🔸Author POV🔸
Sakit itu datang lagi menghampiri dada Erlangga.
Sakit yang sudah lama tidak muncul, kini hadir kembali lagi.
Sakit yang Erlangga sendiri tidak tahu penyebabnya apa.
Sakit yang tidak ada obatnya.
Sesak.
Dadanya terasa penuh dan pengap.
Seharusnya malam minggu seperti ini, Erlangga bersama ketiga temanya sudah mempunyai janji untuk bermain atau berjalan-jalan keliling ibukota. Tapi maaf ya, Fajar, Tama, Ardhi, malam ini Erlangga absen dulu. Maaf ya Erlangga gak ngasih tau kalian tentang penyakit ini. Tapi tenang saja, Erlangga bisa mengatasi ini semua.
Erlangga harus melawan sakitnya ini. Kalau sempat, Erlangga akan datang.
Erlangga hanya berbaring dan melihat ke langit kamarnya. Tubuh Erlangga penuh dengan keringat, matanya memerah, dan bibirnya pucat.
Menepuk-nepuk dadanya, berharap sakit yang menghantam dadanya bisa hilang. Tapi percuma saja, hal itu bahkan tidak mengurangi sakit sedikitpun.
Rindu.
Erlangga sedang rindu. Tapi dia sendiripun tidak tahu rindu siapa.
Sesak dan rindu.
Dua kata itu memang sering menghampiri Erlangga. Terakhir, Erlangga merasakanya satu bulan yang lalu. Erlangga mengira bahwa sakit itu sudah hilang. Tapi, lihat saja, sakit itu datang lagi tanpa memberi salam kepada pemilik.
Kalau kalian bertanya kenapa Erlangga tidak bilang ke orang tuanya atau diperiksa ke dokter?
Opsi pertama, Erlangga sudah mengatakannya kepada ibu atau pun ayahnya. Tapi orang tuanya yang super sibuk itu menyuruhnya ke dokter dan mengucapkan kata maaf karna tidak bisa menemani Erlangga.
Erlangga mengerti.
Opsi kedua, akhirnya Erlangga, ditemani sang kakak, pergi periksa keadaan jantungnya ke dokter. Dokter mengatakan bahwa jantung Erlangga dalam kondisi yang baik-baik saja. Tidak ada kerusakan apapun. Ditambah Erlangga tidak merokok. Asusmi dokter bahwa Erlangga hanya kecapean karna terlalu sering bermain basket ataupun olahraga lainnya.
Aneh bukan?
Keadaanya seperi ini membuat Ega semakin iba melihatnya. Ega juga sering mendengar rintihan Erlangga di malam-malam tertentu.
Erlangga terlalu lemah, ya? Maaf jika kalian berpikir seperti itu. Tapi meskipun palyaboy, Erlangga juga bisa merasakan sakit, bukannya sakit itu manusiawi?
Penyakit -gak bisa dibilang penyakit juga karna dokterpun mengatakan baik baik saja, yang di rasakan Erlangga memang tidak menentu datangnya, tidak bisa di prediksi, datangnya tiba-tiba.
Yang Erlangga mau saat ini hanya rasa sakitnya hilang dan bertemu temen-temanya yang konyol melepas pikiran tentang sakit yang dideritanya.
"Bang, gue masuk ya?" tanya suara dari luar. Itu Ola.
Adiknya itu pasti tahu kenapa Erlangga tidak berkutik di dalam kamar.
Erlangga tidak menjawab. Mukanya sengaja di tenggelamkan di dalam bantal, menyembunyikan mukanya yang mungkin mengerikan untuk dilihat orang.
Tanpa sepertujuan dari penghuni kamar, Ola masuk dengan hati-hati.
"Lagi, ya?" tanya adiknya. Erlangga tau arah pembicaraanya itu kemana. Erlangga mengangguk lemas.
Ola berbaring di samping Erlangga. Memegang tangan abangnya yang keras kepala.
Dingin.
"Kok gak belajar?" tanya Erlangga dengan suara yang parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Rembulan [ON EDITING]
Teen FictionTeruntuk, Kamu. Bagaimana? Apakah hati kamu sudah sembuh setelah kamu pikir bahwa menyakiti aku hatimu ikut membaik?