Prolog

20 0 0
                                    

Clive terbangun dengan tidak mengingat dari mana dirinya, siapa orangtuanya, dan mungkin masih lebih banyak dari itu. Tiba-tiba dia berada di sebuah hutan yang daunnya hampir nihil sendirian.
Clive memeluk dirinya sendiri. Musim dingin sangatlah dingin hingga menusuk kulitnya. Salju yang seperti es serut ia duduki. Itu memang terlihat gila, tertidur di hamparan salju meskipun dia memakai baju hangat.
Clive segera berdiri dan mencari jalan keluar. Memang membutuhkan waktu ekstra, tetapi akhirnya dia sampai di pinggir hutan dan melihat—
Perumahan yang sudah hangus.
Clive berjalan tak tentu arah karena ia jelas panik. Udara dingin semakin menusuknya dan tak ada cahaya matahari yang siap menghangatkannya.
Tiba-tiba, Clive menemukan sebuah rumah besar yang berdiri megah di tengah hutan. Rumah itu terlihat seperti rumah orang kaya. Dindingnya pun seperti benteng istana. Clive tahu, ia pasti akan diusir jika ia meminta diri untuk memasuki rumah megah itu. Ia pun memutuskan untuk mencari rumah lagi untuk mendapatkan makanan dan kehangatan.
"Hai anak muda!" seru seseorang tiba-tiba. Clive pun menengok ke arah sumber suara dan mendapati orang umur 25an yang bermantel coklat selutut. Orang itu pun semakin mendekati Clive dengan wajah garang dan Clive semakin ketakutan. Ia merasa kakinya tak kuasa untuk berlari, jalan pun pasti akan tertangkap. Semakin dekat, Clive dapat melihat wajahnya. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memiliki alis menukik tajam, bermata hijau, dan kulitnya pucat. Tiba-tiba ekspresi orang itu berubah menjadi ramah. "Silakan masuk. Kau terlihat kedinginan." Laki-laki itupun menyuruh Clive untuk mengikutinya masuk ke rumah yang megah itu. Clive tak berani mengatakan sepatah katapun. Ia takut laki-laki itu akan marah jika ia terlalu terlihat seperti orang miskin.
Di dalam pagar benteng itu, pilar-pilar megah menyangga rumah itu. Rumah itu tiga tingkat, setiap tingkatannya sangatlah tinggi. Taman di rumah itu sangatlah luas. Taman itu dihiasi oleh salju, dedaunan yang gugur, dan pohon-pohon yang gundul karena dinginnya suhu. Ditengah taman, ada air mancur yang mati dan airnya beku.
"Kau boleh tinggal disini selama yang kau mau asalkan malam ini kau tunjukkan tempat dimana kau jatuh tadi," kata laki-laki itu tiba-tiba, "itu tak masalah bagimu, bukan?"
Clive meneguk ludahnya karena ia sebenarnya bingung. Ia sudah lupa dimana ia jatuh. Ia juga ingin bertanya mengapa laki-laki itu tiba-tiba mempertanyakan hal itu.
"Anak muda?"
"Y..ya..." kata Clive terbata-bata.
"Kau pasti kedinginan. Baiklah, sabarlah, di dalam cukup hangat untukmu."
---
Malamnya, Clive menaiki kereta kuda bersama beberapa pengawal dan tuan rumah yang tak lain adalah orang yang menyelamatkan Clive untuk mencari tempat dimana ia jatuh. Pencarian cukup sulit, Clive sampai nyaris menyerah. Hutan itu seakan-akan gemas menyesatkan orang-orang yang ingin berpetualang disana. Sinar bulan purnama ikut menyinari hutan itu, tetapi hutan itu seakan-akan tetap ingin dirinya gelap dan menelan manusia dalam kegelapan.
Tiba-tiba, suara geraman pun terdengar. Seluruh bulu kuduk Clive bergetar. Clive merasa suhu saat itu turun drastis hingga ia tidak bisa bergerak. Lentera tak memuaskannya, ia masih dihantui kegelapan yang makin mencekam.
Kereta kuda itu pun berhenti. Para pengawal turun dan berancang-ancang menyerang kawanan serigala. Mereka menghunuskan pedangnya siap menikam apapun yang mengancam mereka.
"Itulah kenyataan dalam kehidupan, Clive," kata sang tuan rumah tiba-tiba, "janganlah takut jika mendapati darah berceceran."
Clive tak tahu haris menjawab apa. Sang tuan rumah seperti tahu kalau Clive sedikit ngeri.
Dalam hitungan menit, kawanan serigala langsung menyerang mereka, seakan-akan ada yang memberi aba-aba kepada semua serigala tersebut.  Serigala-serigala itu berukuran besar. Banyak pengawal yang berjatuhan karena gigitan dan cakaran serigala memakan nyawa para pengawal sebelum pengawal tersebut berhasil menikam kawanan serigala. Walaupun hujan panah sudah membanjiri para serigala, tetapi  banyak serigala yang langsung sadar dan langsung memanjat pohon yang dinaiki para pengawal.
Pertarungan berlangsung sengit. Clive menengok ke arah sang tuan rumah, dan dia hanya duduk menopang dagu di pinggir kereta sambil menyaksikan pertempuran yang kian memarah. Clive kebingungan, apakah tuan rumah sebenarnya penakut dan pengecut yang kerjanya hanya menyaksikan orang berjatuhan.
"Hei pengendali serigala!" bentak sang tuan rumah tiba-tiba. "Aku tahu ada tuan dari semua serigala ini." Sang tuan rumah pun turun sambil menghunuskan pedang yang sangat panjang. Kecepatan tebasnya sangat tinggi sehingga ia dapat mengalahkan beberapa serigala dalam waktu singkat. Selain kecepatannya, mungkin juga karena faktor serigala sudah merasa lelah diserang oleh para pengawal, serigala itu lebih mudah dikalahkan. "Tunjukkan dirimu! Hei!"
Tak ada jawaban. Sang tuan rumah pun segera  menghabisi sisa-sisa serigala dan kembali ke kereta kuda dengan wajah marah.
"Clive," kata sang tuan rumah tiba-tiba yang sukses membuat Clive yang kedinginan menjadi lebih kedinginan, "inikah tempatnya?"
"Tepatnya di dekat tebing dekat sini, tapi di sekitar sini," kata Clive terbata-bata, ia pun menengok ke arah kanan dan melihat ada tebing yang dimaksud, ia pun menunjuk ke tebing tersebut, "disana tebingnya!"
"Baiklah, kerja bagus!" seru sang tuan rumah sambil menepuk-nepuk kepala Clive. Sang tuan rumah pun menyuruh para pengawal yang masih hidup mengangkat jenazah para pengawal yang sudah mati. Setelah itu, sang tuan rumah pun menancapkan bendera di sekitar sana. "Yah, walaupun kemungkinan bendera ini sudah tak ada besok karena ada sang pengendali serigala, tetapi semoga aku masih ingat tempatnya sampai esok." Sang tuan rumah pun menaiki kereta kuda dan mengendarai kereta kuda itu dengan sangat kencang.

Unwavering : Black and WhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang