Meranggas

184 23 39
                                    

Seketika ribut-ribut yang meramaikan ruang ini menemui titik. Kami masih menyandang kerutan di dahi, sedangkan tinggal segelintir yang tenggorokannya masih cukup basah untuk melanjutkan sisa ribut dalam skala bisik. Aku sendiri memilih untuk mengistirahatkan mata sambil menghayati rasa sandaran kursi yang bahkan lebih tua dari umurku—dari kayu, dibuat oleh Kakek tepat setelah aula desa selesai dibangun.

Kalau bukan karena rentetan denting ponsel entah-milik-siapa yang tergeletak sembarangan di tengah meja, aku bisa jamin keheningan ini akan terasa lebih lama dari menit yang ditunjukkan oleh kedua lengan jam besar yang menjadi satu-satunya hiasan ruangan ini. Lagipula, waktu memang terasa lebih lama kalau dihabiskan tanpa menikmati diam ‘kan? Begitu pun kami di sini, sama-sama mogok bersuara tetapi juga sama-sama tenggelam dalam diam yang tidak mengenakkan.

Ya… kecuali untuk satu benda sialan yang meraung-raung dari tadi.

“Ponsel itu punya siapa, ya?”

Diam. Pertanyaanku cuma disambut lirikan tajam warga desa, seakan-akan sudut mata mereka bisa melemparkan pisau ke arahku dan menghukumku karena telah merusak diam.

Aku menghela napas panjang.

Rasanya sudah sangat lelah. Setidaknya nyaris lima hari kami habiskan untuk berdebat, mengusir serangga-serangga penghuni aula dengan serangkaian pertentangan pendapat yang tak habis-habis. Padahal masalahnya sepele, mereka tinggal tahu jadi dan menikmati hasilnya nanti. Namun tetap saja aku dan Ridho menjadi objek bulan-bulanan warga nomor satu minggu ini, mengalahkan seluruh keluhan yang sebelumnya mengepul-ngepul bersama asap rokok bapak-bapak tani pun asap dapur yang membumbung dari setiap rumah di sini.

Kulirik makhluk yang seenaknya tidur dalam situasi ini, lalu otomatis kuinjak kakinya saat mendapati puntung rokok masih merah di sela jemari tangan kanannya.

“Ponselmu?” ujarku tatkala sepasang matanya mengumpat ke arahku.

Pemuda ibu kota itu masih bernyali untuk mengangguk kecil sambil menyertakan dehaman serak dari tenggorokan yang belum sepenuhnya bangun. Sebelum sempat kulanjutkan, tangan kirinya terangkat—mengisyarati agar kutelan kembali kata-kata yang telah berkumpul di ujung lidah. Masih dengan suara serak, ia menjelaskan, “Kalau sudah setuju, atau mulai kooperatif, saya baru berani angkat telepon.”

***

“Nggak bisa,” selaku sebelum suara-suara lain sempat turun ke arena pacu kata ini. “Memangnya debat kusir forum angkringan kita berpengaruh? Kamu nggak ngerti apa yang kita bahas dari tadi?”

Diam. Tak ada yang membalas.

Mataku refleks menyipit usai mengamati wajah mereka: wajah-wajah diam, wajah-wajah yang ingin kabur. Kuembuskan napas singkat, menoleh kecil ke arah telunjuk yang teracung ragu. Satu-satunya mahasiswa lain dari jurusanku menegakkan postur sambil mengacungkan jarinya lebih tinggi lagi. “Ya?”

“Aku rasa kamu berlebihan. Anggap sebagai… bantuan pemerintah. Bantuan pembangunan untuk memaksimalkan industrialisasi tani di sana. Apa salahnya sih?”

Kemudian rebutan, balapan lagi. Tapi kata-kata mereka tak lagi kuda yang berlari-lari. Kata-kata mereka merambat lambat, seperti ulat, berusaha menggerogoti satu sama lain. Aku sendiri malas merumpi, cuma mengetatkan rahang sambil perlahan menarik keluar suara. “Salah, Bos. Di situ kamu salah besar.”

Pikiranku lantas pulang melewati pematang basah kala penghujan, ladang palawija dengan jagung-jagung gemuk menyemarakkan kemarau, serta hutan jati yang menyumbang banyak bagi kehidupan warga di sekitarnya. Aku ingat warga desa, ingat pohon-pohon yang meninggi seiring waktu membawa kami tumbuh dan menua. Aku ingat kehidupan berjalan tanpa perlu mesin-mesin pabrik menjalankannya. Memangnya kenapa harus pabrik kalau kami dan pepohonan itu berkembang dan membangun hidup bersama-sama? Lulus nanti, akan kutunjukkan ke mereka betapa salah pandangan mengenai lahan dan keberlangsungan hidup kami yang ‘sekadar’ bertani.

***

“Tapi itu lahan pemerintah, Pak. Saya dan Ridho cuma diutus untuk—“

“Tapi kami yang garap, kami yang urusi. Lagipula desa ini bisa hidup juga berkat lahan itu, bukan pemerintah! Memangnya pemerintah memberi beras? Menyediakan kayu bakar?” Kemudian suara meja digebrak jadi tanda titik yang memekak telinga.

Kursi digeser dari ujung, seseorang menyahut dari belakang, “Kalau lahan kami dirampas lalu bagaimana? Kami semua jadi buruh, diperkerjakan pabrik? Kami dapat kompensasi? Lalu apa? Setidaknya kalau bertani, kami tak perlu khawatir. Mas juga tahu sendiri gimana kehidupan di sini. Mas bisa seperti sekarang juga karena lahan ini!”

“Lahan ini bagian dari kami, dari kita! Ini tanah adat, bukan punya pemerintah! Apa sudah lupa? Kakekmu bahkan salah satu sesepuh di sini! Tidak ingat?”

Aku mengernyit. Aku tidak pernah lupa.

***

Ponsel Ridho masih berisik dan aku makin ingin membanting benda itu. Ruangan ini pun masih dihuni kerutan yang sama, bisik-bisik yang bergerak samar, serta diam yang menantangku keluar lalu menubrukkan kepala ke pohon jati kakek sampai aku mati kehabisan darah dan pulang sebagai anak durhaka ke tanah yang membesarkannya.

Akan tetapi lebih dari mati dan dicaci cacing-cacing kuburanku nanti, aku lebih takut menghadapi Kakek dalam alam setelah mati. Aku membayangkan senyumnya senyaman sandaran kursi jati ini, masih hangat dan bicara padaku dengan hati-hati. Aku cuma akan bisa menyapanya dengan kepala tertunduk, mungkin sambil mencari ke mana gugurnya idealismeku saat muda dulu. Sontak kualihkan pandangan ke luar jendela, menatap jauh ke hutan jati yang mulai kelihatan meranggas.

Aku masih ingat pembicaraan kami beberapa tahun lalu.

Saat itu kemarau, Kakek masih giat dan belum cukup renta untuk tumbang dalam guyuran daun jati kering. “Gimana kuliah, Di?” tanyanya waktu itu. Aku mengangkat bahu, seketika teringat adu kata di forum mahasiswa beberapa hari sebelumnya.

Kulihat Kakek menepuk-nepuk batang pohon yang akan ditebangnya, tradisi perpisahan. “Ini sudah ada dari Kakek kecil, sekarang sudah tua dan siap ditebang. Sama seperti kita, semakin tua dan harus siap tumbang dicabut Izroil,” selorohnya sambil mengasah kapak.

“Dan pas rambut kita rontok, itu kita meranggas seperti jati.”

“Ngawur kamu! Tapi saat makin tua dan lupa diri juga bisa dianggap meranggas. Saat tak bisa melawan dan tak cukup berani untuk mati, itu juga meranggas. Kamu tanpa sadar menggugurkan sebagian dirimu untuk bertahan hidup, itu namanya meranggas.”

Pikiranku serta-merta kembali ke saat ini. Apa yang kulakukan sebenarnya? Aku tahu benar pertemuan ini seperti menyodorkan kapak dan meminta mereka bunuh diri. Tapi aku terlalu takut untuk mati. Aku ingat anak-istri di kota, ingat kewajibanku untuk memastikan proses peralihan lahan berjalan sesuai keputusan pemerintah. Aku ingat kolom-kolom koran yang kupenuhi protes, juga bagaimana pendirianku kian ditebang oleh hidup yang aku pilih.

Aku teringat lahan hijau dan kehangatan desa meskipun malam berirama jangkrik, bukannya televisi. Aku ingat dibesarkan di sini, tetapi juga tak berdaya melawan nasib.

Kakek, aku benar-benar sedang meranggas.

-FIN-

MeranggasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang