2. DARE NANDUNG

4.5K 198 3
                                    

Wajahnya putih bersih sedikit pucat karena jarang terpapar sinar matahari. Dia menghabiskan banyak waktu untuk menenun kain lunggi. Kain kebanggaan di kerajaan Tan Unggal. Tak ada perempuan lain yang bisa membuat motif seindah kedua tangannya yang lentik. Nandung, panggilan kesayangan Ayahandanya, selalu sabar membuat helai demi helai benang emas itu menjadi kain yang indah. Kain hasil tenunnya sering dijual di kerajaan lain sebagai koleksi atau cinderamata.

Kain lunggi membawa nama Nandung dikenal banyak pembesar di berbagai kerajaan. Bahkan banyak pangeran yang ingin sekali bertemu dengannya setelah melihat motif kain lunggi yang dia tenun dengan kedua tangannya sendiri. Banyak yang mendengar bahwa kerupawanan wajahnya mengalahkan keindahan kain lunggi buatannya.

"Menenun lagi, Dinda?"

Bujang Nadi, satu-satunya saudara kandungnya masuk ke bilik tenun adiknya dengan membawa bunga mawar kesukaannya. Dare Nandung membentuk bulan sabit dengan bibir merahnya memamerkan gigi putihnya.

"Apalagi yang bisa Dinda lakukan di istana ini Kanda?"

Perempuan muda itu menghentikan gerakan tangannya di alat tenun yang sudah bertahun-tahun setia menemaninya. Sejak kecil inilah alat tenun yang dia gunakan, sudah beberapa kali ada bagian yang rusak, tapi tak pernah terpikir olehnya untuk mengganti alat tenun itu dengan yang baru meskipun Ayahandanya mampu membelikan alat yang paling mahal di negeri ini.

"Jalan-jalan di taman bersama Kanda bukankah lebih menyenangkan?"

Bujang Nadi menggenggam kedua tangan adiknya mengusapnya perlahan dan melihat ada banyak bekas benang di sana. Dare Nandung tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya. Selain menenun memang jalan-jalan di taman juga menyenangkan. Tapi ada satu hal yang mengganggunya. Dia merasa terkurung di dalam istana. Tak pernah sekalipun mereka diizinkan untuk berjalan selangkah keluar dari istana ini.

"Apakah Kanda tidak merasa bosan kita setiap hari hanya melakukan semua hal di dalam istana?"

Wajah Bujang Nadi sedikit sendu mendengar pertanyaan adiknya. Jauh did alam hatinya dia memang merasakan hal yang sama. Terkurung di sangkar emas tanpa bisa melakukan apa-apa. Sejak kecil beginilah hidup yang mereka jalani. Barangkali itu sebabnya adiknya bisa menenun dengan sangat indah. Nandung menenun hampir setiap hari selama dia sehat. Hanya ada beberapa kali adiknya tidak duduk di bilik ini, saat demam menderanya.

"Adinda tahu betul bukan alasan Ayahanda tidak mengizinkan kita keluar istana?"

Pertanyaan Bujang Nadi tak perlu dijawab sebenarnya. Sebab hanya membuat Nandung merasa hidupnya sengsara mengetahui Ayahandanya terus memaksa mereka untuk berada dalam istana. Pengawal akan mengawasi semua gerak-gerik mereka jika keluar dari bilik ini. Di sini satu-satunya tempat Nandung merasa tenang dan bebas dari tatapan pengawal yang memegang perintah Tan Unggal.

"Seandainya saja kita bisa menjalani kehidupan seperti orang biasa, pasti sangat menyenangkan ya Kanda."

Nandung menunduk setelah mengatakan isi hatinya yang setiap hari membebani pikirannya. Hanya Bujang Nadi yang menjadi penguatnya di dalam sangkar yang dibuat oleh Ayahandanya ini. Genggaman tangan saudara kembarnya semakin erat. Perlahan anak sungai terbentuk di pipi Nandung. Bujang Nadi menarik adiknya ke dadanya dan membiarkannya menangis sepuasnya. Tak banyak yang bisa dia lalukan sebab perintah Ayahandanya adalah aturan yang harus ditaati.

"Kanda janji nanti kita akan keluar dari istana ini dan bebas dari pengurungan ini Dinda. Kanda juga tak ingin kita terlalu lama terkurung di sini."

Tangan kanan Nadi mengusap rambut panjang adiknya.

"Bila Kanda?"

Harapan kecil masuk ke hati Nandung. Dia ingin betul bisa keluar dari istana ini dan menjalani kehidupan yang bebas tanpa peraturan ketat Ayahandanya. Semakin lama dia semakin bosan dan sebal dengan keadaan yang tak pernah berubah setiap harinya.

"Kanda dengar banyak pangeran yang ingin bertemu dengan Adinda. Jika Adinda menikah Kanda rasa Ayahanda tak akan melarang Adinda meninggalkan istana ini." Bisik Nadi di telinga Nandung.

"Kanda pun akan dijodohkan dengan puteri dari kerajaan lain kan?"

"Sepertinya kita harus segera menikah dengan pangeran dan puteri dari kerajaan lain dan keluar dari istana ini bersama-sama Adinda."

"Apakah dengan menikah kita bisa mendapatkan kehidupan yang bebas Kanda?"

"Kanda tidak yakin kita akan bebas keluar masuk istana Dinda, tapi setidaknya kita tidak terikat dengan aturan Ayahanda yang mengurung kita di istana seperti ini. Mungkin kita masih bisa sekali sepekan jalan-jalan berkeliling di luar istana. Kedengarannya menyenangkan ya Dinda?"

"Entahlah Kanda, Dinda belum pernah keluar istana ini sekalipun. Tak pernah Dinda bisa membayangkannya."

Dua puluh tahun sudah mereka terperangkap dalam istana yang sama. Di sini, mereka lahir dan membesar, hanya bertemankan pengawal dan pelayan istana. Tak ada keinginan yang lebih besar dari bisa melihat dunia di luar istana ini lebih dekat, tak hanya mendengar ceritanya dari pelayanan yang setia melayani mereka.

Nandung menghapus air matanya dan menyimpan harapan itu sebagai penguat semangatnya.

Bujang Nadi Dare Nandung (Tragedi Cinta Sedarah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang