Rumah sakit selalu jadi tempat yang tidak menyenangkan bagi hampir banyak orang. Aroma obat, wajah-wajah cemas dan gelisah, derit roda brankar yang didorong tergesa-gesa, langkah-langkah cepat perawat hilir mudik membawa baki-baki obat, juga rintihan kesakitan para pasien, semua seperti gelembung besar yang siap memenjara siapa saja dalam perasaan tidak nyaman. Termasuk anak laki-laki tersebut.
Dia melangkah dengan perasaan hampa mengikuti langkah-langkah panjang papanya. Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis. Dalam hati dia masih berharap semua akan baik-baik saja. Ya, pasti akan baik-baik saja.
Tapi ternyata takdir tak begitu berpihak pada harapan anak laki-laki itu. Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya menjadi nyata. Air mata yang mati-matian dia tahan, luruh seperti bendungan yang ambrol. Tubuh kecilnya gemetar. Dan, dia menangis terisak-isak sambil memeluk tubuh yang telah terbujur kaku itu.
“Mama ... jangan pergi. Jangan tinggalkan Alvaro ...,” pintanya.
Namun sekeras dan sesering apapun dia meminta, tubuh yang dipeluknya tak kunjung menjawab. Tubuh itu tetap kaku dan dingin.
“Al ... biarkan Mama pergi dengan tenang,” bujuk Papanya dengan suara bergetar. Papa meraih tubuh mungil anak laki-laki itu, memeluknya erat. Saat ini mereka sama-sama terluka. Mereka harus saling menguatkan.
“Kita harus ikhlas ...,” bisik Papa lagi.
Anak laki-laki itu memberontak. Dengan kuat dia mendorong tubuh besar papanya dan menatap dengan nyalang.
“Ini semua karena Papa!”
“Al ....”
“Seandainya Papa nggak minta Mama pergi, Mama pasti masih hidup. Mama pasti masih bersamaku!”
“Al ... ini semua—”
“Papa pembunuh. AKU BENCI PAPA!”
KAMU SEDANG MEMBACA
IRISH (Sudah Terbit)
Teen Fiction"Kenapa kau tak ingin bermain musik lagi?" "Karena musik hanya akan melukaiku dengan kenangan tentangnya." *** Sebagai ketua klub musik Harmoni, Irish harus menyelamatkan klubnya itu dari penghapusan. Tapi masalahnya, Harmoni belum punya prestasi un...