Hiruk pikuk orang menjajakan dagangan sepanjang jalan. Dia pernah singgah di sana berkali-kali. Kacamata rindunya masih sama. Hatinya masih sama. Dia duduk di sembarang tempat. Di dekat pengamen tembang kenangan, dia mengenang pula. Dia menengadah ke langit. Dan langit kota barunya masih sama.
Semilir. Angin berembus malam itu menemani kesendiriannya dalam keramaian. Tongkat cita-cita telah ia tancapkan dalam-dalam di kota itu dengan dalih menuruti perintah orang-orang terpilih dari Tuhan. Ke mana rindunya jika ia tidak pulang dan menepi? Di mana dia mencari rindunya ketika pulang adalah tabu?
Dia sempat berkata "aku ingin pulang saja". Bukantah kotamu ramai pelajar elok-elok, pandai kata, silat lidah, dan cerdik cendekia lain-lainnya? Bukankah kata orang kita akan serupa dengan bagaimana teman-teman kita?
Mulailah dengan titik paling enol. Kilometer paling enol. Pengetahuan paling enol.
Langit kotamu. Hingga suatu saat aku ingin merasakan pilar-pilar kotamu yang banyak diinginkan orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Pencecah Bumi
PoetryHidup ini seperti roller coaster. Bukan karena naik dan turunnya. Tapi karena selalu ada kejutan di tiap perjalanannya. Sama sepertimu, selalu memberiku kejutan setiap waktu.