#24 -- Amarah

7.4K 308 33
                                    

"Mas... jangan, Mas..."

Andini mengikuti langkah suaminya yang tergesa. Satya menepis tangan Andini yang berusaha merebut barang yang dipegangnya. Wajahnya merah padam perpaduan antara kemarahan dan kegusaran. Istrinya itu benar-benar telah menguji kesabarannya. Untung saja tadi dia memergoki Andini yang mengendap-endap hendak ke kamar mandi setelah dirinya keluar kamar. Satya langsung merampas barang yang coba disembunyikan istrinya di balik punggung dan mencari sisanya yang ia duga disimpan di laci meja rias istrinya, tempat yang tak pernah dijamahnya. Dan benar saja!

Sebenarnya Satya tak tega, namun ia sudah hilang akal menghadapi kelakuan istrinya yang makin menjadi. Satya melempar barang yang dipegangnya ke tempat sampah. Entah berapa jumlahnya. Mungkin sepuluh atau lebih.

"Mas, itu belum dipakai!" Seru Andini berusaha mencegah.

Satya justru menatap tajam istrinya. "Stop nyakitin diri kamu sendiri, Andini! Aku tersiksa melihat kamu seperti ini terus!"

"Mas, aku hanya..."

"Sudah berapa ratus test pack yang kamu habiskan, ha?! Berapa?! Aku sampai gila melihatnya!"

"Sekali ini saja, Mas.. please.."

Satya tak menggubris permintaan istrinya.

Mata Andini berkaca-kaca. "Aku hanya ingin punya anak, Mas.. kita sudah dua tahun lebih menikah.. bahkan Sinta yang baru dua bulan menikah saja sudah hamil.."

"Jadi karena Sinta? Kamu iri sama dia?!" Satya meremas rambutnya frustasi. Merutuki kedatangan adiknya yang justru meracuni pikiran istrinya. Biasanya adiknya itu selalu peka pada situasi. Tapi sekarang? Satya membuang napas kasar.

"Apa salah kalau aku iri dengan kebahagiaan Sinta?" lirih Andini.

"Ya Tuhan.. Andini, anak itu kuasa Yang Di Atas.. jangan pernah kamu menggugat takdir-Nya."

"Aku ingin hamil, Mas!"

"Pasti ada waktunya, Din.. jangan seperti ini kumohon."

"Aku ini perempuan. Mas nggak tau gimana rasanya jadi aku.. Mas bahkan menolak ideku untuk ikut program kehamilan.."

"Aku bukannya menolak, Din..." Satya masih mencoba bersikap lunak.

"Kalau begitu kita pergi ke dokter! Siapa tau ada yang salah denganku."

Satya mengusap wajahnya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak! Kita berusaha sendiri dulu saja sementara ini."

"Kenapa, Mas? Mas sepertinya nggak ingin punya anak dariku."

"Dini.. jangan bicara ngawur!"

"Memang iya kan? Mas lebih sering sibuk dengan pekerjaan."

"Dini!"

"Mas lebih suka lembur di kantor daripada menghabiskan waktu di rumah sama aku."

"Dini!"

"Barangkali memang Mas bosan denganku dan ada yang lebih menarik di kantor."

"Andini! Jaga bicaramu!" Bentaknya tak terima atas tuduhan istrinya yang tak mendasar.

Andini meringis sedih. "Kenapa? Mas mau marah? Itu memang kenyataan! Mas sibuk dengan urusan Mas sendiri tanpa peduli perasaanku!"

Satya menggeram. Tangannya mengepal. Sedari tadi ia mencoba menahan diri. Sekarang amarahnya sudah naik ke ubun-ubun kepala. Tak menyangka kalau istrinya akan melontarkan tuduhan-tuduhan yang mengusik harga dirinya. Andini seakan tak mempercayai perasaannya. Kesetiaannya. Keteguhan hatinya. Bahkan jika disuruh sumpah pocong pun Satya mau. Andini adalah satu-satunya wanita yang dicintainya. Dulu, sekarang, dan nanti. Takkan berubah dan tak perlu diragukan lagi.

Satya melepas kasar dasinya lalu mencengkeram erat lengan Andini dan menyeretnya paksa ke kamar mereka.

"Lepasin, Mas! Sakit! Apaan sih?!" Ronta Andini yang tak dipedulikan Satya.

Andini tersentak saat Satya melempar tubuhnya ke ranjang.

"Aku kerja keras dari pagi sampai malam buat kamu! Aku rela lembur buat kamu!Supaya bisa kasih kehidupan yang lebih layak buat kamu! Semua demi kamu, Andini! Demi kamu!!! Tapi kalau kamu memang nggak sabar mau punya anak.. baik, aku turuti! Peduli setan sama kerjaan!"

Tanpa pikir panjang Satya menindih tubuh istrinya. Andini terkejut dan berusaha menolak. Kepalanya menggeleng-geleng. Tak percaya dengan apa yang suaminya lakukan.

Jangan lagi, Ya Tuhan... aku mohon.. Mas Satya sudah berubah... Jangan buat dia melakukannya lagi...

"Lepasin, Mas.. lepasin... jangan... Mas lagi emosi! Aku nggak mau! Mas.. jangan..."

Tangan Andini bergerak menghalau tubuh kokoh Satya. Sekelebat bayangan masa lalu mereka yang kelam kembali hadir. Andini terisak mencoba mengusirnya. Ia masih berusaha menyadarkan suaminya.

Satya yang tak mau mempedulikan penolakan Andini justru menarik keras kemeja yang dikenakan istrinya itu hingga beberapa kancingnya terlepas. Saat hendak melanjutkan meraih pakaian dalam istrinya seperti ada hantaman telak yang memukul kepalanya.

Jangaaaan...

Lepasiiiin...

Ampuuun Mas...

Sakiiiit....

Satya langsung mundur dan memegang kepalanya yang terasa nyeri saat bayangan kebejatan masa lalunya muncul di permukaan. Kesadarannya berangsur bangkit. Ia terduduk lemah di kursi dan merapalkan istigfar berulang kali. Hampir saja.. hampir saja ia kembali menjadi lelaki bajingan. Lebih bajingan lagi karena sekarang statusnya adalah seorang suami yang seharusnya berkewajiban menjaga dan melindungi sang istri, bukan merusak apalagi melecehkan seperti yang baru saja ia lakukan. Mata Satya menatap Andini yang masih terisak di ranjang. Maafkan aku, Andini... maafkan aku...

Namun kalimat itu tak mampu Satya ucapkan. Dia merasa gagal memenuhi janjinya sebagai suami. Air mata Andini adalah bukti kegagalannya. Tanpa kata ia pun memilih menyingkir. Ia butuh waktu untuk memaafkan dirinya sendiri.

Brakk!

Andini terjengit kaget saat mendengar suara pintu dibanting keras. Dilihatnya suaminya sudah tak ada di kamar. Ia tak marah.. sungguh.. walaupun suaminya hampir memperkosanya. Yang ia rasakan hanya perih. Dan kosong. Andini sadar, ia yang tadi telah memicu pertengkaran dengan suaminya.

Suara deru motor kembali mengejutkannya. Andini bergegas keluar tanpa mempedulikan keadaannya yang acak-acakan.

"Mas Satya...!!!"

Sudah terlambat. Ia hanya bisa menyaksikan punggung suaminya yang menjauh bersama motor yang membawanya. Air matanya kembali mengalir. Entah kenapa ia merasa begitu gelisah.

***

Andini langsung mengangkat ponselnya begitu melihat ada panggilan dari suaminya.

"Halo, Mas.. aku..."

"Maaf, Bu. Benar dengan istrinya Pak Satya?"

"Anda siapa?" Tanya Andini. Jantungnya berdetak kencang. Kegelisahannya makin kentara.

"Saya Amir, rekan beliau. Mau mengabarkan kalau Pak Satya mengalami kecelakaan kerja di proyek. Sekarang sedang ditangani di rumah sakit Mitra Medika..."

Andini merasa langit runtuh seketika. Tanpa sadar ia sudah sesenggukan dengan ponsel yang masih menyala dengan suara yang memanggilnya. Baru tadi malam ia mencecap kemesraan dengan suaminya yang berubah menjadi pertengkaran di pagi harinya. Dan sekarang dalam hitungan jam semua berubah lebih buruk lagi. Tanpa bisa dicegah kata-kata Satya kembali terngiang di telinganya.

Aku kerja keras dari pagi sampai malam buat kamu! Aku rela lembur buat kamu!Supaya bisa kasih kehidupan yang lebih layak buat kamu! Semua demi kamu, Andini! Demi kamu!!!

Demi kamu!!!

Demi kamu!!!

Demi kamu!!!

***

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang