Minggu [Hari Penentuan]

2K 85 18
                                    


"Hai Lisa. Bagaimana perasaanmu di hari penentuan ini? Bersemangat? Ya, aku juga," ucap Kevin sembari mengikat Lisa di kursi.

"Aku tahu kau sangat lemah karena mogok makan beberapa hari ini sehingga seharusnya aku tidak perlu mengikatmu seperti ini. Tapi aku terlalu bersemangat. Bagaimana tidak? Akhirnya aku akan bercerita. Padamu, untukmu, tentang kita. Jadi, kau harus mendengarkan. Benar-benar mendengarkan. Kau harus fokus pada setiap kata yang kuutarakan. Percayalah, mengikatmu seperti ini akan membantumu untuk fokus. Tidak bergerak. Tidak bersuara. Fokus dan dengarkan," Kevin mengelus lembut kepala Lisa setelah selesai mengikatnya di kursi dan menutup mulutnya dengan plester.

"Baik, kita mulai dari menjawab pertanyaanmu terlebih dahulu. Pertanyaan pertama, sampai kapan aku akan mengurungmu? Hari penentuan ini yang akan menentukannya, hari penentuan ini yang akan menjawabnya, Lisa. Pertanyaan kedua, mengapa aku melakukan ini padamu? Aku melakukan semua ini karenamu, Lisa. Ya, penyebab dan alasan semua ini terjadi adalah dirimu sendiri. Ironis bukan? Kau adalah penyebab sekaligus penerima akibat," Kevin tergelak.

"Hmm apakah jawabanku barusan masih terlalu samar? Baiklah, akan kuperjelas; karena kemarin aku telah berjanji bahwa hari ini akan kujelaskan segalanya. Pertama-tama mari kita mengenang masa lalu yang menjerat kita sehingga kita terpaksa berada di situasi dan kondisi ini.

Apa kau ingat, Lisa? Di SMA dulu, kau pernah menolakku. Tapi aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Yang kupermasalahkan adalah 'kejadian itu'.

Seperti yang kau tahu, sejak kecil aku suka bermain pisau. Aku mempelajari cara-cara menggunakannya dari video online. Dan aku menguasai berbagai cara menggunakan benda tajam itu terutama dalam hal mempertahankan diri. Di kota asalku aku cukup populer karena ketangkasanku dan rupaku yang (kata orang-orang) menawan. Populer bukan berarti punya banyak teman. Mereka menjaga jarak dariku karena keahlianku menggunakan pisau.

Singkat cerita, aku pindah ke kotamu. Sebagai murid pindahan yang pada dasarnya tidak tahu cara bersosialisasi, aku mendaftarkan diri di ekstrakurikuler seni bela diri SMA. Aku berharap dapat cepat bersosialisasi di lingkungan baru apabila bergabung dengan suatu ekstrakurikuler yang sesuai minat dan bakatku. Namun sudah kuduga kelihaianku bermain pisau justru menjauhkan orang-orang dariku. Takut. Hampir semua orang takut padaku, kecuali kau. Klise memang.

Sebagai penanggung jawab ekstrakurikuler, kau menyemangatiku untuk mengikuti perlombaan hingga aku memenangkannya. Aku tahu awalnya kau juga takut padaku tapi kau harus menjalankan tugasmu sebagai pengurus ekskul sekolah. Aku menjadi tertarik denganmu yang memaksakan diri berkomunikasi denganku melawan rasa takut. Lalu aku iseng mengungkapkan ketertarikanku padamu. Kau jelas menolakku. Aku tidak masalah karena sejak saat itu kita justru menjadi dekat walau hanya sebatas teman. Memiliki seorang teman untuk saling bertukar pikiran sudah cukup bagiku yang selalu ditakuti, disegani, dihindari, dijauhi. Bagiku, satu orang sudah lebih dari cukup.

Itu yang kukira. Sampai pada akhir SMA tiba-tiba kau dihadang oleh beberapa gerombolan preman di jalan pulang. Aku tidak terima kau, satu-satunya temanku, berada dalam bahaya. Kutumpas habis mereka. Kuubah wujud mereka dari sosok yang kekar menjadi onggokan-onggokan daging yang biasa dijual di pasar. Bisa saja kuubah mereka menjadi cincangan yang lebih halus tapi aku memilih untuk menghampirimu terlebih dahulu. Namun kau menjerit histeris menyuruhku diam di tempat dan tidak bergerak saat aku mendekat. Aku tidak mengerti.

Aku mengambil satu langkah mendekat, 'Lisa? Kau baik-baik saja?'

'Diam, kubilang jangan bergerak, psikopat!' kau menangis.

'Psikopat? H-hei, Lisa? Ini aku, Kevin. Aku datang menolongmu,' kataku tak percaya atas sebutanmu padaku barusan.

'Menolong? Dengan cara membunuh dan memutilasi manusia? Lalu, kenapa kau ada di sini? Apa kau mengikutiku? Bukan hanya psiko, kau juga penguntit?' tuduhmu.

Aku tersadar bahwa mungkin di matamu tindakanku terhadap preman-preman tadi terlalu berlebihan, 'Aku hanya ingin menolongmu, Lisa! Aku juga bukan penguntit. Aku tidak sengaja melihatmu dihadang saat aku juga sedang dalam perjalanan pulang—'

'Cukup! Aku tidak peduli. Pergi!' tuntutmu.

Aku tidak beranjak. Kau tidak tahu betapa terkejut dan kecewanya aku disebut psikopat dan penguntit sekaligus olehmu, satu-satunya temanku. Apalagi aku hanya berniat menyelamatkanmu dari bahaya.

'Kevin, selama ini kau menyukaiku kan? Baiklah, aku juga menyukaimu! Bagaimana? Senang? Puas? Kalau iya, kumohon cepat pergi dari hadapanku sekarang juga dan jangan pernah kembali! Pergi!' bentakmu putus asa.

Kau terlihat pucat pasi dan menggigil. Aku terhenyak. Aku baru mengerti seutuhnya. Aku baru memahami bahwa kau takut. Kau takut padaku. Kau bahkan membual 'menyukaiku' hanya untuk mengusirku jauh dari kehidupanmu? Setakut itukah kau padaku, Lisa? Semenakutkan itukah aku di matamu? Aku segera berlari meninggalkanmu.

Padahal kukira akhirnya aku punya teman, walau cuma seorang. Namun satu-satunya temanku pada akhirnya justru menjadi orang yang paling takut akan diriku. Ironis.

Lalu dadaku tiba-tiba terasa amat sakit; sesak. Kepalaku terasa begitu penuh seakan hampir meledak. Kau menyebutku psikopat, penguntit. Kau membual 'menyukaiku' agar aku segera pergi menjauh darimu dan kehidupanmu untuk selamanya. Mengapa melihatmu begitu ketakutan karena diriku terasa begitu menyakitkan? Begitu sakitnya hingga aku tak dapat meneriakkannya. Begitu pedihnya hingga aku tak dapat meneteskan air mata. Begitu sesaknya hingga aku tak dapat berkata-kata.

Apa kau tahu, Lisa? Kejadian itu membunuhku secara psikis. Ketika derita yang kualami mencapai puncak, tiba-tiba semua yang telah terjadi terasa begitu menggelikan. Begitu ironis hingga aku tak dapat berhenti menertawakannya. Tanpa pikir panjang aku segera menuju pos polisi terdekat. Aku yang masih berlumuran darah menceritakan segalanya dan mengakui perbuatanku tanpa berhenti tertawa kepada para polisi. Setelah itu polisi-polisi tersebut memutuskan untuk segera menghubungi pihak profesional kesehatan jiwa. Aku pun dirawat atau lebih tepatnya direhabilitasi selama empat tahun," Kevin tersenyum.

"Sekarang pertanyaan terakhir, apa mauku? Mewujudkan keinginanmu. Aku akan menjadi apa yang kau inginkan, Lisa. Setahun terakhir sejak aku keluar dari tempat rehabilitasi, aku menjadi penguntitmu. Lihat, betapa mirip ruangan ini dengan kamarmu kan? Bahkan aku tahu hari apa saja kau mengunjungi bar itu sehingga aku bisa menculikmu di saat yang tepat. Bagaimana? Apa aku sudah menjadi penguntit yang layak untukmu?"

"Hari ini tepat sudah lima tahun sejak kejadian 'itu'. Aku akan mewujudkan keinginan terakhirmu. Coba tebak, apa? Ya, psikopat!" Kevin tertawa mengacuhkan Lisa yang meronta-ronta di kursi.

"Sesuai janjiku, hari ini terjawab sudah pertanyaan-pertanyaanmu. Hari ini, telah kujelaskan segalanya. Dan hari ini, akan kusempurnakan wujudku sebagai sosok yang kau inginkan. Tetapi satu-satunya yang berhak menentukan terbebas atau terjeratnya dirimu dari masa lalu, hanyalah dirimu sendiri, Lisa," Kevin melepas plester yang menutupi mulut Lisa.

"Kevin, maafkan aku. Aku sungguh menyesali kesalahan kekanakanku. Sungguh, aku minta maaf. Tapi, saat itu aku tidak membual. Aku tulus menyukaimu. Hingga kini," Lisa menatap mata Kevin.

Kevin terdiam sejenak; menatap balik mata Lisa.

"Oh, Lisa..," Kevin mendekat.

Lisa tersenyum

dan memuntahkan darah. Kevin menusuknya di bagian perut.

"Aku tidak akan tertipu, Lisa. Aku tahu kau sedang mengandung darah daging suamimu. Tapi sekarang tidak lagi, aku sudah menusuk rahimmu menembus sampai punggung; dan tidak akan pernah lagi karena aku akan segera mengangkat rahimmu yang telah kurusak," Kevin menyeringai.

"Selihai apapun kau kini, Lisa, kau tidak akan pernah bisa membodohi seorang penguntit maupun meluluhkan hati seorang psikopat," Kevin tergelak sambil melanjutkan 'operasi' untuk Lisa yang tak henti-hentinya menjerit ketakutan dan tentu saja melolong kesakitan.

"Bagaimana? Apa kau masih menyukaiku, Lisa?"

Terjerat Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang