Indonesia, 1997
TIGA orang dengan jas hitam, kemeja putih bersih, tas kantor, serta sepatu pantofel hitam mengilap berdiri tegap tepat di depan pelupuk mata Naras. Gahra, salah seorang pria dengan jejak-jejak segar rambut halus di sekitar dagu mengisyaratkan dua pria berwajah oriental yang berdiri selangkah di belakangnya untuk menjauh, membiarkan dirinya dan Naras bicara berdua.
"Naras, kamu yakin?" tanya Gahra dengan intonasi memberat. Luka-luka dalam yang beberapa tahun lalu sempat bersarang di dadanya itu meluap lagi. Dipikirnya, jika untuk kali ini saja Naras mau mengikuti maunya, mungkin Gahra bisa melindungi hidup Naras selamanya.
Tak apa, jika membawa Naras pergi dari sini ibarat ia harus rela membeli tabung-tabung oksigen untuk melindungi nyawa perempuan itu. Tak juga jadi masalah, jika membawa Naras pergi berarti ia harus memutuskan kawat-kawat besi dalam silsilah warga negara. Toh, tiga tahun ini Gahra sudah mengangkat kaki mentah-mentah, berpindah ke negeri orang yang dibanggakannya dengan cuma-cuma.
"Terima kasih, tapi saya di sini saja." Perempuan itu tersenyum kaku. Gestur duduknya jelas menampilkan kegerahannya akan kunjungan pria tak diundang itu ke gubuknya.
Sudah tiga bulan, Gahra selalu rutin datang setiap dua minggu sekali demi menawari Naras untuk pergi dari tempat ini: negeri yang sayangnya sangat Naras hormati.
Gahra baru akan menyentuh bahu Naras, hingga tanpa sadar perempuan itu sudah lebih dulu menggeser duduknya lebih jauh. "Sudahlah, Naras. Buang saja naifmu jauh-jauh. Kamu ingat apa yang dilakukan negeri ini kepada strata minim materi? Mereka diselundupkan dalam karung-karung defensi untuk kemudian dikambinghitamkan."
Ch, tahu apa pria ini tentang Indonesia, Naras berdecih dalam batinnya. Bahkan arloji dan pantofelnya masih dari negeri orang. Apa masih pantas dia merasa tahu segalanya tentang negeri ini?
Dengan senyum hambar yang tak berubah, Naras mengangkat kedua alisnya, membuat tirai matanya tampak melebar. "Pesawatmu lepas landas dua jam lagi, 'kan?" alihnya.
Pria di depannya berdecak. Tak berniat lari pada topik lain. "Dan apa kamu ingat bagaimana cara negeri ini memperlakukan veteran-veteran yang dulunya bertaruh kepala demi merdeka? Kamu ingat, cerita bagaimana Gahra kecil ini seringkali diselundupkan karena dia anak seorang petinggi dari sebuah hubungan terlarang?"
Naras menutup matanya kuat-kuat. "Berhenti, Gahra!" tegasnya.
"Apa kamu masih belum paham betapa rusaknya negeri ini?" rintih Gahra dengan jakun yang bergerak-gerak gelisah. "Apa kamu belum bisa, Naras, membayangkan sebentar saja sakitnya di posisi saya? Kepala saya harus selalu siap tertembak, kapan pun saya kelepasan memanggil pria itu dengan sebutan ayah," urainya lagi tanpa peduli pada bicara Naras.
Naras memejamkan matanya lagi. Denyut-denyut perih jelas tergambar di ulu hatinya saat mendengar pria itu menceritakan kekelaman hidupnya. Bagaimanapun, Naras pernah menyayangi Gahra hingga tak menyediakan lahan lain untuk bisa ditinggali siapa pun. Tapi yang jelas, Gahra yang dia kagumi bukanlah Gahra dalam dimensi saat ini. Bukan Gahra yang memuja-muja negeri orang dan jijik pada negeri sendiri. Bukan Gahra yang dengan telatennya selalu menawari Naras untuk angkat kaki dan hidup bahagia di negeri dongeng buatan orang.
Naras melonggarkan pegangannya pada tangan gelas, menjatuhkannya ke lantai dengan keadaan sepenuhnya sadar. "Berhenti mencemooh negeri saya," nada bicaranya mendalam, datar, namun mematikan.
"Saya benci, Naras, bagaimana nepotisme negeri ini berjalan," jawab Gahra dengan parau.
"Berhenti memberatkan kesalahan oknum pada negeri saya. Kamu tidak kenal Indonesia, Gahra. Tidak."
Gahra melebarkan matanya. "Keringat dan air mata darah saya sudah membanjiri negeri ini. Saya tahu rusaknya negeri ini," ulasnya dengan nada mengejek.
"Kamu tidak akan mendesak saya pergi dari negeri ini kalau saja kamu benar-benar mengenalnya. Saat ada satu butir garam yang masuk dalam sekantong gula, kamu tidak lantas boleh menyebutnya sebagai garam, Gahra." Naras menjeda sebentar sembari mengalihkan pandangannya dari Gahra. "Demikian halnya dengan kamu yang melarikan diri ke negeri orang, oknum-oknum yang kamu sebut itu memiliki derajat yang sama. Menjadikan negeri ini sebagai media melancarkan nepotisme," lanjut perempuan itu dengan sedikit emosi.
"Ikut saya, Naras. Tolong..." Gahra mengacak rambutnya frustrasi.
"Ini rumah saya," jawab Naras tanpa keraguan sedikit pun. "Apalagi yang perlu saya cari di luar ketika lantai rumah saya sudah menumbuhkan bermacam-macam cara untuk bertahan hidup? Apalagi yang perlu saya cari di luar ketika atap rumah saya sudah lebih dari sekadar melindungi dari hujan? Serta apalagi yang perlu saya cari di luar ketika jendela-jendela rumah saya disuguhkan untuk memandikan mata saya dari penatnya rutinitas?" ulasnya dengan nada stabil.
Perempuan itu menegakkan kepala. Diraupnya okigen dalam-dalam, bersiap melanjutkan, "Saya bukan orang yang kamu cari. Saya bukan oknum yang mengaku-ngaku menjadi tunawisma untuk berkelakar tentang negeri sendiri. Saya bukan seorang liberalis yang menimang-nimang kebebasan di atas bayi-bayi para nepotis. Saya hanya seorang kerdil metronomis yang menyembah keadilan."
Pria itu memejamkan matanya. "Ya, kamu bukan itu semua. Kamu adalah seorang penganut nasionalisme ekstrem yang harusnya tidak ada yang meragukannya."
Naras bangkit dari duduknya. Cukup sudah! Seorang nepotis tidak akan menyerah hanya karena penjelasan nasionalistis klise darinya.
Rupanya Gahra menyadari kejenuhan Naras, dengan sigap dia mencekal tangan Naras sebelum hilang dalam radar.
"Lepas!" jerit perempuan itu.
Jakun Gahra bergerak, tanda bahwa emosinya sudah benar-benar naik. Sekuat tenaga ia berusaha tidak menyakiti Naras sedikit pun. Perempuan itu jelas sangat berharga, mengingat ia tak punya siapa-siapa untuk dilindungi.
"Mau apa kamu?!" Naras bersungut cemas.
Pria di hadapannya merogoh saku celana dengan tangan kiri, selagi tangan kanannya masih mencekal Naras dengan kuat. "Maaf, Naras. Maafkan saya," sesalnya karena harus melakukan cara paling keji yang pernah ia pikirkan.
"Jangan, Gahra. Jangan!" pinta Naras saat melihat apa yang diraih pria itu dari sakunya.
Namun, apalah artinya negosiasi paling putus asa jika diminta dari kuasa seorang musuh. Apalah artinya menawarkan damai pada seseorang yang jiwanya dihantui cemas masa lalu.
Tak butuh beberapa lama untuk benda asing tersebut akhirnya dapat menelusup nadinya dengan tepat. Dalam. Pilu.
Wajah keras Gahra melepas kesadaran Naras yang kian menurun.
"Teganya kau..." ungkapnya kecewa, sebelum kelopak mata Naras akhirnya mengatup sempurna, menutup radar visualnya dengan tabir hitam. Memadamkan kobaran-kobaran di hati Naras atas tekadnya mereparasi negerinya sendiri. Menidurkan Naras yang kemudian waktu akan kembali bangun, berikut kecemasaannya:
Apakah negerinya akan memaafkan ketidakberdayaannya kali ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Para Nepotis
Short StoryApalagi yang perlu saya cari di luar ketika lantai rumah saya sudah menumbuhkan bermacam-macam cara untuk bertahan hidup? Apalagi yang perlu saya cari di luar ketika atap rumah saya sudah lebih dari sekadar melindungi dari hujan? Serta apalagi yang...