Hate - 1

39 4 11
                                    

Seorang laki-laki terlihat tengah duduk di atas rumput bersandar pada pohon besar yang menjadi pelindung dari panasnya matahari.

Dengan buku tebal bertuliskan Ensiklopedia dan kaca mata hitam berlensa kotak cukup besar bertengger di hidungnya. Rambutnya lumayan rapih. Tidak panjang seperti anak laki-laki seumurannya yang lebih suka rambut acak-acakan dan panjang, supaya keren katanya, padahal melanggar peraturan sekolah.

Arseno Rafa Altair. Cowok kelas 11 IPA 1 di SMA Nusantara Bandung itu merupakan salah satu cowok yang lebih suka menyendiri ketimbang berdesak-desakan di kantin saat istirahat.

Seno akan langsung pergi ke taman belakang sekolah yang sepi dengan membawa buku tebal di tangan dan kacamata di sakunya. Tidak mempedulikan tatapan orang-orang yang menilainya.

Saking fokusnya terhadap buku, Seno tidak menyadari kalau sedari tadi ada yang memperhatikannya. Menatap lekat-lekat wajah Seno.

Gadis itu berdiri lumayan jauh dari Seno. Memperhatikan setiap lekuk wajah Seno. Keningnya mengerut, khas Seno saat sedang berpikir. Alisnya yang tebal, mata hitam tajamnya yang tertutup lensa, hidungnya yang mancung, dan bibir tipis yang entah kenapa bisa berwarna pink.

Gadis itu kesal. Kenapa bisa seseorang bisa sesempurna Seno? Ya walaupun dia tau kalau tidak ada yang sempurna di dunia ini selain Tuhan, tapi Seno sempurna menurutnya.

Dengan mengambil napas dalam-dalam, gadis itu berusaha mengumpulkan keberaniannya. Sudah cukup selama lebih dari 6 bulan dia hanya memperhatikan laki-laki itu. Namun baru satu langkah kakinya berjalan, suara seseorang menginterupsinya.

Gadis itu menggeram pelan. Dia sudah berusaha untuk memberanikan dirinya, namun saat mau eksekusi, selalu aja ada halangannya! Menyebalkan! Hampir saja dia berteriak di depan wajah seseorang yang sudah menggagalkan rencananya dan meruntuhkan keberaniannya yang sudah susah payah ia bangun.

"Kiranti! Lo gue cariin dari tadi gak taunya malah diem di sini. Tau gak sih jam istirahat gue jadi ilang gara-gara nyariin lo!" ucap seorang gadis dengan rambut berwarna coklat yang dikucir kuda.

Gadis yang dipanggil Kiranti mendengus lalu menghadap sepenuhnya pada seseorang yang menggagalkan aksinya.

"Ki-nan-ti. Nama gue Kinanti bukan Kiranti! Sekali lagi manggil gue kayak gitu, gue jambak." Kinanti mengeja namanya dengan penekanan. Membuat Metta memutar bola matanya malas.

"Ada apaan sih emang? Heboh amat lu mah." Sambungnya.

"Lo dicariin Bu Nani di ruangannya. Katanya pengen ngomong penting." Kata Metta membuat Kinanti mengernyit bingung. Untuk apa ia dipanggil oleh guru wakil kesiswaannya? Perasaan dia gak ngelakuin yang aneh-aneh.

"Yeee malah bengong lagi lo. Udah ah gue mau makan! Laper! Jangan lupa nemuin Bu Nani sekarang." Metta berbalik menuju kantin, meninggalkan Kinanti yang terdiam.

Gadis itu kembali mengarahkan pandanganya pada tempat seseorang yang tadi ingin ia datangi. Namun, kosong. Seno sudah tidak ada di tempatnya. Membuat Kinanti tersenyum kecut dan berlalu menuju ruang Bu Nani.

---------------

Bel selesai istirahat sudah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu. Tapi masih banyak siswa dan siswi yang berkeliaran di koridor. Entah karena jam istirahat yang diberikan kurang, atau memang malas masuk jam pelajaran.

Kinanti berjalan di koridor dengan angkuh. Tidak mempedulikan berbagai tatapan yang ditujukan padanya. Banyak siswa yang berbinar saat melihatnya, dan siswi yang menatapnya dengan pandangan penuh kebencian, atau mungkin iri melihat Kinanti.

Kinanti benar-benar tidak mempedulikan hal itu. Lagi pula, dia sudah biasa mendapatkan berbagai macam tatapan memuja dan kebencian.

Kinanti menghentikan langkahnya saat sampai di depan pintu bercat biru dengan tulisan Bu Nani di atasnya. Gadis itu membuka knop pintu perlahan dan melangkah masuk ke dalam ruangan.

Ia membeku saat membalikkan tubuhnya. Melihat punggung laki-laki yang sudah sangat ia kenali. Tanpa aba-aba, jantung Kinanti berdegub kencang. Ia masih menatap punggung itu saat Bu Nani tersenyum ke arahnya.

Setelah Bu Nani memanggil, baru lah Kinanti sadar sudah menatap punggung itu terlalu lama. Gadis itu tersenyum kikuk dan melangkah mendekati meja Bu Nani yang di hadapannya sudah duduk Arseno. Iya, dia Arseno. Kinanti benar-benar ingin berteriak sekarang.

"Duduk dulu, Kinan," ucap wanita paruh baya dengan jilbab yang menutupi kepalanya. Kinan mengangguk patuh dan duduk di kursi, di samping Seno.

"Ibu manggil kalian ke sini karna ada sesuatu yang mau Ibu tawarkan." Bu Nani menatap ke dua muridnya yang cukup berprestasi.

"Kalian mau gak ikut olimpiade IPA? Berpasangan. Dan Ibu mau, kalian yang mewakilkan SMA kita." Ucapan Bu Nani sukses membuat Kinan membelalakkan matanya.

"O ... olimpiade IPA?" ujar Kinan sedikit terbata. Ia masih tidak percaya, "ta ... tapi Bu," bukannya Kinan tidak pernah ikut olimpiade atau semacamnya. Tapi masalahnya, dia dipasangkan dengan Seno!

"Saya gak bisa bu." Ucapan Seno yang datar membuat Kinan dan Bu Nani menatapnya.

"Saya gak bisa. Untuk saat ini, saya mau fokus untuk ujian kenaikan kelas." Jelas Seno tanpa ekspresi membuat Bu Nani lesu seketika.

"Ayolah, Seno. Ibu berharap banyak sama kamu. Ini olimpiade penting buat SMA kita. Sekali aja Ibu mohon, sebentar lagi kan kamu kelas 12. Udah gak mungkin ikut-ikut olimpiade lagi. Anggap aja ini yang terakhir. Ya? Kinanti aja mau kok! Iya kan Kinan?" Kinanti kembali membelalakkan matanya. Bahkan ia belum menjawab! Tapi gurunya sudah seenaknya bilang begitu.

"Tap ...,"

"Udahlah. Mau kan Arseno? Anggap aja ini olimpiade terakhir kalian di SMA." Bu Nani memotong kalimat Kinanti. Membuat gadis itu hanya bisa pasrah menunggu jawaban Seno. Lagian, ini sih bukan tawaran namanya! Tapi pemaksaan!

Dengan menghela napas, Seno akhirnya mengangguk kecil menyetujui permintaan gurunya dan segera pamit menuju kelas. Kinanti yang melihat itu segera menyusul. Menahan tangan Seno yang sudah berjalan 5 meter dari ruang Bu Nani.

"Seno, tunggu." Kinan berdiri menghalangi jalan Seno. Sementara laki-laki itu hanya menatapnya datar. Tatapan itu sedikit membuatnya terhenyak. Karena biasanya, setiap laki-laki yang beradu pandang padanya akan menatap penuh pemujaan.

Tidak ada jawaban, Kinan kembali melanjutkan ucapannya.
"Kita belum kenalan. Nama gue Kinan! Nama lo?" Gadis itu menjulurkan tangannya dengan hati yang ketat-ketir menunggu balasan.

"Lo udah tau nama gue." Perkataan Seno membuat jantungnya sedikit berdenyut. Namun ia tidak menghilangkan senyumnya dan segera menurunkan tangannya yang dibiarkan menggantung.

"Kita se-tim sekarang. Bu Nani bilang, kita harus latihan bareng-bareng mulai sekarang. Nanti materinya dikasih pas pulang." Kinan menatap mata hitam yang sudah tidak tertutupi lensa seperti di taman belakang. Tatapannya benar-benar datar, tanpa ekspresi. Membuat Kinan menebak-nebak apa yang ada di pikiran cowok itu.

Keduanya saling pandang selama 5 detik hingga akhirnya ucapan Seno membuat jantungnya kembali berdenyut sakit.

"Gue gak budek." Tanpa berkata apa-apa lagi, Seno berlalu melewati Kinanti begitu saja. Seperti tidak ingin membuang waktu hanya untuk meladeni gadis itu. Sementara Kinan, lagi-lagi dia hanya bisa menghela napas dan tersenyum kecut dengan nyeri di dadanya.

-----------
Emm. Harapan gue cm satu. Ketemu ujungnyaa. Wkwkwk. Sebenernya takut ngepost karenaaaa eh karenaaa berjudi itu haram. G deng. Karna cerita gue yg lalu gada ujungnyaaa.

Akhirnya gue mutusin buat unpub. Dan fokus sm yg satu ini. Hehehe

Jan lupa vomment. Jgn jd dark reader. Nulis itu g gampang. Dan ngehargain apa susahnya? Wkwkwk.

HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang