Liar

11 3 3
                                    

Pembohong.

Andai saja saya bisa menyebutmu demikian. Seandainya saja kamu benar-benar menjanjikan apa yang kamu katakan dua hari yang lalu. Seandainya saja saya berhak mengataimu demikian. Namun apa daya, hanya saya yang memiliki perasaan dalam seluruh interaksi kita berdua.

"Ke PIM aja yuk."

Andai kamu tahu, saya sempat menahan napas sejenak saat kamu dengan entengnya mengatakan hal itu. Kata-kata yang saya ucapkan sesudahnya untuk membalas perkataanmu, yang sejujurnya sudah tidak lagi saya ingat, dibarengi dengan detak jantung yang entah sejak kapan tidak bisa dikendalikan lagi. Sejenak menaruh harapan tinggi akan memiliki sesi bersama dirimu lagi, walaupun saat itu yang kamu maksud adalah sesi jalan-jalan dengan teman-teman seperjuangan kita yang lain.

Pembohong.

Biarkanlah saya menyebutmu demikian. Supaya saya memiliki alasan untuk menangis malam ini.

Kata-katamu sudah sukses membuat saya tidak bisa tidur lagi tadi pagi, ketika teman sekamar saya bangkit dan menyalakan lampu kamar. Berbaring di atas kasur, memandangi telepon genggam saya yang seperti biasa, sepi tanpa ada notifikasi. Saya merasa seperti orang bodoh, karena saya sudah berfirasat saya tidak akan bertemu denganmu hari ini. Acara makan semalam membuktikan semuanya.

Salah satu alasan saya memutuskan untuk ikut makan-makan dengan kalian adalah kamu. Ya, namamu-lah yang berhasil membuat saya meninggalkan pizza yang akan dipesan tim saya untuk makan malam. Memilih pulang terlebih dahulu dan bergabung dengan kamu dan yang lain. Bukan pengorbanan besar memang, tapi semuanya saya lakukan hanya untuk melihat kamu.

Tapi nyatanya bukan kamu yang meneriakkan nama saya ketika saya menunjukkan diri di hadapan kalian semua. Kamu hanya tersenyum dalam diam, dengan kepala yang bergerak ke kiri dan kanan mencarikan tempat kosong untuk saya duduk. Gestur basa-basi, karena bukan kamu yang meminta waitress untuk mengambilkan kursi tambahan.

Dan kamu tidak pernah menatap saya selama sisa pertemuan kita malam itu.
.
.
09.16

Oke, sudah hampir enam puluh menit saya menunggu notifikasi di handphone saya. Menunggu kabar darimu.

Dua hari yang lalu, di waktu yang sama, kamu meneleponku, menanyakan apakah aku berencana pergi keluar atau hanya mengurung diri di kungkungan dinding kos. Aku tahu, kamu melakukannya karena kesepian akibat ditinggal Aga, teman sekamarmu. Tetapi, tetap saja jantung saya berdegup kencang ketika mengangkatnya.

Namun, hari ini semuanya berbeda. Tidak ada chat yang mengawali semuanya, apalagi dering telepon yang diiringi tampilan namamu di layar telepon. Membuatku terpaksa menelan kekecewaan dan menarik kembali harapan yang sudah terlanjur melanglang buana. Sakit memang, tapi saya tahu, kemarin kamu tidak benar-benar menjanjikan saya apa pun.

Menghela napas dan menelan pil pahit kekecewaan, jemari saya kembali bergerak di layar sentuh. Keluar dari aplikasi chat tempat namamu terpampang jelas, kemudian bergerak membuka aplikasi lain yang (semoga) bisa membuat saya melupakan segalanya sejenak.

Dan sisa hari ini saya habiskan dengan membaca cerita pendek yang menguras hati.
.
.
Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan atas kekacauan hati saya dalam empat hari terakhir.

Mungkin kamu yang salah. Terlalu baik pada semua orang, pada saya, sehingga saya sempat menaruh harapan-harapan tak jelas di sana. Juga karena telah dengan sangat rela mengikuti saya ke toko buku (yang berakhir menjadi acara jalan-jalan seharian) ketika saya sudah berniat pergi sendirian. Atau mungkin karena kamu sudah mendiamkan saya setelahnya, seolah akhir pekan kemarin kita habiskan sendirian di kamar kos masing-masing. Mungkin juga karena ucapanmu yang menentukan destinasi jalan-jalan kita untuk hari libur selanjutnya.

Seandainya saya bisa menyalahkanmu.

Akan tetapi, sayalah yang sebenarnya memiliki kesalahan terbesar. Lantaran sudah menaruh harapan dalam setiap ucapan dan tingkah lakumu. Padahal sebenarnya saya tahu, kamu melihat saya tidak lebih dari sebagai teman perempuan, teman seperjuangan yang sama-sama sendirian di akhir pekan. Bukannya sebagai seorang wanita. Saya jugalah yang memiliki imajinasi terlalu tinggi yang membuat saya berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi.

Kesalahan terbesar saya adalah menjadi satu-satunya orang yang menyimpan perasaan dalam seluruh interaksi kita selama ini

TemporaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang