Effectus by @tatamaraaa

99 13 1
                                    

"Ervan! Apa yang kau lakukan?" sentak Sera sesaat ketika Sera membuka pintu halaman belakang rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ervan! Apa yang kau lakukan?" sentak Sera sesaat ketika Sera membuka pintu halaman belakang rumahnya.

Ervan mengangkat bahunya sekilas, kemudian berjalan ke arah Sera dengan santai. Sementara Sera membelalakkan matanya dengan kesal.

"Aku sudah susah payah merapikan taman dan kebun ini, kenapa kau enak saja merusaknya?" sentak Sera lagi.

"Aku tidak merusaknya," kata Ervan sambil meneguk segelas air yang tadi kubawa, "aku hanya bermain di sini. Berjemur di bawah matahari pagi."

Sera menjitak kepala Ervan karena kesal, kakaknya yang satu itu memang selalu membuat masalah. Sera mencintai tanaman, mencintai bagaimana halaman belakangnya yang sangat luas menjadi penuh dengan berbagai tanaman sayur, buah dan beberapa jenis bunga.

Ervan mengusap kepalanya dengan kesal, dia kembali berjalan ke arah halaman belakang, mendekati salah satu pohon apel, kemudian mengambil buahnya dengan sedikit meloncat. Kebetulan sekali buahnya ada di dahan yang cukup rendah.

"Ervan! Jangan dipetik dulu, itu belum sepenuhnya matang!" teriak Sera lagi.

"Ayolah, Sera. Kau masih memiliki banyak pohon dengan buah apel yang juga banyak di sini. Pelit sekali," keluh Ervan.

Sera menghampiri kakaknya itu dan bertolak pinggang. "Sebanyak apa pun aku memiliki pohon di sini, kau tetap tidak bisa seenaknya!"

Ervan mengangkat bahunya acuh. "Aku bisa membabat habis semua tanamanmu kalau aku mau. Aku benci pepohonan, apalagi bunga warna-warni. Banyak serangga, belum lagi daunnya jatuh menjadi sampah."

"Aku yang mengurusnya, kau tidak perlu khawatir," dengus Sera.

Ervan hanya mencibir dan berjalan meninggalkan Sera.

* * * *

"Aku mau pergi beberapa hari," kata Sera saat Ervan dan Sera sedang makan malam.

"Oh."

"Aku titip taman dan kebunku, dua atau tiga hari lagi buah apelku matang. Tolong dipetik, ya, Van. Langsung disimpan di dalam kulkas, sebagian lagi tolong antarkan ke rumah singgah di ujung kota."

Ervan sibuk mengunyah makanannya.

"Ervan!"

"Iya, petik dan antarkan apel ke rumah singgah! Aku dengar, Sera," jawab Ervan cuek.

Sera mengangguk. "Terima kasih, Van."

"Sebenarnya buat apa kau melakukan hal itu, eh? Menanam buah dan sayur sendiri, kemudian mengirim beberapa hasilnya pada rumah singgah. Kenapa tidak kaujual? Akan menghasilkan."

"Pikiranmu selalu tentang keuntungan," cibir Sera. "Aku suka berkebun, suka melihat halaman kita penuh pepohonan juga bunga. Dan masalah mengirim pada rumah singgah, tidak rugi juga bukan? Berbagi itu baik."

Ervan balik mencibir. "Kadang kau terlalu baik, atau mungkin terlalu bodoh."

* * * *

Sera membanting pintu rumahnya dengan kasar, langkahnya tergesa mengitari isi rumah.

"Ervan!"

Ervan yang sedang sibuk bermain game menoleh. "Sudah pulang?"

"Jangan banyak bicara! Kenapa kau tidak mengantarkan apel itu ke rumah singgah?"

Ervan membulatkan matanya, sementara Sera yang melihat hal itu langsung menatap Ervan curiga.

"Jangan bilang kau—"

"Iya, aku lupa," kata Ervan. "Beberapa buah apel yang sudah matang memang kupetik, tapi beberapa yang lainnya kubiarkan begitu saja."

Sera mengangkat kedua alisnya begitu mendengar pernyataan bodoh kakaknya itu.

"Dan Sera," panggil Ervan, "maaf karena beberapa pohonmu aku tebang. Pohon itu cukup mengganggu karena kurasa menjadi sarang kelelawar atau serangga atau—"

"Kau menebangnya?" teriak Sera dengan nada panik bercampur marah.

Ervan mengangguk, membuat Sera berlari menuju halaman belakangnya. Terlihat ada dua pohon apel yang sekarang hanya tinggal satu per tiga batangnya saja. Sera menghampiri pohon itu dan jatuh terduduk di sampingnya.

"Sera, kau kenapa? Ini hanya sebuah pohon," tanya Ervan khawatir. Di benaknya mencibir tingkah Sera dan menganggap adiknya sudah gila.

"Kau tahu kenapa aku sangat mencintai tanaman dan pepohonan yang menurutmu sampah ini?" tanya Sera dengan suara lirih.

Ervan menggeleng.

"Ayah dan ibu memberiku biji dari sebuah pohon yang kautebang ini. Ayah dan ibu memintaku mencintai tanaman yang kausebut sampah ini. Ayah dan ibu mengajariku memperlakukan pohon dan tanaman ini seperti aku memperlakukan ayah dan ibu," jelas Sera, air mata perlahan membasahi pipinya.

"Dan hanya tanaman dan pepohonan ini yang menjadi pengikatku dengan ayah dan ibu, Van," lanjut Sera, tangisnya pecah.

Ervan terdiam di tempat. Ayah dan ibunya sudah sepuluh tahun meninggal akibat kecelakaan, dan sejak saat itu Sera memang menggantikan ayah dan ibunya merawat halaman belakang. Ervan selalu menganggap kegiatan Sera adalah sia-sia, dia tidak pernah menyangka jika sedalam itu arti halaman belakang ini untuk Sera.

"Maaf," bisik Ervan, direngkuhnya Sera ke dalam pelukannya.

"You hit them, then you hit me," jawab Sera.

"Mereka menghidupkan kita, Van. Bahan makanan yang kuolah berasal dari bagian buah, dedaunan dan umbi mereka. Semua bagian dari mereka yang kubagikan, menjadi kebaikan tersendiri untuk kita dalam bentuk lain, Van. Dan apa kau tidak merasakan betapa sejuk juga menyenangkannya rumah kita? Itu karena mereka juga, Van."

Ervan terdiam mendengar penjelasan Sera. Memang, selama sepuluh tahun ini jika dihitung berdasarkan logika harusnya harta orangtua mereka sudah habis. Namun yang terjadi, harta orangtua mereka tidak pernah habis bahkan kian bertambah. Padahal Sera hanya bekerja sebagai editor di sebuah penerbit indie dan Ervan sebagai programmer lepas. Pasti Sera mengolah semuanya dengan sangat baik tanpa sepengetahuan Ervan.

Dan tidak bisa Ervan pungkiri bahwa kehadiran taman di halaman belakangnya yang cukup luas membuat Ervan selalu merasa berada di dekat orangtuanya.

Bodoh, Ervan merasa bodoh. Hanya karena egonya dan rasa inginnya menjahili Sera, dia merusak semuanya.

"Maaf, Sera. Aku sama sekali tidak tahu."

"Minta maaf pada mereka, bukan padaku. Seharusnya kau berpikir lebih dulu efek apa yang akan kautimbulkan akibat ulahmu," jawab Sera sambil meninggalkan Ervan.

Ervan terdiam menatap punggung Sera. Sera benar, mereka semua sangat penting dan Ervan melupakannya tanpa sadar.

Dan ketika Ervan menghancurkan satu pohon di sini, nyatanya Ervan telah menghancurkan dirinya sendiri perlahan. Sedikit demi sedikit, tanpa Ervan sadari.

.

.

.

End.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bayang Manusia PohonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang