelupukku sudah tak bisa kutahan lagi. Satu per satu dari mereka jatuh ke dasar laut. Hilang bersamaan deburan ombak yang memecah batu-batu karang.

Pandanganku mengabur. Berkabut tertutup embun air mata. Kutatap nanar dirimu. Rudira menghiasi ayu wajahmu.

Namun, entah mengapa, aku tersenyum.

Bangga.

Untuk pertama kalinya...

...kuciptakan senjaku sendiri karena aku memang Senja.

Senja memang tak diciptakan untuk langit biru. Maka, kuciptakan malamku sendiri dengan bertumpu pada langit yang sama.

Senja memang tak diciptakan bersatu dengan langit yang terang. Maka, kuciptakan malamku sendiri dengan bertumpu pada langit yang sama.

Kutatap dirimu yang mulai menjauh. Rambut panjangmu tergerai disibak air laut.

Sempurna.

Senjaku kini utuh.

Tak akan kupersembahkan langitku pada fajar. Biar kau jadi malam yang gelap bersama senja di ujung barat.

Aku pun menyusul terjun. Tenggelam bersama langit biruku padahal aku adalah Senja.

Dan, surya di cakrawala itu, sempurna tenggelam bersamaan dengan diriku dan dirimu yang terkoyak ombak sembari berpegangan hingga ke dasar.

•••

Tembang Luka [3/20]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang