Life and Death

19 1 1
                                    

"Apa kamu pernah berpikir kalau manusia itu sangat rapuh?"

"Coba definisikan maksud rapuh disini itu seperti apa."

"Seperti... gampang banget antara bernyawa atau tidak, mati dan hidup."

"Hmm... Entahlah. Btw, kamu mau yang mana?"

"Oh, aku pilih special minced with unique flavor. Sedikit pedas kalau bisa."

"Oke."

Gadis dengan dahi yang terbuka lebar dan rambut memanjang sampai punggung itu memesan kepada penjual dengan sapaan ramah, seperti biasanya. Sebuah kudapan ayam cincang yang dilapisi tepung bercampur telur dan susu, lalu ditemani dengan sedikit bumbu rahasia yang mampu memanjakan lidah siapapun.

Sedangkan temannya—gadis dengan penampilan sedikit menawan berambut ponytail kesayangannya—menunggu sembari memainkan telepon genggamnya. Tangannya sedikit gemetaran, mungkin ia perlu mengenakan jaket atau pelapis yang lebih tebal karena udara bulan ini sangat dingin. Ia sedikit menyalahkan dirinya mengapa harus memakai sweater tipis di atas seragam sekolahnya.

Sebuah jalan yang tidak ramai, namun tidak juga sepi. Hanya beberapa orang dan penerangan seadanya di sepanjang jalan ini. Untung saja ada kios yang masih menjajakan kudapan ringan. Minimal, dengan sedikit rasa pedas bisa menghangatkan diri, pikirnya.

"Nih."

"Thanks."

"Kamu liat apa di hape?"

"Oh, enggak. Cuma ada chat."

"Hmm, oke. Lanjut jalan, yuk."

Mereka menyusuri jalan bedua, berusaha menepis dingin dengan potongan daging ayam yang barusan mereka beli. Sejenak gadis itu melihat temannya yang mengatur kinerja tangan kanannya menjadi alat otomatis yang mendorong masuk daging cincang ke dalam mulut. Dahinya yang terbuka itu masih terlihat angkuh seperti biasa. Si ponytail sedikit berpikir jika ia tidak bisa meniru penampilan temannya itu sembarangan karena sudah terbiasa memakai poni. Gaya seperti itu pasti sangat tidak cocok untuknya.

"Fuuhh... dingin banget, ya. Meskipun pakai jaket seperti ini tetap aja yang bagian paha kedinginan."

"Pinjem jaketmu sini, aku kedinginan."

"Salah siapa juga uda tahu kalau cuaca dingin masih berpakaian seperti itu."

"Aku jarang keluar sampai malam sepulang sekolah kalau bukan gara-gara hal ini."

"Omong-omong, kenapa kamu tadi tanya tentang hidup dan mati?"

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya memandang lurus ke depan sambil menikmati kudapannya dengan tenang.

"Kangen dengan ayahmu?"

"Gak terlalu. Cuma kepikiran aja."

"Hmm.. gitu?"

Mereka melihat sebuah gedung yang masih dalam tahap konstruksi menjulang di sebelah barat daya beberapa ratus meter dari tempat mereka sekarang. Pencahayaan hanya seadaaanya, tidak menerangi setiap sudut di sekitar situ. Itu wajar, konstruksi ini akan ramai jika siang tiba. Mungkin para buruh yang dipekerjakan sedang menikmati selimut masing-masing di tempat tidurnya.

Kedua gadis itu berjalan ke gedung yang masih setengah jadi tersebut.

"Menurutku gak hanya manusia, tapi semua makhluk yang bernyawa bisa dikatakan seperti itu. Hewan dan tumbuhan juga cukup rapuh."

"Pendapatmu seperti itu?"

"Aku belum selesai ngomongnya."

"Teruskan."

"Meskipun aku beranggapan seperti itu, tapi bagaimana dengan makhluk yang mampu hidup ratusan tahun? Manusia aja juga ada yang mampu mencapai usia seratus tahun atau lebih. Apakah hal yang cukup rapuh mampu bertahan selama itu?"

"Kau menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan."

"Loh, aku mengindikasikan jawabanku di pertanyaan itu."

Gadis berambut ponytail itu berdehem, membersihkan bumbu yang menempel di tenggorokannya karena sedikit mengganggu. "Kebiasaanmu harus diubah, menjawab pertanyaan dengan jawaban defensif," ujarnya.

"Kadang-kadang jawaban seperti itu cukup membantu," tanggap temannya sembari tertawa kecil.

Telepon genggam gadis ber-cardigan itu kembali bergetar. Mereka melihat dan membaca seksama isi dari pesan singkat yang tampak di layar.

"Atau mungkin, konsep mati atau hidup itu tergantung dari keadaan sekitarnya."

"Sekarang jawabanmu ambigu."

"Mau gimana lagi. karena pekerjaan kita, sih."

Kedua gadis itu memasuki pembatas pekerjaan konstruksi itu dan mendekat ke salah satu pilar yang gelap. Mereka mempersiapkan peralatan peralatan yang disembunyikannya di dalam tas dan menunggu sebuah momentum.

"Tuh, udah datang. Kamu yang melakukannya atau aku?"

"Jangan bego. Ada dua orang, kita lakukan aja bareng. Nona Nita gak mau ada yang gagal buat malam ini."

"Baiklah, idola sekolah."

Kemudian, bubuk mesiu berhamburan menyelimuti gadis itu dibarengi dengan suara selongsong peluru yang menghantam tanah.

DrabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang