Chapter 1 ( Bagian 2 )

159 12 4
                                    



Sesampainya di atap kulihat disekeliling berupa pemandangan kota dihiasi awan warna jingga, beserta saat kau menghadap ke mentari yang mulai tenggelam membuatnya indah dipandang mata.

Setelah beberapa detik aku terpukau oleh pemandangannya, akhirnya kusadar bahwa tidak ada seorangpun di sini kecuali diriku ini dan sebuah surat di depan mataku yang sedang tergantung di pagar.

"Hah... sudah kuduga akan seperti ini" desahku sambil menunduk karena depresi.

Mungkin isinya adalah " Hahahaha, kau tertipu oleh jebakan seperti ini, dasar jones" atau semacamnya pikirku.

Tak sekian lama, akhirnya aku mengangkat kepalaku dan menghampiri surat itu.

Aku memegangnya dan memeriksa untuk siapa surat itu, dan dugaanku benar suratnya memang untukku lagi.

Saat ku memeriksanya, aku terkejut dan tanpa sadar melompat ke belakang.

Surat itu hampir sama dengan surat yang sudah kuterima pagi ini, tapi ada satu hal yang membuatnya sangat berbeda daripada surat yang sebelumnya.

Dibagian depan surat itu terdapat tulisan tertuju untukku, ya itu memang sama. Tapi, bagaimana kalau disampingnya terdapat bekas lipstik yang menempel.

"Hah.... sudahlah, kan ku baca dirumah" keluhku seakan sudah pasrah dengan keadaan.

Aku ambil suratnya dan langsung memasukannya ke dalam tas.

Lalu dengan segera, aku turun dari atap dan berjalan ke luar gerbang sekolah untuk pergi bekerja paruh waktu

***

Mentari yang tadinya menyinari, sudah tergantikan dengan bulan dan lampu-lampu jalan juga bangunan. Suhu perlahan-lahan mendingin dan juga tak ramai orang maupun kendaraan yang berlalu-lalang.

Setelah keluar dari gerbang, ku berjalan ke arah selatan. Ya, memang sewajarnya karena tempat kerja dan rumahku ada di daerah selatan kota ini.

Memiliki tempat kerja searah dengan rumah sendiri sangat menguntungkan bagiku, karena aku hanya harus naik bis sekali untuk ke tempat kerja, dan pulangnya ku hanya harus berjalan kaki sampai ke rumah.

Contohnya, aku dapat benar-benar menghemat waktu dan uangku.

Ya, dengan kondisi keuangan ku, setiap lembar uang sangat berharga bagiku.

Diriku tinggal di sebuah rumah kontrakan yang memang dikelola oleh pamanku sendiri, dan aku hanya tinggal seorang diri di sana karena keluargaku tinggal di kota lain. Dan pamanku juga sering ke luar kota, jadinya kontrakan yang ia kelola dititipkan kepada ku.

Karena kondisi keuangan keluargaku yang sedang mengenai masalah, akhirnya aku memutuskan pergi dengan sendirinya untuk mengurangi beban hidup kedua orangtuaku. Aku mempunyai satu adik perempuan yang memang masih belum bisa mengurusi hidupnya sendiri, jadi keputusanku mungkin benar untuk meninggalkan rumah dan mulai hidup mandiri.

Tak perlu waktu lama, akhirnya sampai di tempat kerjaku. Lalu ku masuk ke sana dan memulai pekerjaanku.

***

Aku sekarang sedang bekerja di sebuah restoran keluarga. Karena ku pulang sekolah jam 5 sore, jadinya ku masuk kerja sekitar jam 6 sore dan selesai jam 10 malam.

Setelah selesai bekerja, aku berganti baju di loker pegawai dan setelahnya ku mulai berjalan keluar restoran.

"Kamisaki-senpai"

Saat di depan pintu restoran, tiba-tiba seseorang memanggilku.

Diriku menoleh ke belakang dan yang kulihat adalah seorang perempuan.

Dia memiliki tinggi sekitaran bahu ku, mata berwarna coklat, dan rambut coklat yang di kuncir ke samping. Dan yang ku tahu, ia satu sekolah denganku walaupun beda tingkatan, karena ia baru siswi kelas satu.

Kalau tidak salah namanya Hato Hibari

"Hato-san, ada apa ?" tanyaku

"Tidak, ku hanya mau tanya, bisakah kita pulang bersama ?" ujarnya sambil tersenyum.

Boleh , tapi seingat ku kita pisah di perempatan, bukan ?" kataku sambil mengingat-ingat.

"Ya, hanya sampai sana"

"Kalau begitu, ayo kita jalan"

"Ya" jawabnya

Suasana malam yang dingin, aktivitas yang tidak ramai, dan di tambah lagi berduaan dengan perempuan di saat suasana seperti ini, benar-benar terasa sangat canggung bagiku.

Mungkin lebih baik jika ku berbicara dengannya batinku.

"Hato-san, kena..."

"Hibari"

Saat ku ingin memulai pembicaraan, tiba-tia ia memotongnya begitu saja.

Bingung karena perkataannya, jadi ku tanyakan apa maksudnya.

"Hato­-san, maksudnya ?"

"Hibari, panggil aku Hibari" jawabnya sambil tersenyum.

"Hato-san, kurasa itu sedikit.." kataku saat berusaha mencari alasan.

"Hibari" katanya sambil tersenyum, tapi entah kenapa tatapan matanya menjadi dingin.

"Hibari-san" ujarku sedikit terpaksa.

"Hi Ba Ri" walaupun ia tersenyum, tetapi kenapa tatapannya bertambah dingin.

Jika kau bertanya padaku sebagai laki-laki, apa yang kau takuti ?. Sudah pasti kan harga diriku akan menjawab tidak ada. Tetapi saat ku melihat tatapannya, jujur aku benar-benar ketakutan saat ini.

"Ya, Hibari" ujarku karena menyerah akan tekanan.

"Ehm.." balasnya sambil mengangguk dan tersenyum, dan matanya kini berbinar-binar

Mungkin menurut orang hanya matematika, fisika, ataupun kimia yang susah dimengerti. Tapi bagiku yang paling susah dimengerti adalah perempuan.

Karena terlalu terbawa oleh percakapan tadi, tak terasa kini kita sudah sampai di perempatan jalan.

"Kalau begitu kita pisah di sini, selamat malam" kataku saat berhenti berjalan dan menoleh padanya.

"Selamat malam, Ryuto-senpai" balasnya sambil belari ke arah lainnya.

"Eh... Ah, biarlah" ujarku, mengingat percakapan sebelumnya, ku pikir menolaknya adalah usaha yang sia-sia.

Dengan begitu, aku lanjutkan perjalananku pulang ke rumah.

***

What's Wrong With My School Life ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang