Pengakuan Cinta

9 1 0
                                    

Suasana lalu lintas begitu sibuk. Penduduk kota seakan tumpah ruah menyebar ke tepian jalan. Suara motor, klakson mobil, dan teriakan kernet saling berlomba.
Keadaan berbanding terbalik di tempat lain. Kota yang lengang tanpa ada penduduk di jalan, bahkan rintik gerimis menambah suasana tenang. Dari atas bukit, kabut terlihat menutupi desa.
***
Sepasang muda-mudi tampak asik menikmati kesunyian kampus. Hanya beberapa orang saja yang baru datang. Mungkin karena hari masih pagi.
"Ngapain ke kampus pagi-pagi?" Tanya pemuda yang memiliki rambut agak ikal.
"Ingin bersamamu lebih lama saja" jawab perempuan di sebelahnya.
"Setiap hari bertemu." Tukas pemuda itu.
"Bagiku itu belum cukup."
"Kalau begitu menikah saja." Pemuda itu mengamati reaksi kekasihnya tersebut.
Perempuan itu terlihat menatap pemuda di depannya lekat-lekat. Kemudian dia tersenyum karena tahu itu hanya gurauan.
"Tidak mau." Perempuan itu langsung berjalan meninggalkan kekasihnya.
"Bee!" Panggil pemuda itu yang tampak terbengong sebentar sebelum mengejarnya.
Mereka telah sampai pada gerbang kampus. Lalu lintas terlihat ramai. Fabian masih saja memperhatikan perempuan yang dipacarinya sejak SMA tersebut. Diraihnya tangan perempuan itu untuk digenggam. Beverly memandangnya dengan tatapan yang susah diartikan.
"Kamu tahu? Setiap berangkat kuliah, aku selalu memperhatikan jembatan penyeberangan itu. Ayo kita ke sana" ajak Beverly sambil menyeret tangan Fabian agar mengikutinya.
Namun, tangan Fabian justru menahan Beverly agar tetap tinggal.
"Jawab dulu kenapa tidak mau menikah denganku?" Suara Fabian rendah tetapi terkesan menuntut.
Beverly lalu menghela nafas, "Aku belum mau dipanggil nyonya. Aku belum setua itu" kilahnya.
"Hanya itu?" Selidik Fabian.
Beverly hanya tersenyum lalu meninggalkan Fabian. Diperhatikannya langkah gadis yang ia cintai tersebut. Senyumnya memang menawan, malahan sering membuat Fabian kembali bersemangat saat mengalami masalah. Sayangnya, terkadang senyumnya susah diartikan seperti menyimpan rahasia. Fabian sering khawatit jika senyumnya itu hanya topeng.
Beverly berbalik seolah menunggu Fabian menyusulnya. Fabian pun berusaha memenuhi keinginan yang tersirat tersebut.
"Aku tidak yakin kamu mencintaiku" tutur Beverly berpeluk tangan.
"Kenapa?"
"Kamu tidak pernah mengatakan mencintaiku"
"Tapi kamu tahu aku mencintaimu"
"Aku selalu mengucapkannya untukmu. Aku mau kamu mengatakannya dengan keras di situ" Beverly menunjuk ke jembatan penyeberangan.
"Itu sangat memalukan"
"Sekali saja. Setelah ini aku tidak akan memintamu mengatakannya lagi" pinta Beverly.
Kening Fabian berkerut melihat senyum Beverly yang lebih lebar seolah merayu dengan sungguh-sungguh. Fabian lalu menghela nafas yang diartikan Beverly sebagai kata menyerah. Diseretnya tangan Fabian seolah tak sabar.
Beverly tak segera menaiki anak tangga. Diperhatikannya dari bawah sampai ujung anak tangga dengan ekspresi kagum. Jembatan itu terlihat tak terawat, cat sudah terkrlupas mrmperlihatkan bagian besi yang berkarat. Bahkan besi tersebut berlubang dan penyok.
"Jembatan ini sudah jelek" ujar Fabian.
Beverly menaiki satu anak tangga. Dipandangi anak tangga atasnya. Memang sudah tidak layak, ada beberapa anak tangga yang berlubang. Akan tetapi, tidak mengurangi keinginannya mendengarkan pengakuan cinta dari Fabian. Beverly lalu berbalik.
"Jangan cari alasan untuk menghindar. Bagiku ini seperti jembatan cinta yang jadi saksi kalau kamu mencintaiku"
Sampai anak tangga terakhir, Beverly kian takjub dengan lorong jembatan. Jadi seperti ini pemandangan yang bisa dilihat dari atas. Terasa sedikit pusing karena banyak kendaraan yang melintas. Namun, jika tidak ke sini pasti masih akan terus penasaran.
"Fabian" panggil Beverly,
"Apa?"
"Aku mencintaimu"
"Aku sudah tahu tanpa kamu bicara"
Beverly terlihat cemberut. Padahal dia ingin beromantis dengannya. Begitulah Fabian, sikap cueknya membuat Beverly selalu memaksanya menuruti keinginannya. Tidak memaksa berarti tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Beverly lalu berlari ke tengah jembatan, mencari tempat yang cocok untuk pengakuan.
"Ayo lakukan" Pinta Beverly,
"Terlalu banyak orang"
"Aku tidak mau tahu"
Fabian lalu menarik nafas dan menghembuskannya kencang-kencang. Dia menghadap ke arah mobil yang melintas dan menggenggam kencang pinggir jembatan. Terasa sekali besi itu sedikit penyok dalam genggamannya. Ini karena memegang terlalu kuat atau memang jembatan ini sudah tua? Tanya Fabian dalam hati.
"Fabian cinta Beverly"
Teriakan Fabian mengundang perhatian. Bahkan beberapa orang tertawa melihat tingkah konyolnya. Malu juga rasanya karena beberapa orang menunjuk ke arah mereka. Fabian lalu menatap Beverly lekat-lekat seolah bertanya "Sudah Puas?".
Beverly tersenyum lebar. Kali ini Fabian melihat senyumannya benar-benar diartikan bahagia. Fabian lalu ikut tersenyum menyadari hal konyol seperti ini membahagiakan. Seperti yang dikatakan Beverly, Fabian tidak pernah menyatakan cintanya. Baginya cinta tidak harus diucapkan, tapi ditunjukkan dengan perbuatan.
"Terima kasih, Fa. Sekarang aku tahu kamu mencintaiku" ujar Beverly.
"Cinta tidak harus diwujudkan dengan kata-kata" protes Fabian.
"Cinta juga perlu diungkapkan agar orang yang kamu cinta tahu. Kalau hanya ditunjukkan dengan perbuatan, sahabat juga begitu"
"Baiklah, kamu menang. Apa kamu senang?"
"Senang. Kalau Tuhan mengambil nyawaku sekarang pun aku rela. Akhirnya aku mendengar kamu mengatakan mencintaiku" ujar Beverly yang menyandarkan badannya pada tepi jembatan.
Terdengar bunyi retakan. Fabian tahu bunyi apa itu. Sama seperti saat Fabian menggenggam tepi jembatan tersebut. Fabian ingin memperingatkan Beverly, tapi belum sempat suaranya keluar dari mulut Fabian. Fabian melihat Beverly melayang dengan senyumannya sebelum sebuah mobil mrnghantam tubuhnya.
"Bee!" Teriak Fabian.

BayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang