4. Teman Lama

26 7 1
                                    

Hai-hai...
Apakah masih ada yang masih setia?
Maaf ya, udah dua hari ga update karena banyak kendala...
Doakan aku selalu ya...
Untuk terus menghasilkan karya yang bisa kalian nikmati...

Selamat membaca...

***

"Hai Tha!" sapa Raisya saat jam istirahat sedang berlangsung. "Gua kira lu pindah ke mana, eh taunya pindah ke sini. We meet again!"

"Hm, kenapa pindah Sya? Bukannya bentar lagi mau tamat ya? Aku lihat sih, anti betah-betah aja di sana. Ga kepikiran kalau bakalan pindah dan itupun pindah ke sini." Arthaya menanggapi sapaan Raisya dengan menanyakan sesuatu yang seharusnya dia sendiri tidak ingin di tanya akan hal itu.

"Menurut lu? Lu kenapa pindah? Gua mah udah ga betah aja di sana dan ingin cari suasana baru. Taulah gimana ABS sekarang. Apalagi mereka buat program baru yah begitulah. Eh, taunya ketemu ama lu lagi. Udahlah satu asrama, sekelas, eh pindah pun di sekolah dan kelas yang sama."

"Aku mah dari dulu mau pindah dan sekarang baru dapat izin pindahnya. Lagian siapa juga yang mau jumpa sama anti lagi. Anti yang ada ngikut-ngikut."

Kring, kring, kring...

Arthaya pergi meninggalkan Raisya saat bel tanda istirahat telah usai. Dia merasa perbincangan basa-basi nya tidak akan selesai sampai kapan pun. Mereka terlihat seperti besti bestay yang seakan tidak terpisahkan dari percakapan mereka barusan tapi, kenyataannya tak seperti itu.

"Cie, yang lagi bernostalgia," canda Vienna saat Arthaya sudah duduk di kursinya.

'"Biasa, basa-basi dunia sosial," balas Arthaya mengambil buku catatan fisika di dalam tasnya saat melihat guru fisika berjalan menuju kelasnya.

"Gayanya basa-basi dunia sosial, lu kira kita lagi di dunia kerajaan? Yang mana harus bisa bergaul di perkumpulan kalangan para bangsawan apa. Mengikuti kelas sosial, kelas etiket, dan berbagai aturan lainnya."

Arthaya tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan saat mendengar ocehan Vienna tentang novel-novel kerajaan yang sering dia baca. Memang, bahasa yang Arthaya gunakan cukup membuat siapa saja yang mendengarnya akan berpikiran yang sama.

"Siapa tau, tiba-tiba aja pulang dari sekolah udah pindah alam ke dunia kerajaan." Sambung Arthaya di sela tawanya tertahan karena guru fisika sudah di depan pintu.

"Manis..." gumam seseorang yang sedang mengamati dua sahabat tersebut.

"Tertarik? Ya dekatinlah. Jangan cuma mengamati dari jauh, ntar di ambil orang baru tau rasa kehilangan." lirih Farhan asal di samping Aldi yang seakan fokus mendengarkan penjelasan Pak Wahid di depan kelas.

"Lo ngomong ama siapa sih, Han?" Aldi celingak-celinguk mencari lawan bicara si Farhan saat Pak Wahid sedang menulis soal di papan tulis. Dia penasaran siapa yang sedang Farhan bicarakan. Maklum, orang jenius biasanya kurang peka terhadap perasaannya sendiri karena terlalu banyak soal dan rumus yang lebih menarik perhatiannya untuk dipecahkan.

"Aldi..." Pak Wahid memanggilnya karena melihat Aldi yang sedang celingak-celinguk seperti orang yang sedang mencari sesuatu. "Coba selesai soal yang ada di depan!"

Aldi melihat sekilas soal dan jawaban yang baru cuma tulis jawabannya yang di tuliskan. Pak Wahid sedang membuat contoh soal tentang gaya gesekan yang mempunyai massa 5 kg terletak diam diatas sebuah bidang kasar dengan koefisien gesek statis 0,3 dan gesek kinestetik 0,2. Berapakah gaya gesekannya? Namun, beliau memutuskan untuk tidak menyelesaikannya karena mendengar suara Aldi yang sedang bercerita di belakangnya.

Dengan santai dan tenangnya Aldi melangkah maju ke depan kelas dan mengambil spidol yang ada di meja untuk menyelesaikan soal tersebut tanpa banyak protes. Dia menyelesaikannya dengan sempurna dan sekaligus menjelaskannya.

"Nah, kalau kita ngerti konsep yang di jelaskan Pak Wahid barusan, kita tau kalau benda yang diam itu memiliki sigma F-nya selalu sama dengan nol (ΣF = 0). Jadi kalau nggak ada gaya apa-apa, berarti gaya geseknya juga nggak ada. Otomatis jawabannya 0," jelas Aldi tersenyum percaya diri dan hendak kembali ke kursinya. Namun, tertahan oleh Pak Wahid untuk kembali menyuruh Aldi menjelaskan soal berikutnya sampai bel tanda pulang sekolah berbunyi.

"Oke, lanjutkan ke soal berikutnya sampai bel pulang sekolah berbunyi. Bapak tau kamu pintar dan seharusnya menjadi contoh buat siswa lain bukan cerita di kelas tanpa memperhatikan saya menjelaskan. Jadi, lanjutkan soal berikutnya," tegas Pak Wahid sambil mengangkat telpon yang berbunyi dan meninggalkan kelas tiba-tiba.

"Maaf, Pak. Saya bukan cerita saat Bapak menjelaskan apalagi mencari sesuatu. Saya cuma bertanya Pak," Aldi mencoba memberi alasan agar Pak Wahid tidak salah paham terhadap dirinya. Namun, semuanya sia-sia karena Pak Wahid telah keluar kelas sebelum mendengar alasan Aldi. Dia kembali menyelesaikan tugasnya sampai bel pulang sekolah berbunyi.

***

Sepuluh menit sudah berlalu setelah bel pulang sekolah berbunyi. Satu persatu siswa sudah berhamburan pulang ke habitatnya masing-masing. Arthaya memilih menunggu di halte bus karena pamannya sudah pulang sedari tadi.

"Eh, Thaya kan? Pindah ke sekolah sini ya, Tha? Bukannya dulu di pondok ya? Gimana kabarnya Rasya? Dia masih di sana kan?" ujar seorang cowok di samping Arthaya yang juga sedang menunggu di halte.

"Eh, iya. Masih di sana. Fernando teman SD kan?" tanya Arthaya memastikan bahwa dia tidak salah orang yang di ajaknya berbicara.

"Iya, udah lama kita ga pernah reunian SD lagi."

"Hm, begitulah!" balas Arthaya canggung karena sudah lama tidak berinteraksi dengan lawan jenis selain ayah dan saudara laki-lakinya di rumah. Dia bergegas masuk ke dalam bus setelah berpamitan dengan Fernando lewat sebuah anggukan kepala tanda dia pamit duluan.

Ternyata Fernando bukan sedang menunggu bus di halte, dia hanya sedang menunggu kedatangan teman-temannya yang masih ada di pos satpam. Dan melihat Arthaya sendirian menunggu di halte, sekalian dia menemaninya. Meskipun dia tahu bahwa Arthaya jarang sekali bergaul dengan yang namanya kaum laki-laki bukan karena dia sombong atau apalah itu tapi, memang begitulah lingkungan keluarganya yang agamis.

"Arthaya..." sapa seorang cowok yang berada di atas motor ninja nya yang berwarna putih di samping busnya Arthaya sambil melambaikan sebelah tangannya. Dan melajukan motornya begitu saja saat Arthaya menganggukkan kepalanya.

Arthaya hanya bisa menatap kepergian cowok yang menyapanya tadi tanpa dia sadari, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya saat si cowok melihat ke belakang memandanginya.

"Aaargh..." teriak Arthaya yang telah menerjunkan tubuhnya di atas bedcover nya tanpa mengganti seragam sekolah setalah sampai di rumah mewahnya yang sepi.

"Kenapa hati ini merasa bahagia saat dia menyapaku? Kenapa dengan hati ini? Kenapa melihat senyumannya seakan detak jantungku ingin copot? Lebay... " batin Arthaya yang kembali membuka matanya, "Astaghfirullah... Ya Allah, maafkan hambamu ini," lanjutnya lagi yang menyadari sesuatu dan segera menepisnya sebelum tumbuh menjadi sebuah masalah, "Sepi..." lirihnya tanpa alasan tiba-tiba air mata Arthaya jatuh di pipi chubby nya.

***

Terima Kasih bagi yang masih mau membacanya....

Jangan lupa vote and comment nya ya....

Walaupun bisa dikatakan jauh dari kata Bagus....

Gardenia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang