Art ‒ Ken

63 7 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Studio berlantai keramik itu terang, disinari cahaya matahari yang masuk dari jendela lebar di sepanjang dinding. Tidak banyak yang bisa dilihat di dalam sana selain interior bangunan yang elegan. Namun bukan berarti tidak pernah digunakan. Hanya saja si empunya studio lebih memilih menyimpan hasil karyanya di dalam lemari dan rak yang berjajar di satu sisi studio ini.

"Mengapa disimpan dan disembunyikan?" kamu bertanya pada Jaehwan, si pemilik studio.

Dia mengangkat bahu, "Aku hanya malas memajangnya."

Kamu berjalan mengelilingi studio sambil melihat salah satu buku cerita bergambar buatannya. Jaehwan mengekor layaknya seorang pemandu di museum. Jaehwan mengambil kanvas kertas dan peralatan menggambarnya.

"Aku ingin melukismu. Kemarilah."

Jaehwan menyuruhmu duduk di kursi. Dia mengambil tempat tak jauh darimu lalu meletakkan kanvasnya di canvas holder. Dia mengeluarkan sebatang pensil. Sketching dengan pensil adalah keahliannya. Dia memag hanya fokus pada bidang itu di kampus sebelum akhinya pindah ke manajemen karena suruhan orang tua.

"Kenapa jauh sekali?" kamu bertanya.

"Vantage point," Jaehwan mulai menggoreskan pensilnya. "dari sini spot yang tepat untuk menggambarmu. Sekarang teruslah tersenyum... oh ya. Usahakan juga jangan terlalu banyak bergerak, oke?"

Kamu mengangguk.

"Oke... ayo kita mulai," Jaehwan menegakkan punggung. Dia melihatmu bertingkah gugup, jadi dia menggodamu dengan berpose seperti seorang seniman yang mencari titik fokus gambar‒sebelah mata ditutup, sebelah mata dipicingkan, lalu 'mengukurmu' dengan pensilnya.

"Gwiyeo...," pikirmu.

Jaehwan mulai sibuk dengan kanvasnya. Senyum tetap menghiasi bibirnya, sesekali terlalu lebar sampai-sampai gigi-giginya terlihat. Kamu mengisi waktumu mengamati wajahnya. Tapi sangat sulit untuk mempertahankan ekspresimu seperti yang diminta Jaehwan.

Akhirnya namja itu menyadari perubahan sikapmu. Dia menghentikan kegiatannya menggambar lalu menghampirimu.

"Ada apa?" Jaehwan berlutut di depanmu. Digenggamnya tangan kananmu yang dingin.

"Aku... baru pertama kali ini dijadikan objek lukisan," katamu pelan, "maaf."

"Ya ampun... hei," Jaehwan tertawa, "dengar. Santai saja, oke? Ya sudah, kalau begitu kita ubah saja peraturannya. Kau bisa bergerak sesuka hatimu. Lakukan apapun, yang penting kau tidak merasa gugup, ya?'

"Baiklah, baiklah. Aku akan mencobanya," kamu menyanggupi.

Jaehwan berdiri. Sebelum kembai ke tempatnya, dia mengelus lembut rambut hingga pundakmu.

"Cantik sekali. Pantas saja aku selalu ingin menggambarmu."

Dengan itu Jaehwan kembali fokus pada karyanya. Kamu kembali memamerkan senyum terbaikmu. Namun dibanding dengan yang tadi, kamu merasa lebih relaks. Kamu memegang tanganmu yang tadi digenggam Jaehwan. Bekas kehangatan itu masih tertinggal, membuatmu semakin merasa nyaman. Kamu menatap Jaehwan yang juga kebetulan menatapmu. Jaehwan kembali tersenyum lebar.

"Sebentar lagi selesai..." gumam Jaehwan.

Kamu memperhatikan Jaehwan yang nampaknya sudah tidak sabar memperlihatkan karyanya padamu. Dia bahkan menghapus dan dan menambahkan garis-garis akhir sambil membungkuk, bukan lagi duduk pada kurisnya. Akhirnya Jaehwan mencabut kanvas kertasnya dan langsung berlari ke arahmu.

"Awas, nanti kau terjatuh," ujarmu sambil tertawa.

Jaehwan menunjukkan kanvasnya. Kamu otomatis mendekatkan dirimu padanya yang berlutut di sampingmu. Satu tangannya memegang kanvas dan satunya lagi memegang senderan kursimu.

Kamu cukup terkejut melihat karyanya. Sketsa pensil yang indah, malah terlalu indah. Kamu refleks mengerutkan dahi.

"Jaehwan... kau yakin aku secantik ini?"

"Tentu saja. Malah, lebih," Jaehwan menggenggam tanganmu lagi. Kau langsung merasakan kehangatan yang familiar itu lagi. Kali ini sampai kau menahan napas. "Bagiku, kau tidak hanya cantik, tapi juga bersinar. Seperti dipenuhi bunga."

"Ya Tuhan...." Kamu tidak percaya apa yang dia katakan.

Jaehwan tertawa dan akhirnya kamu tidak tahan lagi. Kamu menarik batang hidungnya yang kelewat mancung. Seketika ekspresi Jaehwan berubah kesal. Dia tidak suka hidungnya ditarik.

"Tiba-tiba aku ingin makan es krim. Oppa, kau mau makan juga? Aku traktir," kamu mengutarakan keinginanmu.

Jaehwan menggeleng kuat-kuat. "Ani. Oppa yang akan mentraktirmu. Ayo."

Selanjutnya dia menarik tanganmu. Mengajakmu keluar setelah kalian berdua mengembalikan sketsa wajahmu ke canvas holder.

--

[ONESHOOT COLLECTIONS] ETERNITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang