04. Desas-desus.

66.7K 3.6K 31
                                    

"Sejuta kebencian di dalam hati. Terselip satu harapan, semoga kelak ada kebahagiaan menghampiri."
__________Vanya__________

Ada hal yang sering kali dilupakan manusia. Bersyukur ketika mendapat sebuah keberuntungan. Kebanyakan dari mereka lebih sering mengeluh ketika merasa bahwa Tuhan tidak adil. Andai mereka bisa berpikir bahwa bisa saja Tuhan lelah. Setiap hari, berapa milyar hambanya yang mengeluhkan kisah hidupnya?Namun, berapa banyak manusia-manusia yang mengucap syukur atas rahmat yang telah diberikan olehnya? Sayangnya, sangat sedikit sekali.

Itu juga yang tengah dirasakan Vanya. Ketika sebuah musibah melandanya, ia baru tersadar. Kapan terakhir kali dia mengenakan mukenah? Kapan terakhir kali dia duduk di atas sajadah? Kapan terakhir kali tangan ini terangkat meminta pengampunan? Kapan terakhir kali bibir dan otaknya berpikir bahwa di atas sana Tuhan selalu memperhatikannya? Kapan terakhir kali dia bersujud, melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim?
Jawabannya, ia lupa.

Ia menengadahkan kedua tangannya ke hadapan wajah. Lelehan air mata antara rasa malu, menyesal, dan bersalah itu menjadi satu. Ia malu karena hanya mampu mengingat bahwa ia masih memiliki Tuhan sebagai tempat berkeluh kesah selain kedua orang tuanya. Yah.. Tuhan selalu diingat hambanya ketika mereka mendapat masalah. Namun, bukan berarti semua hambanya tidak patut bersyukur. Jika melihat kenyataan, persentase manusia yang bersyukur dan mengeluh, jelas lebih banyak ke bagian orang-orang dengan sejuta macam keluhannya. Ia menyesal akan kebodohannya yang begitu mudah mempercayai lidah setajam belati. Dan ia merasa bersalah karena kini Ayahnya harus terbaring tidak berdaya, menutup mata, entah sampai kapan?

Satu hal lagi yang harus dia tanggung. Segala cacian dan makian yang dilayangkan para tetangganya hampir setiap hari, membuatnya ingin menghilang saat ini juga. Menjauh sejauh mungkin dari hiruk-pikuk dunia yang terlihat begitu kejam. Terlalu banyak sandiwara yang dia temui. Sahabat yang seharusnya ada, justru pergi dan menghilang begitu saja. Laki-laki yang katanya mencintai malah tidak dia ketahui keberadaannya. Seharusnya Gerald di sini. Datang untuk mempertanggung jawabkan semuanya.

Vanya teringat beberapa cacian yang dilayangkan tetangga untuknya sore tadi.

"Tuh, lihat! Di luar aja kelihatan baik-baik. Ujung-ujungnya kecolongan juga, kan?"

"Adeuh! Gak nyangka banget ya? Vanya yang alim kok bisa sampe hamil duluan?"

"Mending anak saya yang udah kelihatan nakal, tapi masih bisa jaga diri."

Vanya tahu, ketika satu-satunya yang paling berharga telah hilang, sama saja dia kehilangan seluruh hidupnya. Rasanya sangat tidak adil ketika dia yang melakukan kesalahan, namun kedua orang tuanya justru ikut terkena imbasnya.

"Ya Allah, aku pasrahkan segala apa yang telah engkau gariskan terhadap kehidupanku. Namun aku hanya meminta, kuatkan aku, kuatkan aku untuk tetap bertahan demi dia." Vanya menyentuh permukaan perutnya yang masih datar. Merabanya seakan menyalurkan rasa sayangnya. Dia harus kuat demi calon anaknya.

Dia harus bisa menjadi calon Ibu yang baik. Dia tidak ingin jahat seperti Ibu-ibu muda yang lain. Di mana kebanyakan mereka justru memilih menggugurkan kandungannya. Entah itu akibat paksaan orang tua, entah itu karen kekasih mereka yang tidak mau bertanggung jawab, atau sekadar karena merasa bahwa anak yang mereka kandung adalah aib. Sesungguhnya, anak adalah titipan. Banyak diluaran sana yang mendambakan seorang anak. Mereka bersusah payah menempuh jalan untuk mendapatkan keturunan. Tapi, mengapa justru semakin marak saja kasus pembuangan bayi? Vanya tidak mau masuk ke dalam deretan manusia tak memiliki hati. Dia berjanji akan mempertahankan anaknya sekuat tenaga.

Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dari arah pintu utamanya.

'Tok..tok..

Vanya menyudahi do'anya, melepas mukenah miliknya dan berjalan sedikit berlari menuju pintu untuk melihat siapa yang datang.

"Assalamualaikum?"

"Wa'alaikumsalam," jawab Vanya sambil membuka pintu rumahnya. Sejenak, dia terpaku pada punggung kokoh pria di hadapannya yang tengah membelakanginya. "Siapa?" Pria itu membalikan badan, membuat Vanya tidak percaya.

"Kak Dino?"

Dino hanya mengangguk dan menyerahkan plastik yang dibawanya kepada Vanya. "Itu susu buat Ibu hamil. Aku tidak tahu mana yang cocok. Jadi, aku putuskan membeli semua merk yang ada di minimarket depan."

Vanya mengintip sedikit isi plastik itu. Benar. Ada banyak kardus susu dengan berbagai merk, susu khusus untuk ibu hamil.

"Kalau begitu, aku permisi."

Belum sempat Vanya mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu sudah lebih dulu pergi menjauh dan masuk ke dalam mobilnya. Setelah mobil Dino pergi, ada beberapa warga yang melihatnya. Mereka nampak berbisik-bisik membicarakan dirinya.

Vanya hanya bisa berusaha menulikan telinganya. Sebanyak-banyaknya mengucap 'istighfar'.
Ia pun masuk ke dalam rumah dan menaruh plastik itu ke atas meja makan.

Ada sekitar 5 kardus susu dengan berbeda merk. Ia mengeluarkannya satu persatu. Lalu, tangannya terhenti, memikirkan sosok Dino yang aneh. Kemarin, dia melihat Dino yang berwajah dingin. Dan kini, laki-laki itu juga muncul dengan wajah yang sama. Tidak pernah menampilkan senyum, tidak juga banyak berkata. Namun, Vanya menyadari seberapa pedulinya laki-laki itu terhadap kandungannya. Mungkin, ini semua karena dia tengah mengandung anak adiknya, yang tak lain adalah calon keponakannya.


Vanya hanya bisa mensyukuri, setidaknya masih ada satu orang yang peduli dari keluarga Ayah anak yang sedang dikandungnya ini.

*******

Dino tidak tahu bahwa ucapannya kemarin membuatnya seperti dibebani sebuah tanggung jawab besar terhadap seorang gadis asing yang tiba-tiba hadir di kehidupannya.

Vanya. Dia hanya tahu sebatas nama kecil gadis itu—tidak lebih. Kemarin adalah pertemuan pertama mereka. Entah ada angin apa, otaknya tiba-tiba memikirkan untuk pergi menuju minimarket dan membeli susu khusus ibu hamil.

Dia yang selama ini tidak pernah peduli dengan orang asing, mendadak berubah. Ada kekhawatiran yang mengisi relung hatinya. Bagaimana nasib gadis itu dan anak yang tengah dikandungnya?

"Udah, Pak. Enggak usah keseringan ngelamun. Entar jumlah saham hilang, mampus deh." Rizky—assisten—sekaligus sahabatnya itu melemparkan Map berwarna biru muda ke hadapannya. "Itu laporan saham bulan lalu." Dino membuka Map tersebut dan hanya membacanya sekilas, sebelum dia menutup dan menyimpannya.

"Ada masalah?" tanya Rizky—paham akan raut wajah kusut yang ditampilkan Dino.

"Gue butuh bantuan, Lo."

Unwanted Wedding (Part Sudah Tidak Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang