Aku masih sibuk dengan revisi skripsiku setelah sidang pra pendadaran. Aku ingin pendadaran secapatnya agar bisa melanjutkan hidupku. Jujur saja, semua rencana yang telah kususun selama bertahun-tahun mundur hanya karena aku telat lulus kuliah, aku telat mengerjakan skripsi. Bukan karena aku menunda mengerjakannya, tetapi karena kesalahanku selama masa kuliah yang sembrono. Sehingga aku tidak sadar kalau sks yang ku ambil belum memenuhi syarat untuk bisa skripsi.
Aku ingin sekali pergi dari sini, dari Jogja. Aku ingin mencoba melupakan semuanya, melupakan Karim.
Langit Jogja saat ini gudah gulana seakan sedang memikul beban yang berat. Tidak lama lagi langit akan menangis menumpahkan segala perasaan yang simpan selama ini. Seperti diriku, sendiri, mengumpulkan segenap kekuatanku untuk mengerjakan skripsi seorang diri, tanpa teman, tanpa kekasih.
Sebenarnya aku sosok wanita kuat yang serba bisa. Pernah suatu ketika sahabatku, Hana mengatakan "kamu itu tidak butuh lelaki. Kamu bisa mengerjakan semuanya sendiri. Kamu tidak butuh lelaki. Kamu bahkan bisa memperbaiki jemuranku."
Mungkin aku sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Aku anak sulung. Ditambah dengan didikan dari orangtuaku yang mengharuskan aku mandiri sejak aku masih kecil. Alhasil aku sudah terbiasa dengan segala pekerjaan, baik pekerjaan wanita maupun pria.
Tetapi sekuat apapun diriku, aku juga butuh sandaran hati. Aku butuh bersenda gurau. Aku butuh mencurahkan isi hati. Dan semua itu tidak cukup hanya aku lakukan bersama keluarga dan sahabatku saja. Aku butuh pasangan.
Rintik hujan sudah mulai menyentuh setiap inci atap bangunan di Jakal. Suaranya terdengar menyerbu atap Luxury yang terbuat dari seng. Bahkan suara Adele yang merdu semakin samar terdengar dikalahkan oleh gerombolan rintik hujan. Aku yang sendiri duduk di meja nomer 2 Luxury bersandar di punggung sofa sambil memejamkan mata. Aku kembali terbawa ketika aku bertemu Karim di Luxury saat itu.
Cuaca saat itu sama seperti sekarang ini, gelap, hujan. Bedanya saat ini aku duduk sendiri di meja nomer 2...
Aku selalu suka meja nomer 2 karena aku memiliki kenangan bersama Karim. Setiap detik terekam jelas di ingatanku. Suaranya, wajahnya, bahkan pukulan kecil yang dia lakukan masih terasa sangat jelas. Walaupun menyebalkan tetapi itu lah yang selalu membuatku rindu. Sesungguhnya saat itu ingin sekali aku mencubit pipinya, mengacak-acak rambutnya, dan bersandar di bahunya. Namun sayang sekali aku tidak bisa melakukannya. Aku selalu kaku saat berada di dekatnya. Lebih buruknya lagi adalah, aku bukan siapa-siapanya.
Sesungguhnya aku pun tidak mengerti dengan hubungan ini. Aku kenal dengan Karim karena aku menjadi manajer tim tari jurusanku pada tahun 2015. Klise. Seperti kebanyakan cerita FTV, diawali dari tidak suka, benci, kemudian jatuh cinta. Tetapi kisah cintaku tidak semulus kisah-kisah yang ada di film. Aku harus rela menunggu dengan sabar. Aku harus bisa memendam perasaan ini, walaupun terkadang aku tidak kuasa ingin mengatakan semuanya kepada Karim tapi aku lebih memilih diam. Aku tidak ingin penantianku selama ini sia-sia hanya karena diriku gegabah. Aku bahkan tidak tahu perasaan Karim terhadapku. Dia bahkan jarang sekali menghubungiku duluan. Tetapi seperti apapun perlakuannya terhadapku tidak sedikitpun mengurangi rasa sayangku padanya.
Pernah suatu malam di warung sate pinggir jalan kami makan berdua. Tiba-tiba dia berkata "Abang habis lulus mau nikah" dengan wajah menyebalkannya itu.
Aku terbelalak, terhenyak. Aku menelan ludah. Sate yang sudah aku kunyah sehalus mungkin tidak bisa tertelan. Wajahku yang berseri-seri dengan cepat berubah. Bibirku manyun seperti anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan.
"Abang mau nikah ?" tanyaku lemas.
"Iya abang habis wisuda mau langsung nikah." dengan yakin dan senyuman yang penuh arti.
"Emangnya abang sudah punya calon ?" ucapku lirih.
"Belom"
Gubrak...
Apa maksud dari perkataannya ? Hampir saja aku menangis karena dia bilang mau menikah. Aku selalu tidak mengerti setiap kata yang keluar dari mulutnya. Entah aku yang terlalu memikirkan atau memang setiap ucapannya memiliki arti ?
YOU ARE READING
Ais : "I Don't Wanna Wait in Vain..."
ChickLitMenunggu sudah menjadi sahabat bagiku...