"Cinta itu mulai dari mana ? Ada yang bisa bantu jawab ?"
Caption dari postingan Instagram Karim siang itu membuatku senyum-senyum sendiri. Aku tidak peduli dengan Mbak dan Mas yang saat itu sedang shift pagi di Dunkin melihatku dengan tatapan aneh. Ada juga yang tersenyum sendiri melihat tingkahku. Mungkin mereka siaga untuk menelpon rumah sakit jiwa jika tiba-tiba aku berlaku aneh.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana dan darimana memulai cinta. Cinta tumbuh dengan sendirinya seperti tanaman jeruk nipis yang tiba-tiba tumbuh di halaman belakang rumahku tanpa aku tahu siapa dan kapan jeruk nipis itu ditanam. Sama seperti perasaanku yang telah tumbuh sejak 2 tahun lamanya. Aku bahkan tidak tahu mulai darimana...
Saat itu tiba-tiba saja aku merasa rindu. Ya, saat itu aku menelponnya, aku mendengar suaranya yang berat mengatakan "Abang lagi di kereta perjalanan mau ke Bandung."
Tidak ada yang salah. Aku pun tidak dapat menghentikan langkahnya. Yang aku rasakan saat itu adalah kehilangan. Tidak ada yang mengusiliku saat latihan, tidak ada yang menyebalkan, tidak ada dia.
Sebenarnya Karim tidak pergi lama. Hanya sekitar satu minggu saja tapi bagiku rasanya seperti bertahun-tahun. Tapi karena aku sudah biasa berantem, berdebat, dan ngomel-ngomel tidak jelas masalahnya hanya karena dia menyebalkan itulah yang membuatku merasa kehilangan. Kamu tidak bisa memulai cinta tapi kamu tahu kapan cinta itu datang. Saat kamu merasa kehilangan atas ketidakhadiran orang itu di dalam hidupmu, saat itulah kamu merasakan cinta.
Saat ini aku sedang mencoba untuk tidak mengusiknya. Kiki menyuruhku untuk tidak menghubunginya selama 1 bulan. Kemungkinannya jika dia sayang maka akan mencari kemana diriku hilang, kemungkinan lainnya adalah kita mungkin tidak akan bersama selamanya. Sangat mengerikan. Seperti mimpi buruk di siang bolong. Tapi aku harus bisa melakukannya. Jika berjodoh tidak akan pergi kemana...
Kini aku hanya bermain dengan kenangan. Memang tidak banyak kenanganku bersamanya. Namun cukup menyenangkan bagiku untuk mengingatnya kembali. Seperti saat aku dibonceng dengan vespa putihnya itu. Keusilannya tetap tidak hilang sedikitpun. Karim melaju dengan pelan di Jalan Ring Road Utara yang bergelombang. Aku sangat yakin dia ingin membuatku kesal. Tubuhku terguncang di sepanjang jalan. Aku mencoba menahan ocehanku sampai akhirnya aku sudah tidak sabar lagi dan dengan kesal berkata "Ada jalan yang bagus kenapa lewat sini. Itu loh jalannya bagus" sambil menunjuk sisi jalan yang tidak bergelombang.
Karim hanya tertawa.
Ingin sekali aku melingkarkan tanganku di perutnya. Pegangan. Tapi dia bukan siapa-siapa, bukan muhrim. Walaupun dia bilang "pegangan aja di baju abang."
Bukannya aku sok alim. Tapi aku berusaha sangat keras untuk bisa merubah gaya hidupku yang dulunya sangat bebas, tidak terhalang oleh aturan apapun. Karim sedikit banyak mengajarkanku hidup bebas dengan tetap menjalani agama dengan baik. Dan itu bekerja...
Sekarang aku sudah mulai memakai hijab walau belum sesuai dengan syariat, aku masih belum menutupi dada, dan terkadang rambutku masih berantakan kemana-mana. Hijab tidak menghalangiku melakukan apa pun. Aku pun sudah mulai menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Ya, walaupun masih sering bolong-bolong tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Sedikit demi sedikit kehidupanku berubah. Karim juga mengajarkan indahnya keluarga. Sebelumnya memang aku tidak begitu akrab dengan keluargaku. Sekarang aku bahkan sudah mau bicara dengan ayahku.
Karim sedikit banyak mengajariku walau tidak literally mengajari. Dia selalu menyisipkan pelajaran disetiap perkataan dan perbuatannya. Dan aku dengan polos menangkap semuanya. Terkadang aku tidak mengerti dengan setiap perkataannya. Seperti malam itu saat aku dan dia mencoba tempat baru yang sedang digandrungi remaja di Jogja, Pos Ketan.
"Abang disini duduk sebagai teman biasa atau teman hidup."
Hampir saja aku tersedak mendengar ucapannya. Aku yang gengsi dengan sigap mengatakan "Ya teman biasalah !!!"
Pernah juga sekali dia mengatakan "Kamu mau update di sosial media kamu kalau jalan sama abang silakan. Mau foto sekalian juga apa ?" dengan yakinnya dia bicara seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang menyebalkan sambil cengar-cengir.
Aku hanya bersandar di jendela mobil sambil mengotak-atik iphoneku dan menanggapi dengan malas "siapa juga yang mau sebar-sebar ????"
Karim selalu begitu. Terkadang aku tidak menanggapinya dengan serius. Terkadang aku juga memikirkannya berlarut-larut. Sangat menyebalkan !!!
YOU ARE READING
Ais : "I Don't Wanna Wait in Vain..."
ChickLitMenunggu sudah menjadi sahabat bagiku...