Bagian 7

73 7 6
                                    

Aku dan Kayla Sadiqa bersahabat sejak Sekolah Dasar. Saat itu aku berteman dengan dia karena kepintarannya. Kayla cantik, badannya ideal meskipun belum baligh, matanya bulat lucu sekali, kulitnya putih dan bibirnya kecil menggemaskan. Aku paling suka dengan kepribadiannya. Dia selalu tahu bagaimana harus berkelakuan saat aku sedang dalam kesulitan. Dia seperti 'bumi' ku. Memberi segala yang aku butuhkan saat dalam keadaan terpuruk. Tante Risna--mamanya Kayla-- adalah sahabat ibuku. Sama seperti aku dan Kayla sekarang, kedua ibu kami juga selalu bersama hingga lima tahun lalu saat Kayla bahkan belum lulus SD, sedang sibuk mempersiapkan diri untuk UN. Ibunya mendadak pergi meninggalkan selembar kertas bertuliskan,

Mama sayang Kayla. Tolong jangan benci Mama, nak.

Kayla hanya menangis. Menatap surat itu sepanjang hari sampai lupa untuk belajar. Hasilnya, nilai UN Kayla sangat tidak memuaskan. Dia tidak merasa kecewa karena sikap ibunya yang tiba-tiba pergi bahkan lebih mengecewakan. Diketahui satu tahun belakangan, tante Risna menikah lagi dengan seorang duda satu anak. Kayla tidak pernah menceritakannya secara detail dan aku juga tidak penasaran karena aku paham betul hal itu hanya akan menciptakan jarak diantara kami. Kini, Kayla tinggal bersama ayahnya yang seorang pengusaha. Keluarganya memang berkecukupan tetapi jarang sekali bahkan belum pernah sang ayah menyisihkan waktu untuk Kayla. Om Dedi--papanya Kayla-- selalu sibuk mengurusi ini itu di perusahaannya. Beliau sering sekali pergi pulang pagi.

Aku tahu Kayla kesepian, dia selalu menyimpan semua kesedihan sendirian. Dia mungkin merasa malu untuk menceritakan suasana hatinya jadi aku berusaha mengerti dengan diam saat dia ada masalah, seperti pagi ini, responnya singkat sekali bahkan terdengar tidak peduli. Aku mengambil kesimpulan bahwa dia sedang ada masalah alias tidak mood alias badmood alias mood-nya buruk. Oke, cukup.

Kembali pada balasan pesan Arka dan perasaanku yang campur aduk. Pipiku tersipu tapi di sisi lain hatiku mengatakan bahwa Arka bukannlah orang yang tepat untuk membuatku begini.

Kling!

Lamunanku terbuyarkan oleh suara ponsel yang kembali berbunyi. Notifikasi pesan lagi.

Arka Adhyatsa : udah aku bilangin jangan bengong nanti kesambet. Pagi ini kamu keliatan badmood , kenapa? Nanti pulang bareng ya biar aku ubah mood mu jadi goodmood:)

Aku termenung memandangi layar ponsel. Mengubah mood ku menjadi goodmood? Hah, dia bercanda. Siapa pula yang merusak mood ku pagi ini? Dia, bukan? Oke, mengapa aku harus badmood karena dia? Baiklah ini mulai rumit.

Tunggu sebentar, darimana dia tahu pagi ini aku badmood? Mata coklatku menyelidik setiap sudut kelas, kalau-kalau dia bersembunyi dan diam-diam memata-matai aku. Ah, atau cuma perasaanku? Argh, terserahlah.

Beberapa menit bergelut dengan pikiran, aku memutuskan untuk membalas pesan Arka,

Rania Sadhira : pulang sekolah nanti aku ada janji sama Kayla kak, maaf.

Aku berbohong. Astaga, Kayla saja sedang bermasalah mana bisa dia punya janji denganku tapi apa boleh buat. Aku terlanjur menyebut namanya untuk menolak ajakan Arka.

Ya Tuhan, ada apa dengan hatiku kali ini? Mengapa rasanya seperti hatiku terbelah menjadi dua? Sisi satu sungguh memaksaku untuk mengiyakan tawaran Arka sedangkan sisi duanya memaksaku untuk menolak tawarannya. Aku harus bagaimana? Mengapa aku labil sekali? Tapi tunggu dulu, bukankah kemarin aku mengatakan akan menerima semua perlakuan Arka? Sudahlah, semua menjadi semakin menyebalkan.

Ribuan pertanyaan menghujam kepalaku seperti hujan meteor menghujam bumi. Kepalaku rasanya akan meledak sebentar lagi.

"Ran, udah ngerjain pr matematika belum?" Revan menepuk pundakku. Membuyarkan lamunan.

Kisah Klasik Tentang Kamu dan Hujan. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang