Aku memilih untuk diam saat Himeko terus bertanya perihal ide gilaku untuk menyewa seorang pria. Apa yang menjadi permasalahan Arzhou mungkin bisa kumanfaatkan. Ini justru kesempatan bagus untuk mendapatkan pria itu dalam semalam. Arzhou punya hutang? Jika ia berniat menjual tubuhnya, kenapa tidak aku saja yang beli? Berapapun, aku yakin bisa mengusahakannya jika membujuk kakek.
Berbekal syal Himeko, kututupi area dadaku yang sedari tadi jelas terekspos. Mungkin kesempatan ini tidak akan datang lagi. Setelah mendapatkannya, kegilaanku pasti akan berakhir.
Aku buru-buru menuju ruang ganti karyawan yang ternyata bersebelahan dengan toilet.
"Dia sudah pulang, sepertinya ada urusan,"kata pelayan yang sempat mengobrol dengan Arzhou tadi. Mata sipitnya sedikit mengintip area yang kututupi dengan syal.
"Dia kemana? Apa membayar hutangnya?" tanyaku cemas. Tidak terpikir lagi olehku alasan lain ia buru-buru pulang.
Pemuda dengan aksen Osaka itu diam sejenak. Menatapku ragu, mungkin sedang berpikir akan memberitahuku atau tidak.Kuulurkan lembaran yen yang kuambil dari dalam tas kearahnya tak sabar,"Cepat katakan," dengusku tajam.
Ia nampak terkejut, tapi dengan segera menerima pemberianku lalu memasukkannya ke dalam saku.
"Iya, ayahnya yang menyuruh Arzhou untuk itu, kalau tidak salah ia ada di Barinton hotel, sepuluh menit perjalanan dari sini."Tak peduli apapun lagi, aku langsung melesat meninggalkan klub dengan mobil milik Himeko yang di parkir paling belakang. Aku berkali-kali menekan klakson yang membuatku terlihat seperti wanita mabuk yang sedang berkendara. Beruntung, tidak ada polisi lalu lintas pada tengah malam seperti sekarang.
Setelah memarkir mobil di hotel kecil itu, aku buru-buru masuk ke bagian resepsionis. Berlari seperti orang yang hilang akal.
"Anda ingin memesan kamar Nona?" tanya seorang resepsionis menyambutku ramah. Sial...bagaimana aku bisa menemukan kamar mereka?
Kuremas mini dressku dengan pikiran kacau. Sudah sejauh ini, apa aku harus menyerah?
"Aku ingin pesan kamar di lantai dua," kataku asal, penuh keraguan.
"Baik, akan segera saya siapkan." Resepsionis wanita itu lalu memeriksa ketersediaan kamar lewat layar monitor di depannya.Sesekali, ia melirik kearah wajahku yang terlihat diliputi kepanikan. Seperti mencoba menebak tentang apa yang ada di pikiranku sekarang.
"Maaf, apa anda sedang mencari seseorang disini? Emm--- maksud saya mungkin saya bisa membantu, tapi saya butuh tip untuk itu."
Senyumku langsung mengembang,"Baiklah apa ini cukup? Disini tidak ada cctv kan? Jika kau sampai membocorkan rahasia tamu, kau bisa celaka."
Ia menggeleng, berbisik sambil mencondongkan tubuhnya mendekatiku,"Sudah lama cctv kami tidak berfungsi, bukankah sesama wanita harus saling membantu?"Kini aku mengerti, dia mungkin berpikir aku sedang mencari suami atau pacar yang sedang berduaan dengan wanita simpanan mereka di hotel. Masa bodoh yang penting aku harus menemukan kamar itu.
"Hanya kamar nomor ini yang ada wanita paruh baya dengan pria remaja, mereka baru saja. Kira-kira 10 menit yang lalu."
Tidak ada waktu. Jika sudah sepuluh menit yang lalu, bisa-bisa mereka sudah melakukannya!Setengah berlari aku meninggalkan tiga lembaran ratusan yen di mejanya. Butuh waktu semenit, hingga kaki telanjangku berdiri tepat di depan kamar nomor 502. Napasku masih tersengal saat dengan buru-buru kuketuk pintu bercat coklat itu tak sabar. Satu menit. Dua menit. Masih hening.
"Buka atau kudobrak!" teriakku mencoba untuk kembali tenang. Ada apa ini? Apa wanita itu terlalu asyik hingga tak peduli?
Ceklek. Seorang wanita paruh baya bermata seperti rubah betina membuka pintu itu. Aku berkacak pinggang, mendorongnya lebih kuat agar terbuka lebar."Siapa kau! Pergi atau aku panggil keamanan! "Ia panik, memicing di bawah kelopak mata kendurnya. Bukannya takut mendengar ancaman, aku sekuat tenaga menahan pintu yang akan kembali ia tutup. Tapi, ia mati-matian
menepis kakiku yang menendangi daun pintu.Buk...
Wanita itu terjengkang mundur dan akhirnya pintupun terbuka, memberi akses bagiku untuk masuk."Surumi-san? Apa pengganggu itu sudah pergi?"
Seorang wanita berjalan menuju kearahku, kutafsir, umurnya lebih dari 30.
"Siapa kau? Mana Surumi!"
Ia memekik kaget saat melihat sosokku menerobos masuk ke ruangan bagian dalam. Namun, aku tak menggubrisnya. Begitu melihat wanita lain selain rubah betina yang menghalangiku tadi, firasatku berubah sangat buruk. Apa ada pesta liar di sini?Segala pertanyaanku langsung terjawab begitu aku melihat Arzhou duduk setengah sadar di sebuah sofa paling pojok. Di sampingnya, ada seorang lagi, sibuk melepasi kancing bajunya sendiri. Terlihat sangat tidak sabar, penuh nafsu.
"Kau! Lepaskan dia, jalang!" teriakku, berlari kearahnya emosi. Tanpa ampun, kutarik ujung rambut wanita ketiga itu hingga terdorong mundur, menghantam sudut sebuah meja besi. Ia memekik kencang, menyentuh ujung pelipisnya yang berdarah akibat perbuatanku."Siapa kau! Dia sudah dibayar. Pria ini adalah milik kami!"
"Benar, pergi atau ku panggil satpam!"
Ketiganya mengepungku dengan ancaman menggelikan.
"Satpam kalian bilang? Apa tidak sekalian polisi huh? Berpesta liar dengan anak yang masih sekolah bukankah melanggar hukum!" balasku berteriak menunjuk Arzhou yang sudah mulai sadar. Pria itu buru-buru kurengkuh, kuangkat dengan salah satu lenganku. Aku harus membawanya pergi."Memangnya kenapa? Kami membayarnya!"teriak wanita ke dua menutup pintu keluar. Memang, mustahil mereka membiarkanku membawa Arzhou keluar begitu saja dari tempat itu.
"Baiklah, berapa nominalnya, akan kuganti."
Satu dari mereka tergelak, menertawai omonganku.
"Bilang saja, kau juga ingin mencicipi tubuh remaja tampan ini, kita bisa membaginya denganmu nanti."Kurang ajar!
"Minggir atau aku akan telepon polisi karena kalian hampir menelanjangi anak didikku."
Perkataanku, sukses membuat ketiga wanita itu bungkam. Ya, jika mereka masih waras, mereka akan melepaskanku sekarang. Aku sangat yakin, mereka pasti takut jika aku sampai lapor polisi. Itu sama saja membiarkan perbuatan menyimpang mereka ketahuan.------
Lewat tengah malam, dengan sisa-sisa tenagaku kubawa Arzhou masuk ke dalam apartemen. Entah apa yang telah ia minum, sudah hampir setengah jam, ia tidak bergerak sedikitpun.
Aku membaringkan Arzhou di ranjangku. Punggungku serasa remuk dan penampilanku hampir sama dengan pelacur tua di pinggiran jalan kota Tokyo. Akh, menyebalkan dia sungguh menggairahkan, bisikku mengepalkan jari. Melihat Arzhou terpejam di atas ranjangku, rasanya gairahku bisa tumpah saat itu juga.
Ukh... Apa ini mimpi? Semoga saja tidak karena aku bisa gila jika terbangun dari mimpi seindah ini. Menahan kesal pada diriku sendiri, aku beranjak ke kamar mandi. Mungkin jika berendam sebentar, pikiranku bisa lebih tenang.
Bukankah tidak nikmat bercumbu dengan seorang yang tidak bergerak?
---
BACA GRATIS di dreame!!
KAMU SEDANG MEMBACA
TWO HUSBAND 1
RomanceWARNING!!!! khusus pembaca 20 ++ BACA GRATIS di DREAME !!! COMPLETE! Bersambung di sekuel dua "Jadi, apakah kau membayarku untuk seks? "tanya Arzhoe berat. Terdengar tersinggung. "Huh! Percaya diri sekali! Uang yang kuberikan itu adalah sumbangan...