Just friend, yeah?

68 3 0
                                    


casts : Seventeen’s Wen Junhui. Seventeen’s Kim Mingyu & Oc's Minji Kim|
genre : AU, Angst, Friendship, Hurt |rate Teen|

[SINOPSIS] Berawal dari ketidakpekaan seorang Minji terhadap sahabatnya, Wen Junhui. Membuat Jun harus terus menerus menahan rasa yang selama ini ia simpan. Rasa yang entah sejak kapan menyentuh relung solar plexus kepunyaannya. Sampai kapankah Jun harus menahan itu semua?
P.s : I’m so thankful for Davichi-who inspired me to write this fanfiction. Happy enjoy it, chingudeul. MUST BE FOCUS, the plot is not arranged.
Davichi-Cry Again

**
Please stop your tears-
Minji masih tetap disana, memandang Sungai Han dengan buliran kristalnya. Gadis ini rupanya tidak bisa lagi menahan sesak yang menerpa dirinya. Lagi-lagi Minji harus menangisi pria sialan itu. Namun, apa daya jika Cinta lebih memilih untuk bertahan. Bodohnya, solar plexus yang dimiliki Minji begitu kuat menahan semua beban itu, membiarkan dirinya terluka oleh kebodohan karena mencintai pria itu.
.
“Mingyu.” ucapnya lirih. Pria itu sama sekali tak menoleh bahkan bergeming oleh lirihan Minji. Ya, pria itu adalah Mingyu, Kim Mingyu. Pria yang telah mengucap janji untuk segera menikahi Minji lewat acara pertunangan yang diselenggarakan beberapa bulan lalu.
“Mingyu, kumohon jangan membatalkan ini semua,” Minji benar-benar harus merajuk kepada Mingyu. Entah mengapa, akhir-akhir ini Mingyu seperti tidak bersemangat. Padahal 3 bulan lagi, mereka akan mengucapkan janji suci di altar yang sudah disiapkan oleh Wedding Organizer kepunyaan Jun, sahabatnya.
Minji berlari kecil, sembari merapatkan mantelnya. Sial, hari ini suhunya benar-benar dibawah nol derajat. Seakan mendramatisir keadaan mereka berdua. Minji menarik lengan kekar Mingyu paksa. Agar Mingyu menatap matanya sekaligus menjawab pertanyaannya.
Namun, sayang Mingyu menepisnya, “Sudah kubilang untuk tidak mengikutiku, Minji”. Minji tersentak. Mengapa ini semua begitu rumit saat pada puncak kebahagiaannya?. Mingyu dengan dinginnya, meninggalkan Minji sendirian di Sungai Han.
Terlihat dari kejauhan, seorang pria mengamati sikap Mingyu dan Minji. Hatinya merasa iba, tetapi menusuk. Pria itu menggosokkan kedua tangannya pelan seraya berkata, “Minji, bukankah aku sudah memberitahumu untuk tidak menangis kembali? Kau benar-benar bodoh Nona Kim. Please stop your tears, I don’t like it ”
I still love him-
-Listen to me, you bad break up
Yang ia pikirkan sekarang, Ia harus mengejar Mingyu sebisa mungkin. Mengejar cinta yang kini diujung tanduk. Minji berusaha untuk menggenggam tangan Mingyu yang terselip di saku mantelnya. Lagi-lagi pria berperawakan tinggi itu, menepis semua perlakuan Minji. Mengapa pria ini begitu tak ingin kehadiran Minji di dekatnya?
“Mingyu, Bisakah kita akhiri pertengkaran dingin ini? Aku sudah lelah,” rajuk Minji dengan menahan semua buliran yang mendesak ingin keluar. Mingyu menoleh, lalu menghampiri tempat berdiamnya Minji.
Mingyu memasukkan tangannya ke saku mantel, seperti mencari sesuatu yang layak digenggam. Dan memang benar, Mingyu mengeluarkan sesuatu,“Ini yang kau mau, kan? Sebentar, kau tadi berucap lelah? Memangnya aku bahagia bersamamu?. Kita akhiri saja disini, Nona Kim yang sangat egois,” ucapnya sembari melemparkan sebuah kalung yang berisikan photo dirinya dan Minji. Minji menatap kalung itu sedih, entah sejak kapan air matanya menembus benteng yang ia jaga ketat. Mingyu masih didepannya, namun tak ada sama sekali rasa bersalah atau iba melihat kalung kaca yang kini telah retak.
“Tak usah mencariku lagi,” katanya sembari meninggalkan Minji yang tengah menatap kosong kalung pemberiannya. Mengapa bisa Mingyu memutuskannya secepat ini?. Alih-alih menatap kalung, Minji menegakkan pandangannya dan memandang sendu punggung pria yang sangat ia cintai.
Saat ia ingin meraih kalung itu, tiba-tiba seorang pria dengan mantel krem mengambilnya terlebih dahulu. Menarik lengan Minji dan memberikan kalung itu dengan lembut seraya berkata, “Stop, stop crying. Bukankah dulu aku telah memperingatkan kamu untuk tidak menangis? Mengapa kau sangat nakal?" kesal Jun sembari mengeratkan genggaman yang sedari tadi terus berdiam. Lalu, dengan irama selambat mungkin, Jun menempatkan kedua tangannya di pipi Minji. "Dengarkan, kau benar-benar berpisah dengan buruk, jika kau menampakkan airmata ini di depan Mingyu,". Kini kedua tangan Jun beralih ke bagian bawah mata Minji, menghapus beberapa buliran sebesar biji jagung.
"Masih ada banyak hal yang kusampaikan kepadanya. Aku benar-benar mencintainya, Jun," tangisnya dengan menggenggam kalung yang baru saja dijatuhkan oleh tunangannya.
Jun hanya bisa melihatnya iba. Mengapa kejadian ini serasa deja vu yang membuat dada Jun sesak kala itu. Oh ayolah, Mingyu t'lah melakukannya berulang-ulang kepada Minji. Tapi tetap saja, mengapa Minji tak pernah bisa menghapus nama 'brengsek' itu dari ingatannya?. Mengapa ia tak pernah bisa untuk melihat sisi orang lain yang jauh menyayanginya ketimbang Mingyu?
Yang bisa Jun lakukan hanyalah merangkul tubuh gadis itu dan menenggelamkannya di dada bidang milik Jun sendiri. Memang benar, keadaan yang Jun rasakan adalah senang campur sesak. Dadanya membuncah tak karuan. Rasanya ingin meledak menjadi buliran pasir .
"뚝 그만 울라니까 (ttuk geuman ullanikka), berhentilah menangis." Ucap Jun sembari mengelus pelan pucuk kepala Minji agar ia sedikit merasakan ketenangan.
Beberapa menit kemudian, Minji melepaskan rangkulan yang sedari tadi menghangatkan hatinya. Gadis itu mendongkak pelan, menatap manik biru kepunyaan pria bermarga Wen di depannya.
"Namun, aku harus tetap mengejarnya. Terserah, jika ia akan mengabaikanku. Aku harus pergi," katanya sembari meninggalkan Jun sendiri. Jun menatap iba punggung itu. Punggung yang dahulu slalu bersandar di punggungnya. Kini, lebih memilih yang lain. Dan mungkin, akan pergi selamanya. Takkan pernah singgah kembali.
"Go, please go. But leave him. I don't like your tears,"
--
-Stop trying so hard for people who don't care
-
Minji masih tetap disana, menikmati pemandangan kota Seoul diatas atap sekolah. Untung saja hari ini tidak ada KBM, karena ujian akhir semester sudah berakhir. Semua siswa tentunya sangat senang, bisa terlepas dari siksaan maut yang menatap mereka selama 1 minggu lamanya. Yang ada saat ini hanyalah, aktivitas PORSENI yang diadakan oleh para sebas SMU Gangnam dengan alasan untuk memperkuat kerja sama dan solidaritas para anggota kelas juga dengan para tetangganya.
Tetapi berbeda dengan Minji. Lingkaran tepat dibawah matanya, menjelaskan bahwa dirinya sedang dalam keadaan tidak baik bahkan mencapai titik terburuk dalam citra Minji selama ini. Gadis berusia 16 tahun itu masih saja menatap hamparan gedung-gedung tinggi di depannya, sesekali ia hanya menghela nafas kasar dan bergumam.
30 menit. Minji berada di atap sekolah. Padahal kemarin tim bola voli kelas yang dikapten-i olehnya menang melawan musuh bebuyutan, kakak kelas yang selalu menyanding predikat TIM BOLA VOLI TERBAIK, kini jatuh ke tangan mereka dengan cepat. Bukankah seharusnya Minji bersenang hati? Atau memang keadaan itu justru membuat Minji kecewa?
“Kim Minji? Sudah bisa kutebak, pasti kau sedang kecewa dengan seseorang? Betul, kan?” Sapa seorang pria yang spontan membuat Minji membalikkan tubuhnya. Karena ia tahu, suara itu adalah suara sahabat lamanya—Wen Junhui.
“Eoh, Jun? Pergilah sana. Aku sedang tak mau diganggu untuk saat ini,” Rajuk Minji agar Jun segera pergi meninggalkannya sendirian.
“Oh, ayoolah. Bukankah aku ini adalah sahabatmu dari saat kita berdua masih dalam kandungan ibu kita masing-masing?” Kini Jun yang merajuk. Membuat lelucon agar Minji bisa menceritakan semua yang terjadi pada dirinya.
Tak ada respon sedikitpun yang ditunjukkan oleh Minji. Gadis itu masih saja menatap kosong ke arah depannya, seolah tak merasa bahwa ada kehadiran Jun di sampingnya.
Jun menghela nafasnya kasar, ia duduk dan mensejajarkan dudukannya dengan Minji. Bergeser sedikit untuk memperdekat jarak antara mereka.
“Apa ini gara-gara Mingyu?” Lirih Jun tanpa melihat ekspresi Minji.
“Eum.” Jawab Minji singkat.
“Sini, mendekatlah padaku Ny. Kim. Aku siap untuk menyediakan pundakku, jika itu bisa meluapkan semua perasaanmu.” Jelas Jun sembari menepukkan pundak kanannya untuk Minji. Minji tersenyum simpul, tak lama tangan Jun memegang kepala Minji pelan dan mendorongnya untuk singgah dan tinggal di pundaknya.
Untuk beberapa menit setelahnya, Minji hanya menatap datar, meskipun bendungan yang ia tampung, sudah mendesak ingin cepat-cepat keluar, menerobos benteng pertahanan yang Minji buat. Tetapi, kekuatan itu nyaris membunuh Minji, mau tak mau tetesan demi tetesan mengalir membuat sungai kecil di pipi tirusnya.
Jun menatapnya iba, gadis tomboi yang ia kenal sejak kecil itu, tenyata memiliki hati yang begitu rapuh seperti ini.
Tangisan itu semakin keras dan menggema. Jun juga semakin mengeratkan rangkulan lengan kanannya di pinggang Minji. Agar Minji tak kehilangan keseimbangannya. Sedangkan, lengan kirinya ia pakai untuk mengelus tangan Minji.
“Jika kau mau, kau bisa memukul dadaku untuk pelampiasanmu. Sekeras apapun itu,” Ucap Jun datar.
Entah apa gerangan, Minji menuruti ucapan Jun tadi. Dirinya mengenyampingkan badannya sehingga berhadapan dengan Jun. Manik mata Minji langsung tertuju pada kornea mata Jun, seolah meminta izin untuk memukulnya. Ia sudah tak kuat lagi, menahannya.
“KYAA!!” Satu pukulan keras berhasil tertanam di dada bidang Jun. Tak hanya satu kali tapi beberapa kali ia melayangkan pukulannya tepat di dada Jun. Jun menutup matanya paksa, ini untuk menetralisir rasa sakit yang mendera dadanya. Ini tak sebanding dengan apa yang Jun setiap hari rasakan.
“Luapkan saja, Kim Minji... Jika itu membuatmu sedikit lega. Pukul aku lebih keras!” Teriak Jun disela-sela layangan pukulan Minji di dadanya.
Mendengar pernyataan itu, Minji berhenti seketika. Menenggelamkan wajahnya dalam dada Jun. Tangisan yang sedari ia tahan kini muncul di permukaan kembali.
“아파여 (Apayeo), sakit Jun.” Lirih Minji pelan.
“Mingyu memutuskan hubungan kami yang kau tahu sendiri kan sudah berusia 1 tahun? Hanya karena si Lalice, adik kelas yang baru satu bulan ia kenal. Aku tak menyangka ini semua bisa terjadi, Jun.”
“Biarkanlah Minji, jika itu memang takdir Tuhan, bagaimana?” Tanya Jun selidik.
“...Tetapi, Aku masih mencintainya” Lanjut Minji datar dengan menatap Jun dalam-dalam.
“Aku akan berusaha untuk mengembalikan kebahagiaanmu. Maka dari itu, please don’t cry again like this,” Senyum Jun seraya memegang kedua pundak Minji berusaha juga untuk meyakinkan bahwa Jun akan mendukungnya, apapun yang terjadi. Asal Minji bahagia pun itu cukup bagi Jun. “I want to have your smile,” Goda Jun yang direspon oleh deathglare dari Minji. Kata-kata itu seakan ajaib, Minji tersenyum, berhenti menangis dan akhirnya ia bisa tertawa. Bersama Jun.
“If you want to have my smile, catch me if you can. Blweh~” Minji segera bangkit dan mengambil kuda-kuda untuk berlari.
Mereka berdua akhirnya kejar-kejaran layaknya sebuah film cartoon Tom & Jerry show. Jun berhenti sejenak, memerhatikan dengan seksama punggung tegap Minji. Gadis yang ia sayangi sejak lama, telah beranjak dewasa. Mungkin, ini bukan waktu yang tepat untuk semuanya. Semua yang disembunyikan oleh Jun. Sebuah perasaan yang aneh muncul dari sosok Jun kepada Minji. Perasaan itu tiba-tiba mendesir di dalam saraf motoriknya. Begitu menggelitik, namun dibalik itupun terselip secuil rasa bahagia yang begitu--ah, entahlah.
“Jun!”
“에욯 (eoh)?”
“너무 사랑해요 (neomu saranghaeyo) , Aku sangat mencintaimu,"
“나또 (nado), Aku juga”
“But that's a lie. Hahaha”
---
Jun masih saja diam tak bergeming. Sesekali ia memegang dadanya yang sepertinya terasa sangat sesak. Entah sejak kapan, Cerrebrum nya memutar bagian itu. Bagian deja vu yang menyayat. Layaknya hari ini. Bahkan entah mengapa deja vu itu terus berlanjut?. Saat itu, saat SMA, 10 tahun lalu- setelah putus dengan Mingyu, Minji semakin erat dengan Jun. Banyak orang mencibir bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Namun, tak ada satupun dari mereka mengklarifikasikan rumor tersebut.
Perasaan Jun masih tetap sama seperti dahulu. Tak ada yang berubah. Ia melihat sisi Minji. Tak ada satupun yang menunjukkan bahwa ia juga menyukai Jun. Bertepuk sebelah tangan, yaa?
-Do you see me?
Just friend-
Suatu hari di musim panas yang cerah. Kejadian pilu yang dialami baik Minji maupun Jun saat SMA sudah berupa kenangan yang ditimbun tanah sejak 5 tahun lalu. Selama lima tahun itu, Minji tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Ia hanya sibuk dengan karirnya sebagai penulis skenario drama di salah satu channel swasta di Korea. Ia juga hanya dekat dengan Jun saja.
"Perkenalkan di sebelahku, Wen Junhui-sahabat special yang slalu ada dan menginspirasi setiap tulisanku . Aku sangat berterima kasih kepada Jun. Aku tidak tahu bagaimana jadinya , jika pria special ini tidak ada di sampingku," ujarnya saat melakukan konferensi pers perihal skenario drama yang berhasil melejit di pasaran.
Jun tidak menyangka bahwa Minji akan memperlakukannya seperti ini . Secara tidak langsung, Jun menganggap Minji memberikan harapan yang lebih. Kata special yang Minji sebutkan terus saja menghantui pikiran Jun. Sampai ia dikejutkan oleh tepukan pipi dari tangan Minji.
"Yak!, Sapalah mereka Jun,"
"Ohh. 안녕하세요 (Annyeonghaseyo), hai." Gugup Jun seraya melambaikan tangannya kepada pers.
"Okey, apa ada pertanyaan?" Tanya moderator . Kemudian tak berselang lama, ada yang mengacungkan tangannya. Moderator dengan sigap mempersilahkan orang tersebut untuk bertanya.
"Izin bertanya. Saya dari Nation Magazine ingin bertanya, apakah kalian berdua memiliki hubungan yang sangat dekat?"
Minji tersenyum malu, "Eum, kami memang sangat dekat,". Jun menoleh, berbeda dengan ekspresi Minji, Jun menampakkan wajah bingung.
"Apakah kalian sepasang kekasih?" Tanya orang tersebut lagi.
Jun tersentak. Namun, Minji membalasnya dengan santai, "Eum, sorry. It's my private,"
'apakah kau mulai melihat sisiku?-Jun
---
"Hahh, akhirnya selesai juga."
"Ini tehmu, tuan putri."
Minji tertawa bebas, mendengar sebutan yang diucapkan oleh Jun. semoga saja ini akan terus berlangsung- Jun.
Minji mengambil teh dan membaca sebuah majalah. Namun, tiba-tiba Minji menyemburkan seruputannya. Lalu tertawa. "Hey, Minji. Kau kerasukan?". Minji menyerahkan majalahnya. Tanpa berkata-kata , karena sibuk memegang perutnya yang sakit oleh tawanya.
'Minji Kim-seorang penulis sukses memiliki teman Special? '.Disitu tertera judul yang sontak mengingatkan Jun soal jumpa pers, kemarin sore.
"Padahal kita memang hanya sahabatan yaa, Jun." Ucap Minji sembari menahan gelak tawa yang disinyalir akan keluar kembali. “Mereka hanya mendramatisir ekspresiku kemarin.” lanjut Minji sembari melenggang pergi menuju dapur.
-Oh hanya sahabat ya?
---
Sore ini. Minji mengajak Jun untuk berjalan-jalan di NSeoul Tower. Katanya, ia butuh me-refresh diri setelah menyelesaikan naskah skenario untuk tayang minggu depan. Jun menatap punggung gadis itu sendu. Sampai kapankah ia harus menyimpan perasaan yang semakin lama semakin memuncak. Ia tahu, Minji hanya menganggapnya sahabat. Namun, bisa jadi kan, jika Jun menyatakan perasaannya sekarang mengubah perasaan Minji kepadanya.
“Okay. Hari ini aku akan menyatakannya.” Saat Jun mengejar ketertinggalannya, dengan terburu-buru. Jun mengendus jejak Minji dengan sumringah. Namun, bukannya Minji seorang yang ia dapati. Manik birunya menangkap Minji tengah dipeluk oleh pria berperawakan tinggi dengan kulit yang tidak terlalu terang. Langkah Jun terhenti percuma. Mawar yang ia genggam terjatuh menembus ubin. Hancur berkepin-keping seperti hatinya, kini. Mengapa pria itu datang pada saat yang tidak tepat?. Disaat Jun akan mengeluarkan perasaannya ke permukaan.
Jun menatap dua insan itu dengan sendu. Lengkungan bibir Minji terukir, menampakkan bahwa ia senang akan kehadiran pria itu kembali. Mereka bercakap-cakap cukup lama. Menyisakan kesenjangan yang Jun rasakan. Pria itu memeluk Minji untuk kesekian kalinya. It’s no fine, babe. Jun menghela nafas kasar, menguatkan diri agar ia bisa menahan perasaannya lebih lama-lagi.
“Hello, brother. Darimana saja kau?” ucap Jun dengan senyuman tegar seperti biasanya. Dua insan itu menoleh dengan wajah sumringah. Jun berjalan sembari menatap genggaman dua tangan yang saling terpaut itu. Ia menghela nafas berat-lagi.
“Jun, kami berbaikan. Kami akan menjalin hubungan kembali,” seru Minji yang disambut oleh senyuman pria disampingnya juga. “It’s so fine,Terimakasih sudah menjaga kekasihku, selama ini.” jawab pria itu menepuk pundak Jun.
“Selamat atas hubungam kalian. Awas, jika kau melukai lagi Minji-ku,” canda Jun berusaha untuk memberi semangat kepada hatinya untuk tegar. Lagi-lagi ia harus melakukan acting untuk menutupi kepedihan diatas kebahagiaan orang lain.
“Makanya cepat punya pacar dong, Jun. Agar kita bisa melakukan double date.” ucap Minji dengan mengeratkan genggamannya pada pria itu. “Yo-i, sob. Aku setuju dengan Minji-calon istri Kim Mingyu kelak, hahaha.” sambung Mingyu yang diselingi cubitan pinggang manja yang dilakukan Minji.
Haruskah aku berpura-pura bahwa orang yang kusukai adalah kau, Minji? - Jun.
---
-So, please stop cry
Pria itu berlari sangat kencang. Maniknya terus berbelanja, mencari seseorang yang sangat ia sayangi. Bagaimanapun juga meskipun ini akan menyayat hati, ia harus mendukung pilihan gadis itu. Kini langkahnya melambat, senyumnya pun terukir. Gadis itu kini ada di bidikan matanya.
“Minji, berhentilah menangis.” ucap pria bermarga Wen itu.
“Aku harus mengejarnya. Aku harus....Jun,” Belum juga Jun sempat menggapainya. Minji belari kembali mengejar Mingyu yang sekarang entah ada dimana. Jun menghela nafasnya kasar, memulai ancang-ancang untuk menahan Minji agar tak mengejar pria brengsek itu. Namun, bukannya menurut. Minji menangkis ajakan Jun dan berlari kembali.
Akhirnya Minji sampai di tempat Mingyu berada. Minji berlari kecil, lalu menggapai tangan Mingyu lembut. Memberikan kalung yang tadi Mingyu jatuhkan. Namun, tak disangka Mingyu menjatuhkannya lagi, dan yang lebih parahnya, ia menjatuhkan kalung itu tepat di atas bara api. Minji menutup mulutnya tak percaya. Matanya pun tak lepas dari bara api itu. Lalu, keheningan terjadi diantara mereka semua. Jun juga hanya berdiam di belakang seolah tak ingin ikut campur dalam permasalahan mereka. Ia hanya menatap iba. Jun dengan tidak sengaja menggerakkan tangannya dan diikuti oleh gerakan Minji untuk menggapai pundak Mingyu. Setelah itu, Minji memutar balikkan badan Mingyu paksa dan merangkulnya sekuat yang ia bisa. Mingyu yang mendapat perlakuan itu, hanya diam dalam kepasrahan.
“Aku mencintaimu Mingyu. Sungguh aku mencintaimu,” lirih Minji dalam dekapan yang semakin lama semakin erat. Mingyu hanya diam, lengannya pun tak menggapai pinggang Minji seperti biasanya. Mingyu mendorong tubuh Minji pelan, ia menatap manik hazel kepunyaan Minji. Lalu, ia menggenggam tangan Minji erat.
“Aku juga mencintaimu. Namun, aku tak bisa melanjutkan hubungan ini. Maafkan aku yang brengsek ini,” ujar Mingyu dan meninggalkan Minji di tengah keheningan senja yang manis ini. Minji membuka genggamannya, ia mendapati cincin yang seharusnya berada di kelingking Mingyu.
Jun yang melihat itu, langsung berlari kecil menggapai tubuh Minji yang melemas. Memeluknya, memberikan sedikit tenaga untuk berdiri. Ia tahu itu sangat sakit. Namun, Jun tahu semua alasan itu, mengapa Mingyu mengakhiri hubungannya dengan Minji. Demi, wanita lain. Ia akan menutupnya rapat-rapat. Karena lagi-lagi ia tahu, itu akan terasa menyayat hati sahabatnya.
“Jun, ini sangat sakit. Lebih sakit saat melihat ia bersama wanita lain,”
“From now, stop trying so hard for people who don’t care,”
Lagi-lagi Jun harus menutup keinginannya untuk mengungkapkan perasaan. Ini bukan waktu yang tepat. Ia harus menunggu beberapa waktu lagi, agar luka Minji sedikit tertutup. Karena ia tahu, Minji pasti akan menutup hatinya untuk beberapa tahun kemudian, seperti dahulu.
Apakah Minji peka terhadap perlakuan Jun selama ini?
Jawabannya, tidak.
Atau Jun yang terlalu berbakat untuk menyembunyikan semua rasa yang ia rasakan sejak dahulu, sekarang atau bahkan untuk seterusnya?
Lagipula Jun tak mengharapkan Minji untuk peka terhadap perasaannya selama ini. Karena, itu semua cukup. Lebih cukup disaat melihat Minji tersenyum, tertawa dan ceria pun itu cukup bagi Jun. Malah sebuah tawa khasnya itu ia anggap sebagai hadiah spesial dari Tuhan. Maka, suatu kebahagiaan yang Minji dapatkan akan berakibat pada Jun, meskipun pada akhirnya Minji tak layak untuk bersamanya.
Jun merasa bahwa perasaan manusiawinya itu tidak penting, terlebih lebih penting untuk mempertahankan rasa solidaritasnya sebagai sahabat dari kecil agar bisa mendukung pilihan terbaik Minji, meskipun itupun merelakan perasaannya.
**Finish**

FF KPOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang