Hope

6 1 0
                                    

Halo, Dito.

Kita bertemu lagi.

Dua minggu setelah kepulangan kita untuk menuntaskan kewajiban kepada almamater dan orang tua. Dua minggu tak bersua dan tak ada kabar, hingga membuat saya mulai memantapkan diri untuk menata hati yang kacau belakangan ini. Berusaha bersikap biasa saja tiap namamu terpampang di lini masa media sosial saya.

Kemarin, kita bertemu lagi.

Pada awalnya saya tidak tahu itu kamu, lantaran kamu duduk membelakangi saya dan saya tidak bisa mengidentifikasi dirimu dari sisi belakang. Jadi saya memilih untuk duduk di tempat favorit saya, tepat di belakangmu. Kemudian Aga datang dan menyapa saya, membuat kamu ikut menoleh dan saya mengetahui kalau lelaki berjaket hitam itu adalah dirimu.

“Halo, Ti.”

“Hey.”

Hanya seperti itu, standar saja. Bahkan saya tidak bisa melihat raut wajahmu dengan jelas karena posisi kita yang membelakangi satu sama lain.

“Mau jalan ke mana?”

Saya hanya tertawa. Mengingat kembali pertanyaan standar milikmu yang biasa terlontar ketika akhir pekan datang. Tetapi sekarang kamu menanyakannya di hari Selasa, setelah akhir pekan panjang, dan masih ada tiga hari lagi sebelum akhir pekan selanjutnya tiba. Tentu saja saya hanya bisa bertawa dan menepis pertanyaanmu.

Tetapi, bolehkah saya berharap?

Bolehkah saya berharap, ketika akhir pekan besok benar-benar tiba, ketika kedua mata saya baru terbangun dari alam mimpi, akan ada sebuah pesan darimu. Menanyakan agenda saya di hari itu dan pada akhirnya kita akan menghabiskan waktu seharian berdua, seperti waktu itu.

Bolehkah saya berharap?

Walaupun sepertinya itu tidak mungkin. Tidak mungkin akan ada pesan itu darimu—dua minggu sebelumnya membuktikan, kamu tidak akan pernah bertanya seperti itu lagi. Setidaknya selama kita berdua masih ada di Kota Pelajar ini, selama kamu masih punya teman-teman sepermainanmu di sekeliling, dan selama saya masih sibuk mengejar target kelulusan saya.

Interaksi kita hanya terjadi karena kamu kesepian, kalau boleh saya menyimpulkan. Kamu tidak punya banyak teman selama kita ada di Jakarta, tidak banyak yang bisa kamu ajak pergi di akhir pekan hingga pilihan itu akhirnya jatuh pada saya dan teman-teman saya. Saya dipilih karena kamu tidak punya pilihan lain, bukan karena ada alasan lain.

Mungkin interaksi kita akan kembali ketika akhirnya kita bekerja di tempat yang sama, tinggal di daerah yang sama, dengan keadaan yang sama persis dengan tiga bulan yang lalu.

Tetapi saya tetap berharap.

Oh iya, selamat ulang tahun Dito.

Maaf saya tidak mengucapkannya secara langsung kemarin.

TemporaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang