Pak Teguh hanya memberikan buku matematika kepada peserta OSN, lebih tepatnya OSK karena masih bertingkat kabupaten.
"Tebel ginian, pak?" Aldo berdecak berkali kali melihat lihat buku.
"Makanya kamu itu belajar dari sekarang!" Pak Teguh menyeruak.
Memang benar guru guru sains itu tidak ada yang kalem. Mulai dari Bu Sus, Pak Teguh, Pak Gusto, Bu Laila, Bu Lela, Bu Lala, Bu Lili, bu lele sampai ke Pak tukang bubuh naik haji. Baru beberapa bulan, Aldo pindah kesini. Rasanya sma saja dengan sekolah di Jakarta. Guru killer. Point. Telat. Bolos. Untung pinter. Bedanya bagi Aldo, ceweknya masih natural semua. Bagaimana beli bedak? Lebih baik untuk membangun rumah yang layak tinggal.
"Tara, kamu jadi cadangan yaa, tetapi tetap belajar. Kamu tahu Raffa sering sakit begitukan" kalimat Pak Teguh membuat Tara tak percaya. Cadangan?
"Saya cadangannya?" Tara menunjuk diri sendiri dengan jari telunjuknya. "Kenapa tidak dia saja? Murid baru kan" sesaat telunjuknya berpindah menunjuk Aldo.
Pak Teguh berfikir sejenak. Mengelus jenggotnya sesekali, lalu menatap Aldo dan Tara bergantian.
"Dari tes kemarin, nilai Aldo jauh lebih banyak daripada kamu, Tara. Meskipun si Aldo sering membolos, dia bisa diandalkan, sudah nanti saya kabari lagi. Sekarang kalian berdua kembali ke kelas sana"
Tara hanya menunduk. Ambisinya untuk ikut dan menang yang tadinya menggebu berubah menjadi debu saja. Padahal uang kemenangannya bisa untuk mengobati ibunya yang sedang tergeletak lemah karena suatu penyakit mengerogoti tubuh ringkuh itu. Aldo melihat kesedihan penyesalan disorot mata Tara. Baru saja Aldo ingin berbicara, gadis yang berjalan disampingnya itu masuk ke dalam kelas tanpa menghiraukan Aldo. Dilihat papan tulisan di atas pintu. X MIPA 2. Kemudian menatap Tara berjalan menuju bangku dan akhirnya Aldo pergi ke kelasnya sendiri.
"*"
"Hey Tara, kak Chito berniat mengantar saya pulang hari ini" Merry membuka obrolan, setelah jam pulang sekolah berbunyi.
"Kalian sudah jadiankah?" Tanya Alfi memperhatikan Merry. Pasalnya sedari tadi senyum senyum sendiri.
"Belum" wajah Merry berubah datar. "Mungkin nantilah" berubah lagi sumringah. "Okey, saya pergi dulu yaaaa" teriaknya sambil berlari.
Memang hari yang beruntung bagi Merry, tetapi bertolak dengan Tara. Hari yang menyebalkan.
Tara mengambil kotak kuenya dikantin. Biasanya Alfi dan Merry akan setia menemani,tetapi tidak hari ini. Alfi pergi dulu kedalam bis sedangkan Merry pulang dengan kak Chito. Tara menganggap hari ini memang tidak menyenangkan.
Debu debu menampari wajah Tara. ia berjalan cepat dari kantin karena bis sudah mulai bergerak. Ia lari tergopoh gopoh. Lukanya terasa sakit lagi. Seseorang yang tak lain adalah Aldo, memberinya isyarat agar cepat naik. Aldo berusaha memberhentikan bus itu,tetapi ditahan oleh teman temannya yang sudah mulai kelaparan. Alhasil, Aldo turun menyusul Tara dan ditinggal oleh bus sekolah itu.
"Kamu tidak apa apa?" Tanya Aldo ngos ngosan.
"Ya" jawaban Tara membuat Aldo bingung. Cuek sekali.
"Ya? Sekarang kita ketinggalan bus tau" Aldo mengatur nafas. Tara berdiri dan mulai berjalan.
"Mau kemana?" Aldo mengusap peluh di dahinya kemudian menyusul menjejerkan tubuh tinggi di sampingnya.
"Pulang" jawab Tara singkat.
"Jauuh, Ra!!" Nada suara Aldo naik satu oktaf membuat Tara menghentikan langkahnya.
"Saya dengar kamu anak orang kaya, kamu telfon saja supir kamu. Suruh dia jemput kamu, trus pulang. Kayak di film." Nada suara Tara juga naik beberapa oktaf tidak mau kalah yang justru membuat Aldo mengembangkan senyumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentariku
Teen Fiction"Karena saya tau, sesuatu akan berakhir buruk nantinya. Dan saya mengakhirinya sekarang saat semua masih terasa indah. Jangan tanya apa aku sanggup." Merry Crystalia "Rasanya saya sudah bosan dengan cinta, muak ingin mutah mendengar kata itu" Tara M...