2. Surat-Surat Tak Bertuan

5.8K 1.1K 89
                                    

Indonesia, 1998

Samar-samar suara kerit kayuhan sepeda milik tukang pos terdengar di depan rumah tua itu. Pagar besinya sudah lapuk. Berkarat serta habis dimakan gulma rambat.

Tukang pos itu turun dari sepedanya. Menyelipkan surat yang entah keberapa selama satu tahun terakhir itu lewat lubang jendela. Setelah dirasa ada suara jatuhnya benda dari lantai dalam rumah tak berpenghuni itu, tukang pos tersebut kembali melanjutkan pekerjaannya.

Ya, Naras, tentu saja. Ia pengirimnya. Lantas untuk siapa surat-surat itu?

Ya, untuk Naras, tentu saja. Ia pula —yang entah kapan— pasti akan pulang dan membacanya satu per satu. Kemudian membalasnya.

Namun kepada siapa ia membalasnya?

Ya, negerinya, tentu saja. Kepada siapa lagi?

₪₪₪

Desember, 1998
Kepada Indonesia


Apa kabar negeri saya, Indonesia?

Apakah berita-berita politik sudah mulai berkurang? Apakah teori repetitif tikus-tikus berdasi sebelum menjabat masih berlaku?

Saya masih, dan akan selalu mencintai Indonesia, di luar beberapa golongan yang berkhianat dengan kewajibannya. Menjadikan pencitraan sebagai formalitas yang mendarah daging.

Saya tidak sedang mencemooh Tanah Air sendiri. Saya hanya sedang berkontemplasi tentang gerak lambat saya yang sampai saat ini tidak bisa ikut melenyapkan keberadaan mereka.

Apa kabar negeri lahir saya, Indonesia? Apakah cuaca di sana masih tidak tentu?

Ah, di sini sedang turun salju. Saya membaluti tubuh saya dengan jaket wol tebal ke mana-mana untuk mempertahankan suhu tubuh.

Aneh, tentunya, jika saya berpakaian seperti ini di Indonesia, mungkin oleh pria-pria iseng yang suka merasa menguasai jalanan saya akan ditertawakan. Oleh wanita-wanita bergincu tebal juga mungkin akan sama.

Saya mencintai Indonesia. Tak peduli beberapa oknum yang diberi kekuasaan justru seringkali mengecewakan.

Saya mencintai Indonesia. Di luar kebencian saya pada oknum yang menimang-nimang bayi nepotisme dengan penuh kasih sayang.

Salam Cinta
Manaras Tunggadewi,

Bayi Para NepotisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang