Part 3

35 1 0
                                    


Awan-awan hitam mulai menutupi matahari. Suasana kota yang sempat terang, menjadi semakin gelap. Amelia memandang ke arah langit, memperhatikan gumpalan-gumpalan awan yang semakin banyak sambil menepuk lembut payung hitam yang dijinjingnya. Bibirnya tersenyum kecil, merasa puas terhadap dirinya sendiri yang selalu mempersiapkan segala hal.

Mood-nya hari ini, entah kenapa sangat bagus. Setelah 'perbincangan' yang sangat menyenangkan dengan Nathaniel semalam dan berujung dengan bantingan pintu tepat di wajah Nathaniel, Amelia merasa sangat kesal dan marah. Namun, saat ia bangun di pagi hari, perasaannya menjadi lebih baik. Mungkin karena dia sudah bisa melampiaskan kekesalannya yang sudah terpendam selama 10 tahun pada temannya itu.

Dia bertemu Nathaniel tadi pagi. Amelia dapat melihat Nathaniel menatapnya dengan tatapan sedih dan menyesal. Amelia hanya mengabaikannya dan berpura-pura tidak melihat laki-laki itu. Namun, dari ujung matanya, ia bisa melihat Nathaniel berusah mengatakan sesuatu padanya. Amelia mempercepat langkahnya sebelum Nathaniel dapat mengucapkan sepatah kata.

Entah kenapa pertemuannya dengan Nathaniel tadi pagi membuat kesenangannya menjadi semakin memuncak. Ia merasa memegang kendali. Amelia sudah membuktikan pada Nathaniel bahwa dia bukan gadis muda yang dulu lagi. Gadis muda yang sangat naif dan polos. Gadis muda yang dulu berusaha meminta maaf untuk kesalahan yang bahkan tidak ia perbuat untuk menyelamatkan persahabatan mereka.

Amelia tertawa dalam hati. Sungguh, keadaan menjadi terbalik sekarang. Sekarang, siapa yang memohon-mohon untuk dimaafkan? Senang rasanya dapat memegang kendali keadaan.

Guyuran hujan yang sangat deras membuyarkan lamunan Amelia. Dengan cepat ia membuka payungnya. Orang-orang mulai berlarian mencari tempat teduh. Hujan deras kali ini betul-betul mendadak, tanpa diawali oleh gerimis gerimis kecil. Amelia harus menghindari segerombolan orang yang berlari-lari mencari tempat teduh.

Trotoar seketika menjadi kosong setelah hiruk-pikuk yang hanya berlangsung selama beberapa detik. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Ameli melihat seorang nenek tua yang sedang mengambil barang-barang yang terjatuh dari kantung belanjanya. Tubuhnya yang sudah ringkih basah kuyup terguyur hujan deras.

Sepertinya dia tadi tertabrak oleh orang-orang yang berlarian. Merasa tidak tega, Amelia mendekati nenek itu dan memayunginya dengan payung hitamnya.

Nenek tersebut, yang sibuk mengambil barang-barangnya, terkejut mendapati air hujan yang berhenti seketika. Dia mengadahkan wajahnya dan melihat seorang wanita Asia dengan mata cokelat besar yang sedang memayunginya.

Sambil mengambil barang terakhirnya, ia berdiri menghadap wanita itu sambil tersenyum manis.

"Terima kasih, Nak. Anda sungguh baik," ujar nenek itu sambil tersenyum

Amelia balas tersenyum

"Sama-sama, Nyonya. Anda sepertinya tidak membawa payung, apakah Anda ingin saya antar ke tempat yang lebih teduh?" tanya Amelia sopan.

"Anda betul-betul baik, Non. Terima kasih," nenek itu tersenyum lembut. "Kalau boleh saya bertanya, Anda ingin pergi ke arah mana?"

"Ke arah Wimpole Street, Nyonya," jawab Amelia.

"Oh! Kebetulan sekali! Saya tinggal di daerah itu. Jika Anda tidak keberatan, apakah saya boleh ikut dengan Anda? Anda bisa mampir sebentar di apartemen saya,"

Amelia menimbang-nimbang cepat dan menjawab, "Tentu saja saya tidak, keberatan. Terima kasih atas tawaran Anda, Nyonya, tapi sepertinya saya hanya bisa mengantar Anda. Masih ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan,"

Old Friend Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang