Hal pertama yang kulihat adalah kegelapan. Seiring desiran kuat di dadaku, kepalaku merasakan sensasi aneh yang tak dapat kulukiskan. Sensasi yang seolah sedikit demi sedikit mengisi pikiranku dengan milyaran kata, ribuan wajah, perasaan, keinginanku, dan ketidaksukaanku. Desiran dari dadaku membuat sensasi hangat mengalir ke samping dan ke bawah, hingga aku bisa merasakan kedua tanganku, perut, kedua kakiku, kedua telapak tanganku yang menyentuh permukaan bertekstur, dan seluruh tubuh bagian belakangku yang menekan pada sebuah permukaan. Beberapa saat setelah rasa hangat menyertai seluruh tubuhku, kegelapan tersingkap dari mataku, yang kemudian kusadari itu adalah kelopak mataku yang terbuka, berganti cahaya kekuningan menyilaukan mataku.
Kukerjap-kerjapkan kedua mata dan menyadari cahaya kuning itu berasal dari sebuah lampu pijar yang menghadap langsung pada wajahku.
Kubangkitkan tubuhku. Kupandangi sejenak permukaan meja besar tempatku berbaring, yang terletak di sebuah ruangan yang luas, begitu luas hingga mampu diisi oleh banyak rak-rak besar yang berbaris melintang di samping kiriku. Tidak jelas benda apa yang mengisi rak-rak itu. Cahaya lampu pijar yang menggantung di atas kepalaku ini, yang merupakan satu-satunya sumber penerangan di tempat ini, tak mampu menerangi seluruh bagian ruangan. Sebuah meja yang berukuran lebih kecil dan dua kursi kayu yang terletak tak jauh di depanku pun hanya memperoleh pancaran cahaya temaram.
"Selamat datang kembali, Ema," ujar sebuah suara yang membuatku spontan menoleh. Kutemukan seorang pemuda berdiri di belakangku. Ia tersenyum. "Siapa kau?" tanyaku, "Namaku Adam," jawabnya seraya melangkah mendekat, "kau berada di rumahku," lanjutnya saat ia sudah sampai dua langkah di hadapanku.
Alis cokelat tebal pemuda itu menekuk sementara kedua matanya, yang berwarna senada dengan alisnya, menatap serius ke arah kepalaku. Ia menyibak rambut di kepalaku, setengah jengkal dari alisku, "rupanya ada bagian yang luput," ujarnya. Kusentuh bagian yang ia maksud dan aku merasakan sebuah lubang di sana.
"Kau tahu apa penyebabnya?" kujawan tanyanya dengan gelengan.
"Maaf karena aku telah lancang membuka sistem penyimpanan datamu tapi sungguh, aku hanya membuka data umummu, hanya untuk mengetahui namamu."
"Jadi, apakah sistem penyimpanan datamu bermasalah?"
"Entah lah," jawabku pelan, "aku ingat sejumlah hal tapi tidak ingat tentang lukaku ini. Aku pun tidak tahu bagaimana aku bisa di sini,"
"Aku menemukanmu di reruntuhan kota dan membawamu kemari,"
Aku mengernyitkan dahi, "reruntuhan kota?"
"Tepatnya di Techmopolis," ia membalikkan badan dan berjalan menjauh.
"Apa maksudmu?" tanyaku seraya turun dari meja. "Apa maksudmu tentang reruntuhan kota? Di Techmopolish?" buru-buru aku mengekorinya. Ia menoleh padaku sejenak, "kau tidak tahu?" kemudian meneruskan langkah menuju sebuah lemari dan tidak sempat melihatku menggelengkan kepala. "Ya, sudah kuduga kau tidak tahu apa-apa soal perang itu," ia mencari-cari sesuatu di dalam lemari itu.
"Semua berawal dari satu bencana, yang diperkirakan hanya menimbulkan sebagian kerusakan, namun ternyata kejadian itu mengubah seluruh dunia menjadi 180 derajat berbeda,"
"Pertama, ledakan di pusat studi sumber energi. Kedua, robot-robot bertingkah aneh dengan menyerang manusia, dan ketiga, perang antara robot dengan manusia yang telah menghabiskan banyak nyawa manusia dan tempat tinggal. Semuanya hanya tinggal puing-puing menyedihkan," Ia membungkuk dan menarik keluar sebuah kotak di dasar lemari kemudian mengaduk-aduk isinya. "Dan hal ini berujung pada pelarangan menggunkan dan pemusnahan semua robot,"
"Bagaimana itu semua bisa terjadi?" tanyaku.
"Aku pun tidak tahu. Orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai 'pihak yang berwenang' merahasiakan segalanya tentang bencana ini pada warga sipil. Ah, ini dia!"
Ia bangkit dan berbalik, "aku sudah mencoba mencari tahu namun belum membuahkan hasil,"
Ia menyodorkan sebuah kaleng cat semprot padaku. Kuperhatikan kaleng itu dan mengenalinya, "isolamer?" Ia mengangguk, "kau perlu ini untuk mengelabui para tentara," jelasnya. Kusambut kaleng cat itu.
"Isolamer biasa hanya mampu menutupi konduktivitas dan aktivitas kelistrikan suatu benda. Kutambahkan sedikit modifikasi bahan agar dapat menyamarkan aktivitas cakram hijaumu. Cakram hijau adalah sumber tenaga yang memiliki pancaran energi yang kuat sehingga sangat mudah terdeteksi,"
Ia memperhatikan pakaianku kemudian wajahku. "Sebenarnya, aku suka jika kau tetap mengenakan gaun hijau itu tetapi itu adalah pakaian standar robot pengasuh, tentara akan mudah curiga kepadamu," ujarnya sambil berbalik ke lemari dan mengambil dua helai pakaian, kemeja biru muda dan rok cokelat.
"Semprotkan isolamer ini pada seluruh tubuhmu dan kau perlu lebih banyak di bagian dada untuk menyamarkan aktivitas cakram hijaumu,"
Lamat-lamat terdengar suara deruan mesin, kulihat Adam mematung. Makin lama, terdengar suara itu makin mendekat, "ada yang datang," bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ema
Science Fiction"Apa maksudmu tentang reruntuhan kota? Di Techmopolish?" buru-buru aku mengekorinya. Ia menoleh padaku sejenak, "kau tidak tahu?" kemudian meneruskan langkah menuju sebuah lemari dan tidak sempat melihatku menggelengkan kepala. "Semua berawal dari s...