Bab I

27 1 0
                                    


Kelompok Sepuluh


"Udah? Gimana, Yan?"

"Dokter Puji habis makan kadal, kayaknya. Gak kuat aku sama napas naganya."

Isa menatap Kiyan kasihan. Pemuda tinggi itu tampak lelah, baru saja selesai menjadi bahan bulan-bulanan dokter senior yang membimbing mereka selama menjalani koas stase jiwa. Gara-gara kelalaian mereka kemarin, beliau benar-benar marah besar. Dokter mana yang tidak marah saat pasiennya yang sedang menjalani masa isolasi tiba-tiba hilang bagaikan kambing dicuri orang.

Isa sendiri maklum pada kemarahan sang dokter. Pasien hilang mereka kemarin memang memiliki masalah halusinasi, sehingga sangat berbahaya untuk membiarkannya berkeliling tanpa pengawasan. Bahkan, saat Isa berusaha mengejarnya, pasien itu menjerit-jerit ketakutan sambil meneriakkan, "Anjing! Ada anjing herder mau menggigitku!!"

Alhasil kepala Isa kena timpuk batu bata. Di sudut hatinya, Isa merasa harga dirinya sebagai seorang manusia jatuh ke jurang terdalam.

"Yaudah, yuk, balik ke bangsal bedah. Yang lain pasti udah nungguin," ujar Isa sembari menarik lengan jas snelli Kiyan.

"Mampir kantin dulu, kek. Ngantuk, nih, semaleman ngerjain referat. Mau beli kopi dulu."

"Salah sendiri pasiennya dilepas."

"Hahaha.. tau, ah, terang."

Kiyan melangkahkan kaki ke arah konter pemesanan di kantin rumah sakit. Seorang wanita paruh baya menyambutnya riang. "Selamat datang! Shift pagi, mas Kiyan? Mau pesan apa?"

"Nggak, bu. Hari ini ganti stase. Kopi hitam satu, ya, bu," Kiyan menyikut pinggang Isa setelah ia memesan minumannya sendiri. "Sa, chat ke grup siapa tahu ada yang mau titip."

"Oke," Isa merogoh handphone di sakunya. Gadis itu berkutat dengan ponsel kesayangannya selama beberapa saat lalu kembali memusatkan perhatian kepada Kiyan yang menunggu. "Lana mau pisang goreng. Rini minta teh madu hangat. Terus semuanya titip aqua, Elvi dua, katanya. Jangan lupa Faiz dibawain bunga melati dari taman, nanti."

"Pisang goreng satu, teh madu hangat dibungkus satu, sama aqua botol lima, ya, bu!" Kiyan mendiktekan ulang pesanan teman sekelompoknya pada si ibu kantin. Setelah wanita itu berlalu pergi, Kiyan berbalik dan menatap Isa. "Faiz minta dibawain bunga melati buat apa?"

"Mana aku tahu? Si Faiz kan, sukanya aneh-aneh," Isa menyandarkan tubuhnya ke meja konter. Matanya menerawang jauh, tak memedulikan Kiyan yang turut bersandar di sebelahnya.

Keduanya merenung dalam diam, baru bergerak saat sang ibu kantin memanggil Kiyan. Pemuda itu membayar sesuai harga, mengambil belanjaannya lalu berlari-lari kecil mendekati Isa yang sudah lebih dulu berjalan ke pintu kantin. Kiyan menjajari Isa yang kini melangkah menuju taman rumah sakit.

Gadis itu memetik beberapa kuntum bunga melati dan menjejalkannya ke saku jas snelli yang ia kenakan. Kiyan menyesap kopinya perlahan, sesekali melontarkan sapaan pada keluarga pasien yang dilewatinya. Isa pun melakukan hal yang sama. Sopan santun adalah salah satu dari sekian banyak sikap yang wajib dimiliki oleh semua dokter yang ada di muka bumi ini.

Saat keduanya mulai mendekati bangsal bedah, seorang gadis berkerudung panjang menyambangi mereka berdua.

"Kiyan, Isa. Gimana, tadi? Udah ketemu dokter Puji?" gadis bekerudung itu bertanya was-was.

Kiyan menepuk bahu temannya lembut. "Udah, Lana. Tenang aja. Beliau udah mau memaafkan kita, kok."

"Alhamdulillah," wajah Lana berseri senang. Ia mengalihkan pandangan ke arah Isa. "Sa, udah baikan, kepalanya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ora-normal ActivityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang