Pagi itu dia berangkat lebih pagi. Pembukaan alat-alat pemotong baru katanya. Yah, apa yang diharapkan dari seorang pemotong kayu. Bekerja ekstra dengan gaji kecil, apa yang harus dilakukan selain menuruti permintaan perusahaan?
Dia mengambil topi coklat di atas meja makan. Sebuah kecupan dari istrinya mendarat mulus di pipinya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar. Sabetan golok minggu lalu terlihat membekas dengan jelas. Daripada untuk membeli antiseptik, lebih baik membeli beras untuk mengisi perutnya yang sudah biasa kosong. Toh luka itu bisa sembuh sendiri, 'kan?
"Hati-hati," ucap sang istri di depan telinganya. Terdengar lembut dan mengalun, membuat hatinya tenang.
"Tidak perlu khawatir, bukankah ini sudah biasa kulakukan?" jawabnya dengan senyuman. Sang istri ikut tersenyum. Kekhawatiran di mukanya sedikit demi sedikit mengholang.
"Jika di sana ada dedaunan yang bisa kita olah menjadi makanan, tolong bawa. Kebun kecil kita sudah sulit ditumbuhi tanaman. Mungkin karena kurangnya air dan cuaca semakin panas. Hanya tersisa tanah gersang dan tandus kurasa." Kekhawatiran mulai terlihat lagi di wajah istrinya.
"Tenang, kita tidak akan mati karena kelaparan." Senyum lagi yang dia berikan, namun kali ini kekhawatiran belum hilang dari hatinya.
Setelah memberi salam, dia beranjak dari meja makannya. Melewati pintu reyot dengan tambalan papan tipis di sana-sini.
Betul saja, cuaca memang semakin panas dari hari ke hari. Apa penyebabnya? Lapisan ozon menipis? Apa penyebabnya? Hanya itu yang ia pikirkan di sepanjang jalan. Hingga akhirnya dia sampai pada tujuannya.
Hutan? Ya dia bekerja di hutan. Sebagai pemotong pohon, pengangkat kayu gelondongan, pembelah kayu, dan lain-lain. Dia bekerja di sini. Dia terbiasa dengan deru mesin-mesin pemotong yang bergetar si sana-sini. Sedikit menulikan telinga memang, tapi mau bagaimana lagi?
Dia mengambil alat pemotongnya. Baru? Terlihat sama saja seperti yang dulu. Mengkilap? Dia tertawa sedikit, ini hanya karena barang baru saja.
Pohon tinggi di depannya terlihat cukup sesuai kriteria yang dibutuhkan. Terlihat muda, namun terlihat sangat kokoh. Dia menyalakan alatnya dengan mudah. Ah, ternyata di sini perbedaannya. Cara menyalakan mesinnya yang berbeda. Hanya tingga menekan satu tombol, mesin sudah menyala. Suaranya lebih halus dari mesinnya yang lama. Tapi yah, kerugian besar bagi perusahaan jika hanya membeli alat dengan spesifikasi yang tidak jauh beda dengan yang lama.
Tiga puluh menit. Satu pohon berhasil dia tumbangkan, namun bencana terjadi. Dia tidak melihat pekerja lain dengan membopong kayu gelondongan lewat di dekatnya yang menyebabkan pohon yang baru saja dia tebang jatuh menimpanya. Mungkin teknik memotongnya salah, sehingga pohon yang dia tebang jatuh tidak sesuai arah yang diharapkan. Atau mungkin pekerja itu yang salah? Lewat tanpa melihat arah?
Tapi ya begitulah, seseorang dengan kepala botak datang bersama pekerja lain yang penasaran. Sedikit melihat keadaan, lalu si botak itu menyuruh para pekerja untuk menggotongnya. Mati? Mungkin saja. Tapi kenapa tidak ada yang menyalahkannya.
Serendah itukah orang-orang ini? Satu nyawa seorang penebang pohon tidak lebih berharga daripada satu pohon yang pada akhirnya ditumbangkan? Bahkan dia saja tidak tahu kemana kayu-kayu ini akan dibawa. Ke kota? Dijadikan rumah-rumah? Bisa jadi. Tapi dia tidak pernah berpikir seperti itu, yang dia lakukan hanya menebang dam tetus menebang.
Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu berlalu. Bulan demi bulan berlalu.
Dia kembali pergi ke tempat itu dengan perut kosong. "Jangankan lauk, beras saja tidak ada," ucap sang istri yang masih terngiang-ngiang di telinganya.
Suhu meninggi hari ini. Sangat tinggi sepertinya. Dia tidak mau membuang uangnya hanya untuk termometer, toh dia juga bisa mengira-ngira dengan indranya sendiri.
Yang dia lihat kali ini bukan hutan seperti biasanya. Hanya tersisa beberapa pohon. Sepuluh? Dua puluh? Dia tidak yakin. Tapi yang pasti, sejauh mata memandang, dia hanya melihat tanah kemerahan yang gersang. Tidak berbeda jauh dengan kebun kecilnya beberapa bulan lalu.
Jadi dia mulai mengerti. Cuaca panas, kekurangan air, tanah tandus? Ini semualah penyebabnya. Pohon, yang ditumbangkan. Itulah penyebabnya. Tapi betapa bodohnya dia saat mengetahui hal ini, saat hanya tersisa sedikit sekali pohon di sini.
Mengeluh? Meneriaki tentang reboisasi dan embel-embel lainnya tentang penghijauan kepada pemimpin perusahaan? Percuma. Dia sadar bahwa dia hanya seorang penebang pohon. Telah lama dia mengemis pada perusahaan ini dan tiba-tiba memberontak atas nama pengabdiannya kepada bumi? Pemikiran konyol.
Jalan terakhirnya hanya mengambil mesinnya, menghadap pohon tinggi yang terlihat muda namun kokoh, menyalakan mesinnya dan mulai menebang.
Tiga puluh menit berlalu, pohon itu tumbang meninggalkan getar yang cukup besar di kakinya. Dia menurup mata, mencoba menghindari tanah kering yang mulai berubah menjadi pasir.
Hingga akhirnya dia membuka mata, dan menyadari satu hal. Itulah pohon terakhir, pohon terakhir yang sudah kepalang dia tebang.
Tanpa sadar, dia mematikan bumi, dia mematikan penduduk bumi, dia mematikan penduduk kota, dia mematikan penduduk desa, dia mematikan pada perusahaannya, dia mematikan tetangganga, dia mematikan istrinya, dia mematikan dirinya.
Namun sekarang yang dia lakukan hanya bergeming, menatap pemandangan kosong di depannya. Siapa yang patut disalahkan? Dirinya, yang telah menebang pohon-pohon ini? Istrinya, yang selalu menuntut makan demi berlangsungnya kehidupan? Perusahaan, yang terus memintanya untuk menebang sebanyak-banyaknya? Penduduk desa, yang melakukan hal yang sama dengan dirinya? Penduduk kota, yang terus meminta pasokan agar pembangunan yang telah direncanakan berhasil dengan sempurna? Penduduk bumi, yang sama-sama tidak menyayangi bumi ini?
Atau bumi itu sendiri, yang memberi terlalu sedikit pohon yang bisa ditebang?
Dia sadar. Hatinya salah. Hati manusia-manusia inilah yang salah.
Jadi bagaimana sekarang? Mati? Atau reboisasi?
.
.
.
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayang Manusia Pohon
Short StoryKetika kami mencoba menenggelamkan sebuah gambar ke dalam imajinasi, sebelum melemparnya pada aksara berbeda makna. . . Thanks covernya! @inkzar