Episode 1 - Pizza Dellivery Order

96 9 4
                                    

"Rant. Besok datang ke kafe." Suara Musana di seberang telepon.

"Ada perlu apa?" tanyaku.

"Datang saja. Oke!" ucapnya bersemangat.

"Ahh. Baiklah."

Tuut tuuut tuuut. Tanda telepon telah ditutup.

Musana. Teman karibku sejak kelas 3 SMP. Dulu kegiatannya sepulang sekolah adalah menjaga warung kopi milik pamannya. Dan sekarang--astaga, dia memiliki kafe bintang empat di pesisir pantai Anyer.  adalah cita-citanya sejak dulu.

Perusahaan kecilku hampir kandas. Uang di luar berjuta-juta. Mungkin aku yang terlalu baik, atau mereka yang pandai memaksaku dengan ucapan-ucapan manis. Ahh, bagaimana aku menarik semua uangku itu? Pppffftt, aku meniup rambut di alisku. Sambil tetap menatap mataku di cermin yang berukuran 1x2 meter.

Tiba-tiba dering teleponku berbunyi lagi. Tak mungkin itu Musana. Konsultasinya baru saja usai.

"Hallo ..."

"Iya, dengan siapa?" Suara lelaki di seberang sana terdengar asing.

"Saya Rendra. Masih ingat?" tanyanya. Aku mengambil gelas lemon dingin di atas meja.

"Maaf, pak. Tidak ingat. Mungkin salah sambung." Aku mematikan telepon. Hanya salah sambung yang mengganggu. Huuhh ... kulempar ponselku ke kasur.

Sedari tadi aku bercermin. Aku berpikir, jenuh juga hidup sebatang kara. Kedua orang tuaku meninggalkanku sejak usia 16 tahun. Aku anak satu-satunya, saudara-saudaraku mungkin lupa denganku. Mungkin ini saatnya aku mencari pasangan hidup.

Ponselku berbunyi lagi. Segera kuraih. Ternyata nomor yang sama menelpon lagi.

"Maaf, pak ... dengan bapak Arant Siere?" Setelah kuangkat, suara berat itu langsung bertanya.

"Iya, benar. Ada perlu apa, Pak?"

"Bisa kita berjumpa?"

"Untuk apa?" Belum kenal sudah mengajak temu. Gerutuku.

"Ada yang ingin saya bicarakan."

"Maaf. Saya sibuk." jawabku datar.

"Ayolah, Pak ... " Lirih tua di sana merajuk, "saya Rendra. Kawan Sutarlan delapan tahun lalu." Tunggu, bapak di seberang sana menyebutkan nama yang selama ini benar-benar tidak ingin kuingat lagi. Rasa penasaranku mulai tumbuh.

"Maaf. Saya tidak ingat. Mungkin kalau kita bertemu, akan mengembalikan ingatan saya." Aku berubah pikiran, karena ia menyebut nama ayahku.

"Oke, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya.

"Mungkin besok. Untuk tempatnya, bapak yang tentukan."

"Baiklah. Mungkin kita bisa bertemu di sebuah kafe di pantai Anyer. Di sana cukup nyaman untuk kita mengobrol santai."

"Oke, pukul delapan, ya, Pak." ucapku menawar

"Baiklah. Terimakasih." Setelah habis suara itu, aku menyentuh ikon reject.

Tuut tuuut tuuuut

Tempat yang tepat. Beberapa menit lalu Musana menyuruhku untuk menemuinya di kafe miliknya. Sekarang seseorang yang mungkin kulupa, mengajakku bertemu di tempat yang sama. Tak perlu repot repot berpindah-pindah place seperti pertemuan biasanya.

Aku kembali bercermin pada kaca yang terpampang lebar di dinding kamar. Rumah sebesar dan semewah ini amat membosankan jikalau hanya satu jiwa yang menghuni, yaitu aku. Aaaarrgghhh! Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur.

Ponselku berdering lagi. Siapapun yang meneleponku pasti akan selalu kuangkat.

"Hallo, Pak." Di seberang sana Jono. Karyawanku.

"Ada apa?" tanyaku malas. Pasti menagih gaji.

"Saya mengundurkan diri, ... " Belum habis ia bicara, mendengar kalimat pembukanya sudah membuatku naik pitam.

"Astaga, Jono! Lihat! Sekarang jam berapa!? Tak bisakah kita membicarakan ini besok atau lusa? Gajianmu dan gajian kawanmu akan tetap kubayar. Tenang saja!" Aku memakinya.

Tuuut tuuuut tuuut

Telepon kututup. Jono pasti selalu kesal, uang kerjanya belum lagi turun selama 2 bulan. Begitupun kawan kawan yang lainnya. Mungkin Jono yang mewakili kawan-kawannya.

Aku kembali berkaca. Tampang setampan ini mana ada wanita yang tak terjerat oleh kharismaku? Mungkin aku yang terlalu naif belum bisa move on dari mantanku dulu. Ahh itu sudah lama sekali. Enam tahun lalu, ia meninggalkanku pergi bersama pria yang dicintainya lagi. Padahal aku sudah berjanji setia padanya. Huhh. Tak berguna usahaku, ribuan kenangan sudah kami lalui, bisa kujelaskan satu persatu, tapi terlalu panjang. Kurasa-- ialah mantan terindahku. Arrgh sudahlah. Lupakan mantan. Eh, tapi yang namanya terindah itu tak 'kan pernah menjadi mantan. Hahah! Apa, sih!

Ponselku berdering lagi. Uuhh. Siapa sih!? Sudah tengah malam begini masih ada yang menelepon.

"Selamat malam, Pak." Suara kali ini terdengar amat ramah.

"Malam. Ada apa?" tanggapku dingin.

"Bapak yang memesan pizza kami satu jam lalu? Maaf mungkin nomor kami sudah anda hapus. Saya sudah di depan rumah Anda." Astaga. Aku lupa bahwa aku memesan pizza.

"Baiklah tunggu di depan pintu." Aku bergegas menuju pintu rumahku. Melempar ponsel ke atas kasur.

"Gratis, kan? Di iklannya, 30 menit tak datang, gratis pizza. Kau sudah satu jam." Aku tersenyum jahat. Padahal aku sendiri lupa sedang memesan pizza.

"Ta ... tadi macet, Pak. Maaf." ucapnya terbata-bata.

"Baiklah. Ini. Sisanya ambil saja." Aku mengambil uang di salah satu saku baju tidurku. Aku memberinya uang sepuluh ribu rupiah.

"Maaf, Pak. Masih kurang." ucap pengantar pizza itu setelah menerima uang.

"Sudah untung masih kubayar! Kalau minta tambah, saya akan laporkan pada managermu. Bahwa ada satu karyawannya yang menyepelekan pekerjaannya. Kau tahu? Perutku ini hampir meledak karena akan dibom oleh cacing-cacing di dalamnya. Setelah mendengar kabar darimu, mereka langsung reda." Pengantar pizza itu terdiam nenunduk.

"Sekarang, bisa Anda kembali? Perutku lapar, tak mungkin aku memakan pizza ini sambil mendengarkan celotehanmu di pintu ini."

Braaakk!

Aku mundur selangkah. Lalu menutup pintu agak keras. Hihi. Jahat nian aku ini.

**

Drrt drrrt drrrt!!!

Getaran alarm di ponselku membuatku terhenyak, tapi sudah biasa setiap pagi seperti ini. Aku segera bangkit. Menatap jam waker di meja yang menunjukkan pukul setengah enam. Dengan langkah gontai aku mengambil handuk lalu bergegas mandi.

Aku memarkirkan mobil. Merapat berbaris rapi bersama mobil-mobil yang lain. Aku keluar dari mobil, melangkah takzim menuju pintu kafe yang semi-outdoor.

"Hallo, saya sudah di tempat." ucap Pak Rendra di speaker telepon.

"Baiklah, sebentar lagi saya sampai. Meja nomor berapa, Pak?" tanyaku.

"Tujuh,"

"Saya sudah di depan pintu, tunggu sebentar."

"Oke, saya juga sudah melihat Anda." Suara berat itu kuputus di akhir kalimat, mataku menangkap sosok rapi di meja bernomor tujuh,  lalu melempar senyum pada seseorang yang juga membalas senyumku. Kami berjabat tangan, sedikit basa-basi sesopan mungkin. Pilihan nomor meja yang bagus, di luar ruangan, aku bisa bebas menghisap cerutuku. Tak dilupakan juga pemandangan yang langsung menghadap lautan lepas dihiasi burung-burung camar yang terbang merendah.

***

To Be Continued. Thanks for your eye's couse was reading my short story ;)
Next Episode - Kopi Hitam

Sisa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang