Hantu

4 0 0
                                    

Kadang, jika aku mendengarkan sebuah cerita seram yang melibatkan sosok yang berwujud, pikiranku mengarah pada hal yang lain.

Misalnya seperti cerita salah satu temanku. Ketika kami bersantai di kelas karena jam kosong, ia memanggil kami dengan suara berat hasil dari masa puber yang telah berlalu. Berkat dada terbusung dan mimik wajah yang menjadi-jadi, siswa itu mampu menarik perhatianku dan lainnya.

"Eh, tahu nggak tentang cerita kuno yang diomongin sama orang-orang?"

"Cerita apa? Sitti Nurbaya?"

"Idih. Ngapain bisa tembus ke Romeo Juliet versi lokal itu. Cerita hantu, lah!"

Aku masih berkutat dengan telepon genggamku yang lebih membutuhkan perhatian karena beberapa notifikasi yang muncul. Dia selalu begitu, datang tiba-tiba dan berbicara lantang. Sayangnya hampir sembilan puluh persen isinya hanya isapan jempol belaka. Aku bisa menebak jika ia akan cukup sukses jika menekuni profesi dalam pembuatan cerita. Penulis skenario film bioskop, misalnya.

"Jadi hantu mana lagi ini? Kalau lokasi kejadiannya lebih dari seratus kilometer dari sekolah ini, kita anggap invalid."

"Hah! Tunggu dulu. Bahkan, kamu bisa melihatnya sendiri nanti malam kalau nggak percaya. Makanya, dengerin!"

Ia malah semakin bersemangat menanggapi ledekanku, seperti membuktikan kalau cerita yang dia simpan sekarang adalah informasi penting yang berharga ratusan dollar. Mau tidak mau, kali ini perhatianku juga ikut terpusat. Kami semua menunggu bibirnya bergerak lagi dan mengatakan hal yang berhasil membuat penasaran.

Ia menarik nafas dan memulai cerita. Seperti halnya kisah supernatural kebanyakan yang pernah kudengar, kalimatnya hanya berpusat pada hal ghaib dan pendapat pribadi yang dilebih-lebihkan. Buatku itu percuma karena sekarang matahari masih berada di tengah langit. Waktu yang kurang tepat untuk menakut-nakuti orang lain.

"-sosoknya seperti noni Belanda. Sangat cantik, tapi tiba-tiba bisa jadi menakutkan!"

"Kamu nggak bakal percaya ini, tapi memang seperti itu yang terjadi. Biasanya, dia muncul di depan korbannya. Terus, dia menari-nari mengelilingi siapapun yang melihat. Hiii!"

"-coba ke sana aja sendiri kalau nggak percaya. Tempatnya sekitar sepuluh kilometer dari sekolah ini."

Ada yang terkekeh, ada yang bergidik ngeri. Aku rasa jika cerita tersebut dekat dengan kita akan memberikan rasa seramnya sendiri. Tetapi, apa yang aku rasakan sekarang bukanlah rasa takut yang ingin ia buat.

Melainkan penasaran yang amat sangat.

Pikiranku masih terus mengingat-ingat cerita hantu itu. Seorang noni keturunan Belanda, menggunakan gaun yang sangat menawan dan membungkukkan badannya sebagai salam pembuka. Kemudian dengan satu langkah menjuntai, ia berputar dan berdansa menghibur siapapun yang lewat.

Begitu sadar, aku sudah berada di lokasi yang diceritakan oleh temanku. Sebuah kompleks perumahan sepi meski jarum jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Rumah-rumah besar yang berada di samping kiri kanan tersembunyi di balik kegelapan. Tampak hanya beberapa tempat saja yang menyalakan penerangan. Sisanya menyeramkan.

Aku pernah dengar kalau tempat ini termasuk kawasan rumah elit. Namun, kebanyakan pemiliknya hanya menggunakan rumah-rumah ini ketika liburan tiba. Sisanya hanya asisten rumah tangga yang menempati atau kosong sama sekali.

Lalu, untuk rumah di mana hantu noni Belanda itu berada juga sama kosognya. Ibarat, dari awal bangunan itu mengatakan untuk tidak berada di dekatnya.

Tetapi langkahku tidak berhenti.

Setapak demi setapak, aku mendekat lebih jauh. Kepalaku sangat sadar jika hanya aku satu-satunya manusia di tempat ini. Pikiran logisku mengatakan untuk segera pulang saja, menghindari masalah yang tak perlu. Namun, ada sesuatu yang menarikku ke sini.

Dari awal, cerita itu adalah undangan untukku.

Untuk menarik rasa keingintahuanku yang perlu dipuaskan, melebihi apapun.

Tibalah diriku di hadapan pagar hitam membentang dengan sedikit jarak di antara teralis-teralisnya. Aku pikir balita pasti bisa melewatinya dengan mudah. Melihat lebih jauh lagi, hanya ada kegelapan mencekam yang menyambutku.

Bulu kudukku mendadak berdiri. Ada sesuatu yang datang.

Dalam satu kedipan mata, sosok itu hadir di hadapanku. Ia berada di balik pagar hitam ini, berwujud persis apa yang diceritakan oleh sang teman.

Tubuhnya bercahaya bagai titik fokus semua pemandangan di sini. Pandanga menunduk anggun, sangat cocok dengan gaun putihnya yang terlihat kuno dan menawan. Penampilannya benar-benar menghipnotis.

"Selamat...datang."

Aku sangat ketakutan. Namun, di saat bersamaan mataku tidak bisa teralih dari keganjilan tersebut. Ada sesuatu yang mendorongku untuk terus menyaksikannya.

Kemudian, ia menunduk hormat. Tangannya menjuntai ke atas disertai langkah kaki yang gemulai. Dansa telah dimulai.

Tidak ada lagi yang bisa kugambarkan selain indah dan mempesona. Setiap gerakan tangan dan kakinya begitu halus dan memikat. Pancaran cahaya rembulan datang sebagai penenang dan pelembut keadaan, membawa batinku berada di titik paling damai. Aku tidak menyesal telah berada di sini.

Sebenarnya aku meragukan konsep hantu. Apakah mereka benar-benar roh seseorang yang sama namun telah mati? Atau, entitas yang sama sekali berbeda? Atau, hanya sebuah halusinasi yang mengulang-ulang kegiatan yang telah mati-sebuah rekaman nyata?

Aku lebih memilih pilihan yang ketiga.

Bagaimanapun, ia adalah seorang manusia yang pernah hidup di masanya. Seorang gadis dengan kulit yang bersih seperti porselen, tersenyum menawan karena pujian orangtuanya sebagai hadiah berhasil memahami pelajaran ekonomi yang sulit. Ia pasti pernah menangis karena suatu hal yang buruk baginya. Bisa juga jika ia bertemu dengan bocah laki-laki berkulit sawo matang dan jatuh cinta kepadanya.

Aku juga membayangkan jika ia mampu semahir ini berdansa, ia pasti mengambil pelajaran tersebut di rumahnya yang megah. Berawal dari gerakan yang sama sekali kaku sampai kemudian ia mengibarkan gaun lebar itu dengan begitu anggun.

Ia pasti pernah tertawa, menangis, bahagia, marah, terkejut-

Serta ketakutan dan pilu yang amat sangat ketika ajalnya tiba di tangan orang-orang yang haus kemerdekaan.

Gadis ini pernah hidup yang kemudian mati. Ia tidak akan pernah mengerti mengapa ia harus meregang nyawa seburuk itu.

Aku menangis.

Sosok itu terhenti, melihatku dengan pandangan nanar. Ia berjalan mendekat. Dingin, ada sesuatu yang dingin menyapu tubuhku. Namun aku tidak peduli dengan hal itu. Aku hanya terus menangis, memberikan air mata untuk seseorang yang telah lama mati.

Pandangan kami bertemu. Ia memiliki mata biru terang yang sangat indah. Kontras dengan apa yang telah kudengar, ia sangat cantik. Pikiranku benar-benar meragukan sosok di hadapanku, apakah ia memang manusia biasa atau sesuatu yang seharusnya tidak ada.

Bibirnya bergerak pelan, menjadi senyuman yang sangat menawan. Ia sangat berterima kasih padaku yang mau menyaksikannya sampai selesai.

"Kenapa meester menangis?"

"Bukankah kamu bisa membaca pikiranku?"

Sosok itu sempat terkejut. Dengan hati-hati, ia melihat kepalaku bagai mengintip rahasia manusia yang terdalam.

Ia tersentak, dan perlahan-lahan juga ikut menangis. Begitu tersedu-sedu sampai ia tidak bisa menahan lagi lutut kakinya.

Tidak ada lagi yang bisa menghalangi tangisan kami. Aku dan dia hanya mampu meluapkan perasaan masing-masing, meratapi dan mengutuk atas suatu kisah manusia yang pernah ada.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DrabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang