Tangannya yang putih itu mengelus lembut kepalaku. Aku lihat sekelilingku sangat ramai. Rumahku sangat ramai. Semua terlihat sedang mengangkat tangan memanjatkan doa. Aku lihat sosoknya di hadapanku memakai jas warna hitam. Sangat gagah. Sekujur tubuhku merinding. Aku menikah dengannya, dengan Karim. Aku memakai gaun berwarna putih yang sangat kontras dengan warna kulitku. Saat itu aku merasa sangat cantik. Aku sangat bahagia. Aku menangis bahagia...
"Ash-shalaatu khairum minan-nauum" kudengar suaranya berbisik di telingaku. Geli. Aku mendengar suaranya yang berat itu pada jam segini, subuh. Semua serasa seperti mimpi. Sampai saat ini aku masih belum percaya kalau aku sudah menikah dengan Karim.
Ku buka mataku sambil tersenyum. Aku memeluk gulingku yang berlapis sarung berwarna merah. Aku lihat sekelilingku, sofa kecil berwarna merah, jam dinding merah, tempat tidur ukuran 100x120 cm dengan sprei warna hitam, dan fotoku di dinding dengan frame hitam yang gagah itu. Tunggu !!! Ini kamar kosanku !
Benar saja, ini semua hanya mimpi.
Aku duduk mengumpulkan nyawaku. Ada rasa kecewa bercampur senang. Aku lantas mengambil air wudhu lalu bergegas shalat subuh.
Setelah shalat subuh aku kembali ke tempat tidur. Aku duduk berpangku tangan. Menghela nafas panjang. Dan kembali teringat kala itu aku pun sedang duduk berpangku tangan di atas tempat tidur rumah sakit....
Krriiiik....
"Ggggrrrrr,kenapa baru kasih tahu kalau sakit ??" Baru saja membuka pintu Hanasudah mengomel. Dia datang dengan wajah kesal tapi juga khawatir. Aku hanyatidak ingin mengganggu Hana yang sedang fokus dengan tugas akhirnya.Hari itu pun sejak pagi dia sudah standby di perpustakaan. Bagaimana bisa aku mengganggunya ? Aku hanya tersenyum melihat dia datang sambil mengomel.
Aku memang begitu. Sedikit tertutup, tidak hanya dengan sahabat-sahabatku saja tapi juga dengan keluargaku. Tumor yang dulu bersarang di tubuhku kini muncul lagi. Aku sudah terbiasa dengan tumor ini. Sampai saat ini tumor itu masih terbilang jinak. Tidak ada yang tahu penyakit ini muncul lagi setelah aku mendapat jadwal operasi. Aku santai saja...
Akudan Hana sudah siap di atas tempat tidur pasien yang kecil itu. Laptop diletakkan di atasmeja makan pasien, plus camilan yang sudah kami sediakan sebelumnya. Kami pun sudah dapatkan posisi enak. Baru sekitar 10 menitfilm dimulai iphoneku berdering. Aku pikir itu mama. Aku sudah tidakberniat mengangkatnya. Hari ini punmama sudah menelponku lebih dari 5 kali.
Hana mem-pause filmnya seraya mengambil iphoneku yang ku letakkan di atas meja.Aku tahu mungkin dia pikir telepon dari mamaku jadi dia berinisiatif mengambilnya. Diaterbelalak. Matanya yang bulat semakin bulat. Bibirnya pun ikut membulat. Akuhanya bingung dengan ekspresi yang dia tunjukkan. Kemudian dia menunjukkanlayar iphoneku. Karim...
Aku terdiam. Mataku yang juga bulat semakin membulat. Bibirku pun ikut membulat. Aku harus bagaimana ? Aku harus bilang apa ? Aku tidak memberi tahu dia mengenai ini. Aku memang upload gambar di Instagram tapi aku pikir dia tidak lihat karena dia tidak like atau comment. Aku masih saja terdiam sedangkan Hana sudah memberi isyarat untuk mengangkat telepon. Hana menggeser warna hijau ke kanan. Itu artinya telepon sudah terangkat. Dia melempar iphone tepat ke tanganku. Mau tidak mau aku harus bicara dengan Karim.
"Halo" Aku memastikan kalau suaraku terdengar santai.
"Sudah sampai mana dek ?" Nada suaranya terdengar seperti sedang tes kejujuran. Kebetulan hari ini anak-anak tari sedang perjalanan ke Blitar untuk mengisi acara.
"Sampai mana ya Bang ? Aku ga tau."
"Kok ga tau ? Kamu ga ikut ?"
"Hhhmmm. Ga Bang."
"Kok ga ikut ? Kamu dimana nih ?" dengan logatnya yang kental. Benar, ini benar tes kejujuran.
"Kamu dimana ?" Ulangnya lagi.
"Aku di Jogja Bang."
"Dimana ?"
"Rumah Sakit."
"Nah gitu dong jawab. Jangan bertele-tele. Sakit apa ?"
"Kok Abang tahu ?"
"Ya tahu lah. Orang kamu upload foto di IG. Sakit apa ?"
"Ga sakit Bang."
"Kok masuk rumah sakit kalau ga sakit ?"
"Operasi doang"
"Operasi apa ?"
"Hhhhhmmmmm ya operasi Bang."
"Okelah. Abang tahu." Ujarnya sok tahu. Pasti otaknya sampai deh kalau menyangkut hal-hal seperti ini. Heran.
"Jenguk dongg." Kataku menggoda.
"Menjenguk orang sakit itu pahala." Katanya.
Aku membuka mataku perlahan. Sangat berat. Sepertinya biusnya masih bekerja di tubuhku. Aku melihat samar-samar sosok lelaki berdiri di sebelah tempat tidur. Kulitnya putih. Aku berusaha keras membuka mataku. Aku pikir itu Karim. Aku ingin melihatnya. Setelah mataku fokus aku melihat sosok lelaki dan seorang wanita di sebelahnya. Aku terbelalak. Kemudian aku melemparkan senyum kepada keduanya. Mereka, ayah dan ibuku yang ternyata baru saja mendarat tadi pagi. Walaupun ternyata bukan Karim yang menjengukku, aku sudah cukup bahagia melihat kedua orangtuaku yang menyempatkan datang untuk menjengukku jauh-jauh dari pulau seberang...
YOU ARE READING
Ais : "I Don't Wanna Wait in Vain..."
ChickLitMenunggu sudah menjadi sahabat bagiku...