1. Sekolah Baru

36 7 1
                                    

"Viennaaa ..."

Teriak seorang gadis di dalam rumah saat mendengar namanya dipanggil dari luar rumah. mendengar teriakkan itu, Vienna memarkirkan motornya di samping teras rumah Arthaya. Dia melangkahkan kaki dan menghampiri sumber suara.

"Apaan sih Tha! Ya udah, lo pakai aja baju olahraga kakak lo dulu," jawab Vienna ketus dengan menggunakan setelan seragam olahraga sekolahnya sambil menunggu Arthaya selesai bersiap.

Vienna sangat antusias saat mendapatkan kabar bahwa Arthaya akan pindah ke sekolahnya setelah beberapa kali dia membujuk Arthaya agar bisa pindah dari sekolah lamanya.

Biasanya, kebanyakan anak baru masuk sekolah di hari Senin biar terlihat rapi dan sopan. Namun, berbeda hal dengan seorang Arthaya yang harus segera masuk di hari Sabtu dengan alasan klise takut kehabisan kursi kosong.

Padahal, untuk seorang murid baru itu bukan suatu alasan sebab masalah kursi kosongkan sudah tanggungjawab sekolah yang telah bersedia menerima murid pindahan.

"Hmm!" pikir Arthaya dengan segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya, "Tidak jadilah, aku pakai seragam sekolah lamaku saja. Lebih nyaman memakai ini," ujarnya yang sudah siap untuk ke sekolah baru bersama Vienna yang akan menjadi pemandunya di sana, "Biar terlihat anak barunya! Ohya, kita masuk jam berapa?" lanjutnya lagi dengan senyuman bahagia keluar rumah setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya.

"UP TO YOU! Jam tujuh lewat lima belas menit. Sekarang jam berapa?"

"Jam setengah delapan?"

"Terserahlah! Ayo berangkat!" ajak Vienna yang sudah siap dengan kendaraannya.

"Masa anak baru datang terlambat!" gumam Arthaya yang masih terdengar oleh Vienna. Namun, Vienna menghiraukan keluhannya yang ingin terlihat seperti anak baru di dalam novel-novel bacaannya.

Sebuah keputusan yang cukup sulit bagi seorang Arthaya untuk menjadi anak baru di Heliconia Internasional School karena dia harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru setelah empat tahun di mulai merasa nyaman dengan sekolah lamanya.

Namun, Arthaya selalu percaya dan optimis dalam setiap hal demi impian dan masa depan yang menjadi pertimbangannya saat memutuskan pilihan tersebut meskipun masih ada keraguan di dalam hati kecilnya. Tetapi, ada satu hal yang ingin Arthaya buktikan bahwa dia tidak seperti apa yang orang lain pikirkan tentangnya dan menjalankan misi rahasia setelah mengambil keputusan tersebut.

Selama perjalanan menuju sekolah barunya, Arthaya membayangkan semua adegan yang pernah dia tonton dan baca tentang murid pindahan sehingga dia berharap kisahnya kali ini akan seperti itu atau mungkin lebih mirip lah. Dia ingin menikmati masa-masa indah putih abu-abu yang tinggal dua tahun lagi.

Arthaya dan Vienna sampai di HIS (Heliconia Internasional School) saat senam pagi telah usai dilaksanakan dan siswa-siswinya masih berkumpul di lapangan. Vienna tetap memarkirkan motornya di parkiran setelah melewati pagar sekolah yang masih terbuka lebar. Biasalah, tahun ajaran baru. Jadi, mereka bisa dikatakan belum terlambat.

Vienna mengantar Arthaya ke kantor guru yang ada didepan lapangan olahraga tanpa peduli dengan tatapan dan bisikan dari siswa lain yang ada di lapangan. Dia pergi ke kelas setelah meninggalkan Arthaya sendirian di depan kantor guru.

"Dari penampilan sih, anak pesantren."

"Yah, susah deketin nih."

Arthaya menemui pamannya yang seorang guru dan beliau memanggil guru kesiswaan untuk mengurus kepindahan Arthaya di sana dan menanyakan beberapa hal sebagai formalitas. Mulai menanyakan pindahan dari mana, sampai jurusan apa yang Arthaya minati. Begitulah sekiranya proses yang dijalani dan tidak terlalu memakan waktu lama karena semuanya sudah jelas. Arthaya kesal dan sedikit kecewa karena tidak sesuai dengan harapannya. Halunya terlalu tinggi.

Gardenia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang