Episode 2 - Kopi Hitam

56 5 2
                                    

"Selamat pagi, Pak Rendra."

"Pagi." Lelaki berusia cukup jauh daripada usiaku pun tersenyum.

"Mau minum apa? Atau mau makan sekalian?" tawarnya.

"Minum saja. Saya sudah sarapan." Aku tersenyum sesopan mungkin. Padahal aku belum tahu apa maksud lelaki tua ini mengajak tatap temu padaku.

"Pelayan!" Lelaki yang mengaku bernama Rendra itu mengangkat tangannya.

"Permisi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang yang berseragam coklat muda menoleh dan segera menghampiri meja kami.

"Saya pesan Sandwich dan Kopi hitam. Anda pesan apa, Pak?" tanya Pak Rendra kepadaku.

"Teh tarik dan Musana." ucapku kalem.

"Maaf, bisa diulang, Pak?" tanya pelayan mendekatkan telinganya.

"Musana? Itu makanan apa?" Pak Rendra ikut menimpali dengan dahi mengkerut.

"Eh, maaf. Maksudku tolong panggilkan Musana pemilik cafe ini. Katakan padanya teman lamanya menunggu." Aku sedikit menyeringai.

"Baik, Pak. Tunggu sebentar." Pelayan pun berlalu setelah melempar senyum.

"Oh, pemilik cafe ini kawanmu!? Hebat sekali kawanmu. Bagaimana perusahaanmu?"

"Eh. Hmm usaha kami baik-baik saja. Tapi ada beberapa kendala di luar." ucapku.

"Hutang?" Pak Rendra bertanya. Tepat dan menohok sekali.

"Ya begitulah, terkadang mereka yang sudah mapan dengan perusahaannya, dengan enaknya melupakan kami." jelasku, "maaf, Pak, maksud pertemuan kita apa, ya?" tanyaku mengembalikan rasa penasaranku.

"Haha. Kau benar sekali, mereka yang sudah di ambang kemajuan terkadang melupakan seseorang yang mendorongnya maju. Bagusnya aku tidak melupakan jasa ayahmu itu." Pak Rendra tertawa di akhir kalimat. Kali ini alisku merapat. Apa maksudnya? Tapi aku langsung menangkap suatu hal.

"Maaf, Pak, saya tidak bermaksud begitu." Aku gugup.

"Ini. Sisanya ambil saja, mungkin catatan hutangku sudah tertumpuk karung terigu. Tadinya aku ingin mengobrol lebih lama. Tapi terlalu cepat pembahasan kita." Pak Rendra menyeringai sambil menyodorkan sebuah koper yang diambilnya dari bawah meja. Aku terkejut.

"Selamat siang, Tuan. Eh, maaf. Ada yang sedang berbisnis rupanya." Tiba-tiba datang sosok Musana membawa nampan yang berisi pesanan. Sekaligus menyuguhkan wajah periangnya yang tak pernah berubah.

"Eh, Musana! Duduklah." Aku mempersilakannya duduk. Memundurkan salah satu kursi.

"Silakan bergabung." lanjut lelaki tua di seberang mejaku, mempersilakan pria berambut ponytail itu duduk bergabung.

"Maaf, ada sesuatu yang mesti saya urus di belakang. Saya segera kembali." Musana pun berlalu sambil memincingkan matanya dan tersenyum ke arahku. Musana selalu begitu, tak ingin ikut campur urusan orang lain kalau tidak diminta.

"Bisa kita lanjut?" Aku bertanya
"Mari." Ia tersenyum, "Isi dalam koper ini seratus juta rupiah. Kalau masih terasa kurang, bisa hubungi saya ke nomor telepon yang kemarin, atau kau bisa datang langsung ke rumahku." senyumnya, sambil menyodorkan kartu nama. Aku pun menerimanya.
"Ah, Pak. Tidak kuduga sama sekali bahwa hari ini akan ada yang membayar. Tapi saya rasa jumlahnya lebih." ucapku seraya meraih gelas berisikan teh tarik lalu meneguknya.
"Tak apa. Ambil saja, sebagai isyarat rasa terima kasihku." Lelaki tua itu meraih sandwich dan menggigitnya

Lengang sejenak.

"Lezat, Pak?" tanyaku menggoda
"Ya, tentu. Mau? Pesan saja, aku yang bayar." tawarnya sambil mengunyah isi mulutnya.
"Ahh, bukan begitu. Roti itu dari perusahaanku. Aku dan Musana bekerja sama"
"Oh begitu. Hebat. Mungkin sewaktu-waktu kita dapat bekerja sama." Tiba-tiba dering telepon berbunyi, yang sepertinya milik Pak Rendra.
"Maaf. Sebentar." Pak Rendra tampak mengangkat telepon setelah menelam sisa makanan di mulutnya. Aku pun tersenyum.

**

"Kukira orang mengajak berbisnis, nyatanya membayar hutang yang lama terlupa." Aku menyeringai unjuk gigi. Menghisap ujung rokok.

"Haha. Komisilah, bagi-bagi," ujar Musana, menggoda.

"Tenang. Tapi lima puluh juta untuk bayar gaji pekerjaku. Dua bulan sudah kutunggak, mereka protes, bahkan ada yang ingin keluar." ucapku tertawa tenang, mengembuskan napas.

"Baguslah kalau begitu," Musana tersenyum. "Hmm, aku mengundangmu kemari untuk membicarakan suatu hal." sambung Musana. Wajahnya terlihat sedikit serius.

"Oh iya, bicara apa?" tanyaku lalu meneguk sisa teh tarik hingga kandas.

***

"Baiklah, sampai jumpa!" Aku melambaikan tangan ke Musana dari kaca mobil. Walau sebenarnya pikiranku agak terusik dengan yang ia bicarakan tadi. Sudahlah, aku pun menginjak pedal gas menuju Bank untuk mentransfer uang ke rekening Jono

"Jono. Cek rekeningmu. Bagi rata." Ucapku singkat. Tanpa menunggu tanggapan dari jono, akupun menutup telepon.

Tuut tuuut tuuuut

**

To be continued. Enjoying the story? Up to your library ;) Sorry for typo. Please comment and vote :)

Next episode - Rambut Bergelombang

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sisa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang