I

6 1 0
                                    

Through your vision, you can't see the future.

Ibu Clive menarik Clive sambil berlari di tengah hutan di musim dingin. Ibu itu cemas, ia terus menengok ke kanan dan ke kiri sambil menggandeng tangan anaknya itu.
Clive kebingungan. Ia menoleh kesana kemari dan melihat beberapa panah mulai menghujani mereka. Ibu Clive semakin mempercepat langkah kakinya dan yang ada malah berkali-kali tersandung. Langit tidak bersahabat, mendung dan semakin gelap. Tumpukan salju bagai kian menebal sehingga sulit untuk dilalui. Mantel yang membalut Clive sudah hampir tiada gunanya, mereka tetap kedinginan dibelai oleh angin musim dingin yang lumayan kencang.
Tiba-tiba, punggung Ibu Clive ditancap oleh  sebuah panah. Ibu Clive tak sengaja menjatuhkan Clive dan berkata, "Lari, Clive, lari!"
Clive melihat ibunya semakin lemas dan terduduk. Clive merasa cemas dan ingin menangis, tetapi ibunya tetap memaksanya untuk segera meninggalkan tempat itu. "Clive, hujan panah belum berhenti. Cepatlah!"
Dengan berat hati, Clive meninggalkan ibunya dan lari tak tentu arah. Hingga pada akhirnya--
---
Clive bangun sambil tersentak. Nafasnya tidak beraturan. Saat itu, masih dini hari dan Clive terbangun karena mimpi buruknya. Itu bukanlah yang pertama, utu sudah terjadi berkali-kali sampai Clive sangat penasaran ada apa mengenai mimpi tersebut. "Apakah itu ingatannya yang ia lupakan?" Clive terus bertanya-tanya soal itu tanpa menceritakan kepada siapapun di rumah yang ia tempati saat itu.
"Mimpi itu lagi...?" gumam Clive sambil meremas-remas rambut gondrong kemerahannya. "Kenapa hal itu bisa terus terjadi? Apakah aku haris percaya kalau aku bukan dari keluarga ini?"
Clive pun turun dari kasur karena ia tak berkeinginan untuk kembali tidur walau masih dini hari. Pikirannya kacau, ia tak ingin kembali tidur dan memimpikan hal yang mirip. Walau tak sama, tetapi kejadiannya hampir mirip seperti itu. Selain itu, terkadang saat sadar pikirannya berusaha meyakinkannya dengan ingatan-ingatan yang mirip.
---
"Clive, kau mau membaca buku apa lagi setelah ini?" tanya seorang teman Clive. Laki-laki bertubuh pendek, berambut pirang kuning kemerahan, dan bermata emerald itu adalah teman Clive yang tinggal di rumah yang sama dengan Clive. "Aku menemukan buku baru! Mungkin kau berpikir buku itu akan seru!"
"Oh ya? Sayangnya minat bacaku menurun drastis."
"Ternyata bukan hanya nafsu makanmu yang turun drastis. Sebenarnya ada apa, Clive? Lagipula, belakangan ini kau terlihat banyak pikiran."
"Lupakan soal itu," Clive pun beranjak, "mengapa kita tidak berlatih pedang? Sepertinya seru. Aku ingin mengalahkanmu kali ini!"
"Ide bagus! Aku juga ingin mengalahkanmu!"
---
Suara dentingan pedang menggema di sebuah lapangan yang dibentengi oleh kursi penonton. Tempat itu adalah tempat berlatih pedang sekaligus tempat pertandingan.
Clive dan Carson mengalami pertandingan yang cukup sengit. Tak terhitung kalah menang yang mereka capai, dan masing-masing masih menyesali kekalahan yang pernah dialami oleh mereka. Saat orang-orang disekitar mereka sudah banyak yang berganti lawan, mereka tetap saja belum menyelesaikan pertandingan mereka.
"Tuan Muda Clive! Carson!" seru seseorang. Clive dan Carson tidak menggubrisnya karena mereka terlalu asyik dengan pertandingan mereka.
"Tuan Muda! Carson!" bentaknya sambil menangkis pedang Clive dan pedang Carson dengan keduapedang yang dipegang tangannya. Clive dan Carson pun menyarungkan pedangnya dan tak berani membantah apapun. Orang yang memanggilnya adalah orang bertubuh tegap dengan wajah garang. Wajahnya memerah, matanya terbuka lebar-lebar dan seperti nyaris keluar, dan badan yang berotot sukses membuat Clive dan Carson bungkam jika bertemu dengannya. Dialah tangan kanan Ayah Clive yang tak lain adalah tuan rumah itu. Dengan jabatan serta kekuatannya, dia sangat dihormati.
"Kalian harus ke perpustakaan sekarang juga!" seru manusia kekar itu. "Apa jadinya harga diri rumah besar Dunkelstrome ini jika isinya hanyalah orang-orang yang bermain pedang dengan otak kosong? Berhenti kabur dari kelas!"
Clive dan Carson mengangguk pelan dan langsung berlari ke perpustakaan karena orang kekar itu siap memukuli mereka jika mereka tidak ke perpustakaan secepatnya.
---
Mereka melewati koridor-koridor yang luas dan melewati banyak orang yang berlalu-lalang. Clive sudah biasa dengan pemandangan seperti itu, dan mau seindah apapun hal yang ada di sekitarnya, tetap saja terasa membosankan jika dia haris belajar di saat yang dia tak inginkan.
"Rasanya musim gugur ini lebih dingin, ya," kata Carson membuka topik sambil menggosok-gosok kedua lengan atasnya dengan kedua tangannya.
"Mungkin hanya perasaanmu," tiba-tiba, Clive menemukan sesuatu yang membuat Clive mengecilkan volume suaranya, "itu, jika kita belok kesana, kita akan melewati ruang terlarang. Bagaimana kalau kita melewatinya? Kita bisa ke perpustakaan lewat sana, kan?"
"Dasar kau ini," kata Carson, "bukannya sudah pernah? Bahkan lumayan sering, dan kita tidak mendapatkan apa-apa."
"Dan aku masih belum puas," Clive pun segera berlari kesana.
"Hei, Clive!" seru Carson sambil mengejar Clive yang mempunyai kecepatan lari jauh lebih cepat daripada dirinya.
Beberapa saat kemudian, Clive mencoba mengecek ke belakang dan ia melihat Carson yang sedang mengatur nafasnya sambil memegangi lututnya. Clive sendiri baru sadar kalau ia berlari sudah cukup jauh. Ia pun tak mempedulikan temannya itu dan langsung mengendap-ngendap dekat pintu ruangan terlarang. Setidaknya, di tempat itu jarang ada orang yang lewat. Tindakan Clive tidak begitu mencolok.
Pintu ruang terlarang yang besar dan mempunyai gagang lingkaran itu tertutup rapat. Clive pun menengok ke kanan dan ke kiri, siapa tahu ia bisa menemukan tempat untuk menyusup. Tetapi, ia tak kunjung menemukannya.
Pintu pun berguncang. Clive langsung melepas alas kakinya dan berlari ke pintu belakang perpustakaan yang berada di dekat sana. Walaupun sudah perpustakaan, tetapi Clive sebenarnya tidak boleh mengunjungi rak-rak belakang perpustakaan seperti saat itu. Clive pun mengintip dari pintu itu dan melihat ada dua orang berjubah biru tua keluar dari ruangan itu.
Jubah biru tua, Clive seperti mengingat sesuatu. Tetapi Clive tidak yakin.
"Akhirnya percobaannya sudah berhasil ditingkatkan!" kata salah satu diantara mereka, "kita bisa bergerak lebih cepat dari sebelumnya!"
"Ya, faktor terbesar kita begini karena negara kita sekarang yang mengudeta negara asal kita," kata orang di sebelahnya, "berterimakasihlah kepada bocah bernama Clive itu yang sudah memberitahu kita daerah ruang kerja ayahnya yang sangat berharga."
"Dan kita akan merampas kekayaan warga negara ini! Ah rasanya aku ingin melakukannya langsung dihadapan raja negara ini!"
"Sabarlah, pembantaian kota ini pun belum rampung. Ayo!"
"Dulu ini memangnya negara apa?" pikir Clive dalam hati. "Lalu... percobaan ayahku? Sepertinya aku haris mencari tahu sejarah negara ini. Tunggu... saat aku baru memasuki rumah ini... aku haris mencari tempat dimana aku jatuh. Apakah berhubungan dengan apa yang kuimpikan dan ingatan samar-samarku selama ini?"
Clive pun langsung berbalik dan mencari buku yang diinginkannya, sejarah negaranya saat itu.
"Ini negara Stromgriff, kan?" pikir Clive, "mengapa aku tak kunjung menemukan sejarah Stromgriff disini? Yang kutemukan adalah sejarah Tendrilpine. Ada apa ini? Apakah dulunya ini negara Tendrilpine?"
Clive pun mengambil satu buku sejarah Tendrilpine dan membuka halaman-halaman terakhir.
Tiba-tiba, Clive tertegun dengan kata-kata,
Stromgriff mengudeta Tendrilpine dan menjadikan wilayah Tendrilpine negaranya. Organisasi terkemuka Tendrilpine yang membantu banyak urusan Tendrilpine yang bernama Dunkelstrome dibantai. Tetapi, Dunkelstrome belum habis sampai akarnya. Dunkelstrome masih bisa bangkit! Dunkelstrome masih bisa bangkit! Walaupun keadaan Dunkelstrome miskin, tetapi masih banyak cara untuk membangkitkannya! Walau kini Dunkelstrome mempunyai hutang, tetapi masih banyak cara membangkitkannya! Dunkelstrome masih bisa bersaing dengan organisasi lain dan menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya. Mencari uang untuk uang. Selain itu, perbuatan itu bisa meruntuhkan Stromgriff pelan-pelan. Jika uang rakyat menipis, ekonomi memburuk, otomatis Stromgriff akan dicap negara miskin!
"Tunggu...," pikir Clive, "kata-kata ini seperti familiar." Clive pun menutup buku itu, menyembunyikan buku itu di mantelnya, dan segera berlari keluar dari perpustakaan itu. Ia bahkan melupakan kata-kata si Kekar setelah latihan pedang tadi. Ia ingin segera mencari tahu keanehan yang menghujaninya terus-menerus. Ia pun segera mampir ke kamarnya lewat jendela karena ia tahu jika ia lewat depan, bisa-bisa ayahnya marah besar karena dirinya tidak belajar seperti biasa.
Saat Clive baru duduk di kursi meja belajar dan menyimpan buku itu di mejanya, Clive tiba-tiba merasa sakit kepala. Hal yang samar-samar diingatannya semakin jelas. Tiba-tiba ia teringat mimpi yang terus menghantuinya, dan bahkan kejadian sebelum kejadian yang ada di mimpi. Clive pun memaksakan membuka buku itu dengan asal dan menemukan kertas-kertas percobaan yang terselip di buku itu. Banyak sekali istilah-istilah yang Clive tidak ketahui, tetapi semakin Clive melihatnya, Clive bertambah sakit kepala hingga ia tidak mampu menegakkan kepalanya. Ia menidurkan kepalanya di meja sambil meremas-remas mantelnya.
"Ini... ini percobaan ayahku, kan? Dan aku seharisnya tidak tinggal disini, kan?"
Banyak ingatan yang Clive lupakan bagai menusuk dengan deras ke pikirannya. Saat itu, Clive hanya bisa menutup mata, berharap sakit kepalanya hilang.
---
"Ibu! Ibu! Ayah dimana?"
Ucapan tersebut berkali-kali terlontar dari seorang bocah berumur dua belas tahun. Bocah itu sangat merindukan ayahnya yang sudah lama tidak pulang.
"Ayah sibuk, Clive," kata Ibu, "jangan sampai kau mengganggunya. Kau tahu, kan, sekitar sebulan yang lalu, negara ini sudah menjadi milik Stromgriff, kan? Ayah butuh penyesuaian dengan segala macam agar mendapatkan uang. Lagipula, ekonomi disini belum stabil. Selain itu, Ayah punya projek besar. Kau mau tidak makan? Sebaiknya kau berlatih pedang dengan Calder, tak ada yang tahu akan ada pertempuran lagi atau tidak."
Clive pun bungkam. Ia tak tahu ia haris melakukan apa karena ia sudah bosan bermain pedang walaupun dia sendiri belum ahli. Sebelum negaranya menjadi Stromgriff, dia sudah kenyang dengan pelatihan pedang intensif dan kejam yang diberikan Tendrilpine. Hal itu cukup membuat Clive berkeinginan libur berpedang setidaknya sebulan.
Tak lama kemudian, Clive memutuskan untuk mencari ayahnya. Clive rindu dengan percobaan-percobaan kecil ayahnya yang dilakukan bersama dengannya. Lagipula, jika ia di rumah, dia mungkin akan membaca buku yang sudah ia baca sebelumnya. Ia bisa membaca buku karena ayahnya mengajarinya. Jarang anak seperti dia yang bisa membaca.
Dia melewati hutan yang daunnya berguguran karena musim dingin, ia juga menancapkan beberapa tanda berupa ranting agar ia bisa kembali dengan mudah.
Semakin lama, hutan yang dilalui Clive semakin memusingkan. Memang pohon-pohonnya agak jarang, tapi pohon-pohon disana hampir semua satu jenis, pinus.
Clive semakin lelah berjalan, ia pun berniat untuk duduk di tempat, tapi--
Tiba-tiba ia terpeleset dan jatuh di sungai. Sungai itu beku karena musim dingin, tetapi cukup membuat sungai beku retak sudah bisa merasakan sakitnya terbentur sekaligus terkena air yang dinginnya menusuk. Setidaknya sungai itu tidak deras. Ia pun langsung naik keatas sambil memeras sedikit bajunya.
"Clive!" panggil seseorang dari kejauhan sambil berlari ke arahnya. Ialah Calder, "Apa yang kau lakukan!?"
"Kau tahu sendiri, lah," kata Clive, "tapi tolong jangan beritahu Ibu. Tolong, ya!"
"Kalau soal mencari Ayah aku juga mau, sih," Calder pun mengulurkan tangannya kepada Clive, "tapi kau malah membayakan dirimu sendiri jika begitu."
"Kau memang anak baik," Clive pun meringis dan berdiri tanpa menghiraukan tangan Calder, "aku akan mencoba lagi besok, aku ingin mengganti bajuku. Oh iya, tolong kau alihkan perhatian Ibu."
"Aku akan dapat apa?"
"Dasar. Aku tidak mau memberi apa-apa," Clive pun berlari menjauh, "jika tak mau membantu ya sudah!"
Besok paginya, Clive langsung menyusup ke hutan. Ia mencoba menempuh rute yang sangat berbeda dengan kemarin. Hamparan salju seputih kapas yang tebal ia injak-injak begitu saja hingga meninggalkan bekas yang sangat terlihat. Ia tak peduli dinginnya salju itu yang menusuk-nusuk kaki yang hanya dilapisi sepatu usang. Keinginan untuk mencari ayahnya sangatlah tinggi.
---
Clive pun terbangun dari tidurnya dan mendapati surat yang ada di lantai dekat pintu kamarnya. Clive merasa aneh, ia tak pernah mengalami kejadian itu sebelumnya. Jika ia belum bangun dan ada acara penting pun, biasanya ia akan dibangunkan.
Clive pun mengambil surat itu dan mengecek siapa yang mengirim.
"Carson? Tidak biasanya dia mengirimiku surat," Clive pun membuka surat itu dan membacanya.
Clive, maaf tadi aku meninggalkanmu begitu saja, tadi tiba-tiba aku dipanggil oleh ayahku karena aku haris bersiap-siap pergi. Kau tahu, kan, aku seharisnya tidak tinggal disini?
Tadi aku mengetuk pintumu dan tak ada jawaban darimu. Aku berpikir kau tidur, makanya kukirimi surat. Oh iya, kau haris tahu, tangan kanan ayahmu tiba-tiba dibunuh tanpa keterangan yang jelas.
Sudah, ya, aku tak bisa lama-lama menulis surat.
"Tangan kanan... hah!? Aku tak percaya!"
Clive pun langsung menjatuhkan surat itu dan langsung berlari keluar kamarnya. Ia menengok ke kanan dan kiri, ia mendapati kekosongan, tak ada orang lewat sedikit pun. Clive bahkan sempat mengira ia sedang mimpi.
Tak lama kemudian, Clive menemukan ruangan yang terbuka. Clive pun langsung menerobos masuk dan seketika ia menganga. Ia mendapati si Kekar tergeletak lemas sambil menidurkan kepalanya di meja. Darah berceceran di meja dekat kepala si Kekar.
Clive merasa aneh, tak ada orang lain lagi disana selain dirinya dan si Kekar. Clive pun segera berbalik karena takut itu adalah jebakan saja. Memastikan hidup matinya si Kekar hanya akan menambah kecurigaan kepada dirinya.
Tak lama kemudian, seseorang memasuki ruangan itu. "Tuan Muda Clive, apa yang kau lakukan!?"
Clive pun berbalik dan kaget setengah mati, ia mendapati seseorang yang sangat disegani banyak orang karena orang itu adalah orang yang tak mudah dikalahkan di dalam latihan pedang, "Kau mengagetkanku, Ravez. Aku baru bangun tidur dan seseorang memberi tahuku bahwa dia meninggal," kata Clive, "aku hanya memastikannya."
"Bohong," Ravez langsung menarik tangan kanan Clive. Clive seketika tersentak karena tangannya berlumuran darah. "Darah apa ini yang ada di tanganmu!? Apakah kau gila sampai membunuh tangan kanan Tuan Rumah dan berbohong soal itu!? Penjaga!"
Clive pun memberontak melepas tangannya, tetapi tetap tidak bisa walau sudah dibantu dengan tangan satunya. "Kau yang bohong! Tanganku tadi tidak berlumuran darah! Kau yang mengenai darah yang ada di tanganmu!" Clive pun merogoh belati yang ada di kantungnya dan seketika tangan yang sedang merogoh dicengkeram oleh Ravez.
"Kau takkan bebas, Tuan Muda," kata Ravez sambil melotot, "jadi ini alasan mengapa kau tidak memenuhi panggilan tangan kanan Tuan Rumah."
Tak lama kemudian, banyak orang bersenjata  yang berkerumun di ruangan tersebut. Atas perintah Ravez, sebagian besar orang-orang disana Clive menodongkan tombak ke arah Clive.
"Ini benar-benar jebakan," pikir Clive sambil melihat ke sekeliling dengan harap-harap cemas. Meski dia sudah berlatih bertarung, tetapi melawan lusinan pasukan yang seperti singa kelaparan rasanya tidak mungkin. Selain itu, kedua tangannya ditahan oleh orang berbadan kekar, yang tak lain adalah guru berpedang Clive yang sangat lihai. "Mereka benar-benar palsu."
"Clive, kau akan dihukum mati," kata Akler dengan nada mengancam, "kau bukanlah Tuan Muda lagi di rumah ini. Kau adalah pengkhianat!"
"Kalian simpan dimana otak kalian, hah!?" bentak Clive. Clive pun menginjak kaki Ravez sekeras-kerasnya dan menyerudukkan kepalanya ke arah perut Ravez. Setidaknya, genggaman tangan Ravez mengendur dan Clive bisa melepaskan diri. Sedangkan para pengguna tombak pun tak kalah cepat. Mereka langsung memajukkan tombaknya. Pasukan yang berada di belakang Ravez pun menghunuskan pedangnya dan mengarahkannya ke arah Clive. Tetapi, sebelum Clive tertusuk, Clive merunduk, mengeluarkan belati, menghunuskannya, dan keluar lewat sela-sela antar kaki sambil sesekali melukai kaki-kaki itu dengan belati bagaikan rumput-rumput liar yang dipangkas. Para penjaga itu jelas menyadari. Tetapi, setidaknya para penjaga itu hanyalah dua baris sehingga Clive bisa bebas lebih cepat.
Saat Clive sudah bebas, Clive mendapati meja dan tak ada jalan keluar disana kecuali...
Jendela.
Clive pun langsung menuju ke jendela tersebut, membukanya, dan tak ada pilihan lain selain loncat dari jendela lantai dua itu.
Walau kaki terkilir, Clive seberusaha mungkin berlari ke arah hutan. Banyak penjaga disana yang menghalangi jalannya. Clive dengan tangkas menyerang mereka seperti serigala ganas. Clive tak segan menikam siapapun dan merampas senjata yang dimiliki orang tersebut. Badannya yang kurus memudahkannya untuk berkelit, bergerak untuk menangkis serangan, dan tentunya menyerang. Walau ia hidup dalam kekayaan, tetapi makan berlebihan bukanlah nalurinya. Ia lebih suka bermain pedang daripada bermewah-mewahan.
Semenjak kejadian tadi, Clive tak segan untuk melawan semua orang yang telah memberikannya kebahagiaan palsu. Ia bahkan tak peduli seberapa koyak mantel yang dipakainya, seberapa banyak luka gores yang diterimanya. Ia hanya membutuhkan penjelasan siapa dirinya dan dimana seharisnya dia berada.
Setelah beberapa saat, penjagaan mengendur dan Clive memanfaatkan kesempatan seluas-luasnya untuk berlari lebih cepat untuk membebaskan diri. Setelah ia berhasil melewati pagar yang lumayan tinggi yang berada di bagian belakang, ia segera berlari ke hutan dikejar oleh beberapa penjaga yang bagaikan cheetah menemukan mangsanya. Clive sedikit bahagia ia tak haris kabur melewati pintu depan, karena pintu depan pagarnya seperti benteng.
Tiba-tiba, kaki Clive ditembak oleh panah. Clive tak menggubrisnya dan ia terus berlari ke hutan yang dalam. Ia tak peduli apakah ia akan tersesat atau tidak. Ia juga tak lupa meningkatkan kewaspadaan terhadap lumpur-lumpur yang bisa saja menghisapnya dan ia tak bisa lagi keluar darinya.
Setiap kali Clive terkejar, Clive langsung menyabetnya. Ia bahkan berhasil mencuri kuda seorang penunggang yang ia jatuhkan dari kuda itu.
Semakin lama, Clive semakin merasakan sakitnya tusukan panah itu. Darah sudah membasahi celananya hingga sepatu. Matanya makin berkunang-kunang dan konsenterasinya semakin buyar. Suara kaki-kaki manusia dan kaki-kaki kuda masih ia dengar. Clive mengendarai kuda yang ia tunggangi lebih cepat. Tetapi, sayangnya kuda itu pun tertembak panah dan kuda itu ambruk. Clive hanya mempunyai kedua kakinya untuk berlari dan kedua tangannya untuk menyerang.
Dengan nafas yang tak beraturan, kecepatan lari Clive semakin pelan. Sedikit demi sedikit pasukan mengepungnya. Clive sudah tak ada harapan. Tubuhnya yang sudah lemas sudah tak mempunyai ambisi untuk menyerang orang-orang yang mengepungnya. Ia pun bersandar pada pohon yang berada di sampingnya sambil menikmati masa-masa itu.
"Pasukan! Berhenti!" seru seseorang di balik kepungan itu tiba-tiba. Pasukan itu pun seketika mengalihkan perhatiannya kepada orang yang berbicara. Clive memanfaatkan kesempatan itu dengan memanjat pohon yang ada di dekatnya. Tak ada yang memperhatikan, Clive lega sekali karena itu. "Tuan rumah menyuruh kita kembali! Ia tak percaya bahwa Clive melakukan kesalahan besar! Ia bahkan menyuruh kita untuk mempertemukan Clive dengannya!"
Clive pun bersembunyi dan tak ada orang yang melihat ke atas untuk memastikan keberadaannya. Orang-orang itu pun berpencar sambil memanggil-manggil namanya.
Namun, tiba-tiba pasukan di bawah kocar-kacir karena mereka menemui serigala. Clive sangat kaget dan berharap tak ada serigala yang memanjat ke pohon yang ia panjati. Clive pun hanya diam, tak berani mengeluarkan suara, apalagi menyerang.
Membutuhkan waktu lama untuk meredakan serangan serigala. Clive pun bersender lalu menghembuskan nafas lega karena di bawah sudah tak ada siapapun lagi.
---
"Hei orang yang di atas pohon!" seru seseorang di bawah pohon. "Disini sudah tak ada serigala, turunlah. Kau terlihat luka parah."
Clive pun menengok ke bawah dan mendapati seorang laki-laki lumayan jangkung berjubah hitam. Ia tidak memakai tudung jubahnya. Rambut cokelat keemasannya terlihat bergelombang dan gondrong. Matanya berwarna hijau dan kulitnya putih kemerahan. Ia menyunggingkan senyum ramah kepada Clive seakan-akan ia akrab dengan Clive.
"Kau siapa?" tanya Clive.
"Ashford, seorang pengembara," jawab orang berambut cokelat keemasan dengan tenang, "aku hanya mengkhawatirkan kondisimu yang parah. Apalagi, ada panah tertancap di kakimu. Di dekat sini--maksudku,  agak jauh, sih, ada desa, mungkin kau bisa mendapat perawatan."
Clive pun bungkam. Ia tak ingin mudah percaya ada orang tetapi ia tidak ingin sengsara berkelanjutan.
"Jika kau mendiamkan luka itu, itu akan berdampak bahaya," kata Ashford, "jika kau merasa aku akan menjerumuskanmu ke dalam kebejatan, silakan bunuh aku dan kau boleh ambil semua kekayaanku yang kubawa."
"Aku terlalu terlihat haus darah, ya," kata Clive sambil turun dari pohon yang ia naiki perlahan. Walau ia masih mempunyai keraguan untuk mengikuti laki-laki misterius itu, tetapi setidaknya jika Ashford berbohong, Clive bisa mengambil harta benda Ashford. "Baiklah. Aku haris kemana?"
"Aku akan mengobatimu untuk pengobatan sementara. Kau bisa naik kudaku dan aku akan berjalan. Aku akan menuntunmu, tenanglah," kata Ashford.
"Aku punya satu permintaan lain," kata Clive tiba-tiba.
"Apa itu?"
"Jika aku benar-benar sampai di desa tersebut, tolong sembunyikan aku. Aku ini buronan."
Ashford pun tersenyum, "akan kupertimbangkan. Tolong ceritakan padaku mengenai bagaimana kau menjadi buronan."
"Aku tak ingin menceritakannya sebelum aku mendapatkan apa-apa yang kau katakan tadi," kata Clive, "karena aku siap membunuhmu. Jangan kira aku akan membiarkan dirimu melarikan diri dari kata-katamu."
"Baiklah, Bocah Haus Darah."
"Panggil aku Clive saja. Panggilan itu terlalu aneh."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 22, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unwavering : Black and WhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang