Puzzle

30 3 0
                                    

Himawari begitu sederhana, begitu biasa, begitu tidak spesial. Namun apa yang terlihat biasa tentangnya di mata orang lain, begitu luar biasa di mataku.

Dia kuat tapi rapuh, ceria namun senang menyendiri, keras kepala tapi mudah tersentuh. Sifat-sifatnya yang kontradiktif seperti kepingan puzzle yang harus aku selesaikan demi bisa memahaminya utuh.

Jika harus kususun satu persatu kepingan puzzle itu dari seribu keping yang terserak, maka aku tak akan keberatan. Bahkan jika beberapa kepingnya Himawari sembunyikan jauh di lubuk hatinya.

Aku tidak keberatan kalau harus menyelam, menggali, bahkan mendaki.

Lalu akan kususun setiap bagian itu sampai menjadi kesatuan. Karena aku mencintainya.

.

.

Seperti malam-malam sebelumnya, aku duduk di sudut bar, menikmati cocktail yang terasa masam.

Himawari menerawang kepada udara sebelum sebuah kalimat sedih keluar dari bibirnya. Seperti malam-malam lalu, denting gitar mengawalinya sebelum setiap bait puisi dilantunkan. Seperti yang sudah-sudah, aku terpaku. Mencoba menerka makna dari setiap bahasa tubuhnya di panggung. Mencoba memahami setiap makna dari setiap tepuk tangan.

Namun aku tak mampu.

Aku hanya seorang Azrael. Sosok praktis dan taktis yang selamanya kesulitan menemukan keping terakhir dalam diri Himawari. Sampai sosok itu turun panggung, aku hanya bisa tercenung, tak mengerti.

Himawari benar. Kami berdua seumpama alien dan makhluk bumi.

.

Himawari menyukai puisi. Aku tidak.

Himawari begitu sederhana, sedangkan aku sempurna.

Ini yang membuat garis takdir kami sulit bersinggungan. Sekeras apa pun aku berusaha dengan datang setiap hari demi memahami setiap bait puisi yang Himawri bacakan.

"Kau keras kepala, sensitif, penyendiri, dan rumit."

"Kau tampan, kaya, hidupmu sempurna sekaligus membosankan."

"Kenapa kau begitu menyukai puisi?"

"Kenapa kau punya segalanya?"

"Aku tidak pernah meminta semua yang kumiliki."

"Karena dengan puisi aku bisa menyampaikan makna tanpa harus menjelaskan."

Aku terdiam. Kalau begitu, adakah bait puisi yang bisa memaknai perasaan ini?

Manik mata gadis jepang itu berpendar sedih. Ia lalu berbisik lewat suaranya. "Azrael, kita begitu berbeda..."

.

.

Kami berbicara dalam bahasa yang berbeda.

Himawari berbahasa puisi dan aku bahasa monokromatik yang tidak seru dan membosankan.

Himawari adalah pencinta ide-ide, kebebasan, dan dinamitas.

Aku adalah definisi dari rigid, keterkekangan, dan stagnansi.

.

.

Namun kami saling mencintai.

Setiap kali aku tenggelam dalam kedalaman bola mata Himawari, anganku mengembara pada ke mana aku harus mencari kepingan puzzle terakhir. Setiap aku memeluknya, timbul ketakutan jika suatu hari dia akan menagih kepingan puzzle terakhir yang masih belum kutemukan. Kepingan terakhir yang membuatku gagal memahaminya secara utuh. Kekhawatiran jika Himawari akan meninggalkanku.

"Kau adalah kepingan yang terakhir itu Azrael," bisiknya pada malam ketika napas kami bersatu, "kau adalah inspirasi dari semua puisi."

Terjawablah pertanyaanku selama ini. Telah jauh aku mencari namun ternyata itu berada begitu dekat hingga tak nampak mata.

Kami memang berbeda.

Seperti tepian sebuah puzzle, bentuknya harus berbeda agar satu bagian bisa melengkapi bagian lainnya.

Dengan jarinya yang halus, Himawari menyentuh tempat di mana hatiku berada. Kepingan terakhir itu ada padaku. Aku adalah penyempurna.

Cerpen Dan Puisi- DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang