awal

69 7 0
                                    

Bis sekolah melewati jalan tanah kapur. Disekeliling tidak ada tumbuhan atau pohon hijau, ada satu padang rumput yang dilewati dan banyak ternak disana. Atambua. Sebuah kota perbatasan antara Nusa Tenggara Timur Indonesia dengan Timor Leste yang telah lepas dari Indonesia, dulu pada masa kepresidenan bapak Habibi.

Segerombolan siswa, ada 5 anak, 3 perempuan dan 2 laki laki, berlari terburu buru yang memang sudah ditunggu bis sekolah. Satu perempuan tertinggi dari dua lainnya membawa sebuah kotak, satu diantaranya lagi mententeng sepatu dan satu diantaranya lagi, sedang memakai hijab, dia muslim. 2 anak laki laki lebih didepannya dan baju sekolahnya berantakan karena berlari.

"Ah, untung saja yaa kita tidak ketinggalan bis lagi" ucap Merry, salah satu diantara 3 perempuan yang berlarian mententeng sepatu dengan ngos-ngosan duduk di salah satu bangku bis.

"Alhamdulillah, kita tidak belari sejauh 10 kilo gara gara ditinggal bis lagi. Bisa bisa bu Lela menyuruh kita membersihkan kamar mandi lagi" suara syukur Alfi seraya membenahi hijabnya.

"Nah, besok besok kita harus berangkat lebih pagi lagi ya, jam segini saja, kita sudah hampir terlambat" Kata Tara, sambil mengusap peluh dan mengucir rambut bergelombang. Sementara 2 lelaki yang berlari bersamanya langsung tertidur.

"Besok besok berangkat jam 4 saja" keluh Merry masih kelelahan.

Jam di bus menunjukkan pukul 05.30 jalanan masih sepi melewati padang tanah kapur yang gersang tanpa tanaman, tetapi udara sangat segar. Tangan remaja Alfi memengang Al-Qur'an kecil dan membacanya pelan di dalam bus. Merry sibuk dengan sepatu yang diberikan oleh budenya. Sepatu hitam pekat dengan warna putih di bawahnya sedang disemir hitam warna putih itu.


Bis berhenti saat jam menunjukkan pukul 06.15 di sebuah gang yang memang banyak siswa sudah menunggu. Ada perempuan dan laki laki, namun mata Tara tertarik pada seorang laki laki berkulit putih dengan pakaian yang acak acakan. Rambutnya tidak tertata rapi dan jam tangan hitam besar di tangan kirinya. Tara tidak terlalu mengenalnya. Aldo. Anak seorang pengusaha dan membuat dirinya disebut anak terkaya di sekolahnya. Katanya . Murid pindahan yang punya banyak teman,  termasuk disayang guru meskipun sering membolos.

Ketika Tara turun dari bus, seorang lelaki mendahuluinya yang menyebabkan Tara terjatuh.

"Hey, kamu bisa sabar sedikit tidak, dasar jahat" teriak Tara.

"Maaf, Tara habis kamu lelet sakali" ucap Carlo, termasuk teman dekat Aldo yang juga tidak disukai Tara. Rambutnya kriting dan kulitnya hitam bersisik. Tanpa menolong Tara, dilanjutkannya menyusul Aldo dan teman temannya di depan.

Alfi dan Merry membantu Tara, tetapi luka di lutut Tara cukup parah.

"Hey Carlo jahat, kamu harus tanggung jawab dengan luka Tara" teriak Merry geram.

Carlo membalikkan tubuh, matanya membelalak, wajahnya berekspresi bingung.

"Aldo selametin saya" bisik Carlo di telinga Aldo sambil menarik lengan baju Aldo.

"Bodo amat. Gue nggak kenal juga" suara Aldo terdengar keras membuat Carlo membulatkan mata. Merry berdecak kesal.

"*"
Merry dan Alfi mengobati luka Tara di UKS. Tidak parah, tetapi luka di kedua lututnya telah memerahkan rok sekolahnya. Alfi mengantarkan Tara ke kelasnya setelahnya mengantarkan kotak milik Tara yang berisikan kue ke kantin sekolah.

"*"

Angin bersemilir Merry berjalan di koridor hendak menuju keruang guru memberikan sebuah stopmap bewarna biru yang diberikan pak Roger. Kakinya melangkah ceria mungkin karena hari ini tidak telat seperti sebelumnya. Sudut bibirnya juga terangkat menandakan mood-nya baik hari ini.

"Bu Iren" panggil Merry sumringah melihat guru cantik didepannya tanpa susah susah pergi keruang guru yang harus muter muter. Lantai licin yang baru saja di pel membuat Merry terjatuh. Sontak Carlo dan teman temannya tertawa tegelalak melihat peristiwa itu. Gadis itu memegang panggulnya serta merintis kesakitan. Bu Iren yang melihat Merry terjatuh segera menolongnya.

"Aduh aduh, Merry. Hati-hati kalau jalan ya" kata bu Iren dengan membantu Merry berdiri. "Kalian semua itu kan laki laki, tidaknya membantu malah tertawa" marah bu Iren.

Bu Iren adalah seorang guru muda pindahan dari Jawa. Keturunan cina satu satunya di sekolah dan senyumnya manis sekali. Semilir angin menyibak rambut gerainya menambah kecantikan bu Iren dan membuat anak laki laki terkagum.

"Wuhhh" teriak anak laki laki bersamaan dilanjutkan tawaan melihat pagi pagi sudah diapeli bu Iren.

Merry memberikan stopmap dari pak Roger, kemudian melotot kepada Carlo, dan kembali ke kelasnya dengan memegang panggulnya yang sakit. Sambil merintih, seseorang menabrak Merry lagi.

Bruukk!! Merry terjatuh lagi. Seseorang yang menabraknya adalah kakak kelas yang Merry sukai. Chito. Laki laki kelas 11 Ips. Mempunyai bulu mata lentik yang membuat Merry terpesona. Matanya kalem, dan warna kulitnya tidak terlalu gelap seperti Merry. Kaki dan lehernya jenjang sedangkan saat itu matanya kaget melihat Merry.

"Aduuuuhhh, ini hari saha sial sekali?" erang Merry agak kesal.

"Merry" kata Chito kaget karena menabrak seseorang. Begitupun dengan Merry.

"Kakak kenal sama saya?" Kata Merry masih ngesot di lantai yang kemudian dibantu Chito berdiri. "Terima kasih ya"

Merry berjalan meninggalkan Chito dengan senyuman, ternyata seseorang yang ditaksirnya juga mengenalnya. Moodnya memang benar benar sedang baik.

"Merry" panggil Chito yang sedang menatap punggung Merry, Merry dengan sigap memutar kepalanya. "Kau punya nomor hape kah?" Tanya Chito yang membuat hati Merry berdegup kencang.

Merry tidak mempunyai hape, jika Merry butuh sesuatu, langsung saja dia menemui. Apa guna punya hape tetapi memperjauh yang dekat?. Batin Merry bersyukur tidak punya alat canggih masa kini itu. Jika dia rindu ibunya yang berada di Timor Leste, ia akan pergi ke warnet dan mendengarkan suara ibunya disana. Merry menggelengkan kepala kepada Chito.

"Sayo tidak punya hape, jika kaka butuh sesuatu, temui saya saja. Ipa 2" kata Merry meninggalkan Chito.

.
.
.
.
Maaf ya belum sempurna, saya baru pemula.. dan saya butuh saran dan masukan. Baca terus yaa..

MentarikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang