Ia kemudian sembunyi dibalik selimutnya, berharap apa yang dikatakan ayahnya hanya bualan mimpi.
---------------------------------------------------------------------Hari berikutnya Saadia bersikap aneh, setelah kejadian dimana ayahnya mengatakan akan pindah. Kejadian kemarin seolah menjadi mimpi buruk baginya.
Harapan Saadia sebelum tidur kemarin nyatanya tidak dikabulkan, dimana ia berharap jika yang terjadi kemarin hanya bualan mimpi. Ayahnya berubah nampak berantakan sehabis pulang kerja, terlihat stress dan berubah menjadi sosok yang pemarah. Ibunya yang melihat suaminya seperti itu hanya bisa menangis dan berdoa. Apalagi yang bisa dilakukan perempuan berumur empat puluh tahun itu.
Suasana rumah yang biasanya hangat kini menyisakan suasana mencekam, yang Saadia dengar kini kebanyakan dari suara tangisan ibunya.
Semua kejadian dirumahnya membawa dampak tersendiri bagi Saadia. Ia menghindari semua orang termasuk Dias dan teman-temannya. Menjadi pendiam dan sering melamun yang membuat Dias semakin bingung. Dan hari ini adalah batas akhir penasaran Dias yang membuat Saadia dan Dias bertengkar.
'gue tau lo lagi ada masalah, cerita sama gue. Jangan kayak gini' kata Dias setengah berlari berusaha menyamakan langkahnya dengan Saadia yang terus menghindarinya.
'Gue gak pa-pa, ke kantin sana. Gue lagi pengen sendiri, gak mau diganggu." Ucap Saadia dingin
'Lo mau sendiri disaat lo punya pacar? Disaat lo punya teman?' Kesabaran Dias sudah habis, ia lalu mencengkeram lengan Saadia yang membuat Saadia meringis kesakitan.
'Cerita sama gue atau setidaknya cerita sama temen lo, lo gak tau mereka tuh khawatir banget liat sikap lo yang kayak gini.'
'Trus kalo gue udah cerita, lo bisa apa? Mereka bisa apa? Cobalah untuk gak terlalu ikut campur!!'
'Baik, terserah lo!! Capek gue!!' kata Dias menghempaskan lengan Saadia lalu meninggalkan Saadia yang hanya bisa menatap punggung Dias yang semakin jauh.
Saadia hanya bisa tersenyum pahit mengingat pertengkarannya dengan Dias beberapa jam yang lalu. Ia sadar, ia terlalu kekanakan menyikapi Dias yang sudah berbaik hati menawarkan dirinya untuk jadi teman berbagi cerita.
Sekolah sudah sepi. Saadia melirik jam tangannya, sudah jam setengah 5. Sudah hampir dua jam ia menghabiskan waktunya disini. Dilihatnya Pak Syukur—penjaga sekolah— yang sedang mengunci pintu kelas.
Mengingat ayahnya sudah memutuskan bahwa lusa mereka akan pindah ke Jepang, membuat Saadia tertekan. Banyak yang harus ia tinggalkan disini.
Saadia terduduk di tengah lapangan. Sedari tadi ia hanya bermain basket sendirian, berusaha menyibukkan diri berharap kesibukannya itu bisa menghilangkan sedikit kepenatannya. Kemudian ia melirik kursi yang biasanya ditempati Dias kala menunggunya latihan. Ia menunduk dan mulai menangis mengingat ia tak akan berada disini lagi dalam waktu dekat.
Ia hanya bisa berharap Dias tak marah lagi padanya dan akan memaafkannya. 'lo mau sendirian disaat lo punya pacar? Disaat lo punya teman?' Dias benar, Saadia bukan orang yang pandai menyimpan rasa sakit hati.
Akhirnya Saadia memutuskan untuk mencari Dias dan menceritakan semuanya. Mengapa ia harus sendiri?
Saadia berlari ke aula sekolah, melewati koridor kelas, dia ingat Dias hari ini ada jadwal bimbel gabungan dengan kelas lain. Tersenyum, meyakinkan dirinya semuanya baik-baik saja jika Dias mengetahui masalahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA
Romance;- Metanoia (n.) Perjalanan untuk merubah pikiran, hati, diri dan arah hidup. . . . . 'Cover by nikita