"Apa maksudmu?" tanya Reyhan dingin dan ini adalah percakapan pertama diantara kami setelah kami melangkah masuk ke dalam apartemen.
"Aku tidak mengerti," jawabku jujur sambil membebaskan sepasang heels dari kakiku. Faktanya aku memang tidak mengerti dengan ucapannya. Aku merasa tidak melakukan kesalahan.
"Ucapanmu itu."
"Ucapanku yang mana?"
"Kamu baru saja menyodorkanku kepada temanmu," imbuh Reyhan.
Langkahku terhenti. Aku memutar tubuhku yang sudah sampai di ambang pintu kamar dan memandang wajah Reyhan dengan heran. Laki-laki itu sudah melepaskan dasi kupu-kupunya bersamaan dengan dua kancing atas kemejanya.
"Sepertinya aku mengerti kenapa kamu marah," godaku setelah mengerti topik pembicaraan yang telah dipilih Reyhan kali ini.
"Aku bukan barang yang seenaknya bisa kamu sodorkan, No," desahnya lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.
Melihat hal itu aku berjalan mendekatinya dari arah belakang sofa dan memeluknya dari belakang.
"Kamu tidak suka dengan ucapanku atau Ellie?" bisikku tepat di telinganya. Entah sejak kapan, atau lebih tepatnya sejak kami tinggal bersama, aku jadi suka menggoda Reyhan.
"Dua-duanya," jawab Reyhan masih berusaha dengan tembok yang dibangunnya.
"Kamu harus memilih salah satu Reyhan. Atau kamu tidak akan mendapatkan keduanya," protesku yang alhasil membuat Reyhan terkekeh.
"Dan jawabanku adalah Ellie. Aku tidak suka dengannya." Lalu tanpa diduga Reyhan menarik dan mengangkat tubuhku sehingga aku jatuh diatas tubuhnya. Alhasil aku memekik terkejut, sedangkan pelakunya tertawa puas.
"Gotcha!" ucapnya bangga lalu detik berikutnya ia menciumku. Kami saling memagut seakan tak ingin melepaskan. Meski kenyataannya, bersama dengan Reyhan selalu tidak pernah puas. Bibirnya seakan ditaburi morfin yang akan membuatmu ketagihan. Lagi dan lagi.
Setelah kehabisan nafas, kami saling memandang. "Jangan pernah lepaskan aku No."
Aku tertegun mendengar ucapan Reyhan kali ini. Belum pernah ia mengatakan kalimat itu kepadaku sebelumnya. "Kenapa?" tanyaku sambil membelai lembut dagunya yang bebas dari bulu-bulu halus. Padahal aku lebih suka Reyhan memeliharanya. Dia terlihat lebih hot.
"Tidak apa-apa," jawabnya singkat lalu menangkap tanganku dan mulai kembali menempelkan bibirnya dengan bibirku. Tak butuh waktu lama, di ruangan ini dengan gairah yang telah bersarang di dalam diri kami masing-masing, kami kembali bersatu. Hingga akhirnya kami mencapai kepuasan. Sebuah kepuasan yang tak pernah usai meski tanpa cinta di dalamnya. Atau kami saja yang belum menyadarinya?
***
Suara burung berkicau yang hinggap di luar kaca jendela membuat kedua mataku perlahan terbuka. Saat itulah aku tersadar jika tubuhku terasa kaku dan pegal-pegal. Bagaimana tidak pegal? Reyhan berhasil membuatku kelelahan akibat olahraga malam yang dimulainya. Aku mengangkat wajahku dan menemukan wajah polos Reyhan yang masih pulas. Dengan hati-hati aku mengangkat tangannya yang melingkari pinggangku, namun ketika aku baru saja mengangkatnya ke udara, tangan itu langsung membebaskan diri dari cengkeramanku dan memeluk pinggangku kembali.
Alhasil aku berdecak kesal. "It's morning, Rey. Aku harus ke studio buat pemotretan jam sebelas nanti," omelku.
"Masih ada beberapa jam lagi, No. Jadi biarkan aku tidur. Lagipula sekarang hari Minggu."
Aku memutar kedua bola mataku. "Hanya kantor yang libur di hari Minggu. Sedangkan aku bukan pekerja kantoran. Jadi lepaskan aku Rey!"
Bukannya melepaskan pelukannya, Reyhan semakin mengetatkannya. Ia menarik tubuhku lebih dalam. Detik berikutnya sepasang kelopak mata itu terbuka. Manik coklatnya langsung berhadapan dengan milikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Things (COMPLETE)
ChickLitAku yang mencintainya dengan tulus harus merasakan yang namanya sakit hati. Aku yang mencintainya harus merasakan bagaimana rasanya diperlakukan dingin olehnya. Apakah salah jika di dalam hubungan yang kita jalani tumbuh rasa cinta? Apakah salah j...