Bagian 3

109 8 8
                                    

"Ngapain kalian berdua-duaan disini?" Bu Diah menghentikan 'aksi' cowok itu. Dan tentu saja mengagetkan kami. Cowok di depanku spontan melepas pegangan eratnya di bahuku.

Terima kasih Ya Allah, aku bernapas lega.

"Kamu tuh ya Arka, anak baru udah bikin kehebohan aja" Bu Diah menatap kesal pada si 'malaikat' penolongku. Jangan salah paham ya, dia kan memang malaikat penolongku. Mungkin kalau tidak ada cowok ini, aku sudah gegar otak dan jadi orang paling ngenes di sekolah. Lebay, ya? Biar.

"Habisnya bosen bu, sekolah kok isinya anak-anak ambis semua. Gak ada serunya ni sekolah" jawab Arka asal-asalan.

Bu Diah hanya tersenyum mendengar jawaban Arka, seperti beliau telah mengerti betul kelakuan cowok satu ini.

Tuh kan bener. Ni cowok emang anak baru, tapi kok kayak udah kenal banget ya sama Bu Diah? Siapa tadi namanya? Azka? Bukan bukan, Azka itu anaknya Deddy Corbuzier. Arka?

"Rania ngapain disini? Sana masuk kelas" Bu Diah beralih kepadaku. Sebenarnya bukan tatapan marah yang dia arahkan padaku, tapi tatapan tanda tanya. Apa yang dilakukan dua siswanya siang bolong begini di lorong sekolah?

"Eh? I.. Iya bu..."

"Kalau begitu sa... Saya permisi" kataku canggung. Meninggalkan Bu Diah yang hanya tersenyum melihat sikapku.

Sepanjang perjalanan kembali ke kelas, pikiranku melayang lagi pada cowok itu. Oh, jadi namanya Arka. Ganteng. Ku akui dia memang ganteng. Uhm, ditambah lagi penampilannya keren. Dia sempurna. Tapi tunggu, sikapnya membuat kesempurnaan itu menjadi berkurang. Memangnya dia pikir ini sekolah nenek moyangnya? Berani-beraninya berbuat mesum di siang bolong. Ah, tunggu. Berbuat mesum? Memangnya dia mau berbuat apa? Ah, bodoh.

***

Di kelas, aku duduk di sebelah Kayla seperti biasanya. Dua jam pelajaran terakhir menjadi surga bagi semua siswa karena cuaca yang panasnya. minta ampun dan mendapat kiriman kabar dari Sergio--si ketua kelas bahwa Bu Siti--guru bahasa jerman sekaligus guru paling killer-- tidak datang mengajar dan tidak pula meninggalkan tugas. Semua siswa segera mengumpulkan kubunya masing-masing di berbagai sudut kelas, beberapa anak laki-laki terlihat memegang handphone, sebagian lain menghadap laptop sambil mencengkeram stik PS diiringi teriakan,

"Woy itu tendang bego!!"

"Goblok! Bisa main ga sih?!"

"Modyar! Makan tu tendangan maut"

Beberapa anak perempuan tampak sibuk berkumpul dan melakukan kegiatan yang aku yakin semua cewek di dunia menyukainya. Menggosip.

"Psst... Tau gak sih? Itu lho si Rania, tadi siang pelukan sama Arka" Adel memulai bahan gosipnya. Gayanya cocok banget untuk bawain acara rumpi. Nada suaranya sengaja ditinggikan agar aku mendengarnya dengan jelas. Kalau memungkinkan, aku ingin sekali menampar mulutnya itu dengan sandal.

"Arka yang itu? Gila tu cewek! Modusnya gede banget" si Fera nimbrung seenak hati. Mulutnya susah sekali dihentikan.

"Gue juga mau kali gengs" Alya berkata centil sambil memukul-mukul lengan Adel di sebelahnya. Ngomongnya ala-ala anak kota yang sok-sokan.

Di rumah makannya ketela rebus sama sambel terasi aja belagu, aku merengut. Rasanya aku ingin melempar mereka semua dengan sepatu. Huh.

"Udah diemin aja. Anak-anak kayak gitu nggak usah didengerin" Kayla menenangkanku. Dia tahu aku marah.

"Eh tapi emang beneran ya yang nolongin kamu di tangga tadi siang itu si Arka?" lanjut Kayla.

"Kayaknya sih gitu, aku juga tau dari Bu Diah, tadi sempat ditegur waktu dia lagi ngajak ngobrol aku" jawabku sambil mengingat kejadian yang membuat jantungku sempat ingin meloncat tadi. Kejadian dimana akhirnya aku tahu nama malaikat penolongku, Arka. Malaikat penolong? Huh, lelucon apa itu Ran?

Kisah Klasik Tentang Kamu dan Hujan. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang