Berendam terlalu lama di dalam bathtub, ternyata tak mampu meredakan gairahku sedikitpun. Yang ada, tubuhku menggigil dan kepalaku berdenyut nyeri. Aku menggerutu, mengambil sebuah setelan gaun tidur di loker kamar mandi. Apa Arzhoe sudah siuman? Sudah terlalu lama sejak aku membawanya dalam keadaan tidak sadar.
Rasa penasaranku terjawab setelah aku melihat sosok tingginya masih tergeletak di atas ranjang king sizeku dalam posisi yang sama. Aku langsung cemas. Apa ia dibius oleh tiga rubah itu? Jika benar lebih baik aku membawanya ke rumah sakit.
Dengan ragu, ku periksa suhu kening juga alunan nafasnya. Semua normal, tapi kenapa ia tak juga sadar? Alih-alih cemas, otak gilaku malah sibuk menahan gejolak liar dari dalam tubuhku, berkali-kali perhatianku terpusat pada 'bayi besar' itu. Arzhou sungguh mempesona. Jika aku cium bibir itu, apa pemiliknya akan bangun?
Aku menunduk, setengah mengambangi tubuh Arzhou dari samping
Cup...
Saat kulit lembab bibirku menyapu bibirnya, yang kurasakan tidak hanya gairah, tapi juga sensasi aneh. Tidak puas dengan kecupan, aku melumatnya lembut. Jika bibirnya senikmat ini, bagaimana dengan kejantanannya? Fuck! Kini lihatlah, aku sudah tidak lagi bisa mengontrol nafsuku sendiri. Tanganku dengan cepat mulai menjelajahi setiap senti tubuh Arzhou. Bermain di balik kausnya. Meski tidak terlalu berotot, tapi perutnya terasa kuat dan kokoh.Bibirku kemudian bergerak turun, mengecupi rahang dan tengkuk Arzhou bergantian. Tercium aroma mint bercampur bunga mawar menyerbu hidungku, membakar gairahku yang seketika menggila.
Tapi, sialnya Arzhoe terbangun. Ya, ia benar-benar terjaga dan secara reflek langsung membuka mulutnya. Yang membuatku kaget setengah mati adalah saat merasakan sapuan lidah Arzhoe di rongga mulutku, membuatku menggelinjang kaget juga nikmat. Manik hitam pada matanya terbuka, mengerang kecil saat aku memberi hisapan kuat di bagian bawah bibirnya.
"Sensei? Apa yang kaulakukan?" tanya Arzhou dengan parau, menahan gairah."Sssttt...," bisikku menempelkan telunjuk di atas bibirnya. Aku kembali menunduk, menghunjami pria di bawahku itu dengan ciuman yang lebih panas, lama dan dalam.
Awalnya, tubuh Arzhou menegang, tapi perlahan kurasakan matanya meredup, lalu tangannya terulur, mengusap pipi, tengkuk kemudian berhenti tepat di depan dadaku. Aku bisa merasakan, ia gemetar saat mengumpulkan keberanian pertamanya untuk menyusup di dalam gaunku, meraih bebas dadaku yang sudah membusung.
Sebuah erangan keluar dari mulutku dan kulihat wajah Arzhou begitu terangsang melihat reaksi dari sentuhannya. Semua berlangsung begitu cepat. Nafas kami memburu kencang, bersatu dengan udara pagi. Aku kaget saat ia dengan berani menarikku kebawah. Kami kembali berciuman, mencecap saliva yang saling bertukar.
Arzhou menindihku kuat, tak ada keraguan lagi di matanya seperti tadi. Yang tersisa hanya siratan nafsu birahi. Di atas tubuhku yang terlentang, ia membuka pakaiannya satu persatu. Aku takjub menatap tubuh telanjang Arzhou terpampang begitu nyata di depan mata. Besar dan sudah mengeras.
"Sensei?" ia mengerang, menjilat lubang telingaku sekilas. Tak lama, kami yang sudah sama-sama telanjang mulai bergumul dengan permainan yang lebih bebas dan liar. Gesekan kulitnya pada kulitku juga sentuhan gila Arzhou sungguh menjadikanku binal. Kupikir, Arzhoe itu lugu, tapi lihatlah, ia bahkan bisa mengimbangi mantan player sepertiku. Ia mampu membuatku mengerang penuh kenikmatan. Dan lagi, ereksinya sungguh mengagumkan. Keras dan lumayan besar. Jauh dari bayanganku yang berpikir kecil dan lembek.
Aku jengkel pada diriku yang tidak tahan untuk menghisap miliknya itu dengan lembut. Ia melenguh, menarik belaian di rambutku. Tiba disaat ereksinya sudah siap memasukiku, Arzhou nampak ragu. Padahal aku sudah tidak sabar dan selangkanganku terus berdenyut menahan nafsu yang sudah membuncah.
Arzhou terdiam sesaat dengan nafas memburu hingga kemudian, ia mulai menaikiku, membuka kedua kakiku lebar-lebar hingga akhirnya aku merasakan benda hangat memenuhi perut bagian bawahku yang berkedut riang.
Karena sudah lama tidak melakukannya, celahku sedikit sempit dan susah untuk dimasuki. Kuremas ujung seprai kuat-kuat, Arzhoe menatapku, menikmati erangan yang berlolosan dari bibir. Arzhou lalu memompaku dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat. Sungguh erotis melihat remaja itu memacuku penuh peluh. Desahan, erangan juga suara persatuan kami terdengar memenuhi kamar apartemenku. Menghangatkan udara pagi di musim semi.
Kami saling bertatapan dan Arzhou tak lepas memandangi payudaraku yang berayun mengikuti dorongannya pada tubuhku. Ia menyukainya, menghisapnya berulang kali hingga putingku panjang dan membengkak. Sepuluh menit memacuku, Arzhoe menemukan pelepasan pertamanya. Dengan sigap, ia menarik ereksinya keluar, memuntahkan mani di atas perut rata milikku.
Di sela pengaturan nafas kami, suasana bergairah yang sempat tercipta, berakhir canggung luar biasa. Kepalaku mendadak sakit memikirkan sebuah jawaban jika ia bertanya tentang banyak hal.
......
Jam di ruang tengah menunjukkan pukul tujuh pagi. Di luar masih gelap dan aku yakin, ide buruk membiarkan Arzhou pulang di saat kami bahkan belum bicara dengan benar. Setiap tatapan kami berbentur, manik mata milik Arzhou menggelap. Aku bisa menangkap ada aura penyesalan pada tatapannya.
.....
"Minumlah." Kuulurkan secangkir kopi Robusta kearahnya dengan tenang. Arzhou tak bicara, hanya menerima lalu meletakkannya di atas meja yang memisahkan kami. Hening, kutatap beberapa tanda merah yang tertinggal di leher remaja tampan itu. Kontan, ingatanku terlempar pada kegilaan yang baru saja terjadi.
"Arzhou, ayo bicara," kataku mendesak matanya yang terus berlarian agar beralih padaku. Ya, aku harus sadar, bagaimanapun dia masih anak kecil.
"Tadi malam, aku membawamu dari hotel Horinson. Kupikir akan lebih baik jika kau mengurungkan niatmu itu. Ada tiga rubah---maksudku, tiga wanita usia 40 an yang mengelilingimu, jadi...,""Terima kasih, tapi apa bedanya dirimu dengan mereka Sensei? Kau juga menginginkanku, memperlakukanku seperti sampah."
Tenggorokanku langsung kering, tapi apa yang ia katakan tidak salah. Aku sama jalangnya dengan mereka.
"Arzhou, kau bukan sampah, maafkan aku karena tidak bisa menahan diri," kataku menghembuskan nafas di sela-sela tatapannya tak percayanya.Kembali hening, Arzhou masih memastikan kesungguhanku dengan tatapannya yang sulit kutebak.
"Tidak apa-apa, aku hanya syok saat aku terbangun kau sudah ada di atasku tadi," kata Arzhou menyesap sedikit kopinya yang terlihat mulai dingin.
Akh, dia tidak menggunakan bahasa formal. Melihatnya tanpa seragam SMA membuat suara hati dalam dadaku berloncatan senang.
"Sensei, aku tahu ini sangat memalukan, tapi kau harus tahu tadi malam aku dipaksa menelan obat kuat. Seandainya itu tidak terjadi, mungkin sekalipun kau memohon, aku tidak akan merespon."Dahiku mengernyit, Apa dia sedang menghinaku? Jadi tadi karena obat kuat? Bukan karena aku seksi dan semacamnya?
"Jangan tersinggung, aku cukup menikmatimu tadi, apa kau mengincarku sejak lama?" kekeh Arzhou tiba-tiba. Sungguh tingkahnya sukses membuat imagenya yang tersimpan di memoryku hancur total."Berapa hutangmu pada tiga keparat itu?" tanyaku menusuk. Membuat kepercayaan diri remaja itu memudar, menguap entah kemana. Pengalihan pembicaraan yang sangat tepat di saat ia mulai menyebalkan. Oke, aku bersumpah ini pertama dan terakhir dia menginjak lantai apartemenku.
"Apa artinya kau akan membayarku untuk seks?" Kali ini, nada suaranya sungguh berat. Terdengar tersinggung.
"Ternyata kau percaya diri sekali ya? Itu sumbangan!"
Pertama kali dalam hidupku, setelah melakukan seks yang begitu panas, malah terjadi pertengkaran.
-------vote------
BACA GRATIS di dreame!!
KAMU SEDANG MEMBACA
TWO HUSBAND 1
RomanceWARNING!!!! khusus pembaca 20 ++ BACA GRATIS di DREAME !!! COMPLETE! Bersambung di sekuel dua "Jadi, apakah kau membayarku untuk seks? "tanya Arzhoe berat. Terdengar tersinggung. "Huh! Percaya diri sekali! Uang yang kuberikan itu adalah sumbangan...