°Damara

45 5 1
                                    

People think dreams aren't real just because they aren't made of matter, of particles. Dreams are real. But they are made of viewpoints, of images, of memories and puns and lost hopes.

-Neil Gaiman

Rintik-rintik air mulai kerap, memerintah Damara untuk melangkah lebih cepat. Dengan sepotong daun pisang yang ia dapat dari Andi, gadis itu meluncur cepat sambil merangkul buku-buku berhitung baru.

Sepulang dari Rumah Kertas, gadis itu segera pergi ke toko buku bekas tua milik Pak Danto. Mengingat pria itu telah menawarkannya buku-buku berhitung yang sudah terlalu lama mendekam di tokonya. Mara senang sekali. Ketika uang tabungannya semakin menipis untuk biaya tambahan Rumah Kertas, seorang malaikat dikirim Tuhan untuk menolongnya, menolong anak-anak Rumah Kertas.

Gadis itu berhenti di emperan ruko. Hujan semakin deras. Daun pisang sudah tidak mampu melindungi tubuhnya. Melihat hanya ada seorang pria berseragam yang duduk di bangku kayu panjang, Mara ikut duduk. Ia meletakkan buku-buku itu di sampingnya. Tasnya sudah penuh dengan buku yang lain.

Tangannya mencari-cari kantong plastik yang kemarin ia selipkan di salah satu bagian tasnya. Buku-buku ini tidak boleh memburuk karena hujan. Setelah selesai memasukkan buku-bukunya ke dalam kantong plastik merahnya, Mara meletakkannya kembali di atas bangku. Tangannya merangkul tubuhnya yang terasa dingin diterpa angin. Matanya menelusuri jalanan yang diguyur hujan. Semerbak bau tanah memenuhi hidungnya. Sore yang indah.

"Buat apa buku berhitung?"

Mara berpaling ke sumber suara. Tidak ada orang lain selain dirinya dan pria berseragam. Oh, dia satu sekolah dengan Mara. Gadis itu tersenyum. "Untuk belajar."

Pria dengan tas selempang kelabu di pangkuannya itu menatap kantong plastik Mara dan pemiliknya bergantian. "Kamu belajar berhitung?"

Mendengar pertanyaannya, Mara ikut menatap kantong plastik merah kucelnya tersebut. Buku berjudul Belajar Berhitung tampak jelas di dalam kantong plastiknya, yang tembus pandang. Dia tertawa pelan. Tidak bersuara. "Buat adik-adikku."

Suara hujan sudah tak seramai sebelumnya. Mara melirik pelan jam silver di tangannya. Pukul lima sore. Meraih kantong plastiknya, Mara bangkit. Gadis itu mengedarkan pandangannya pada jalanan basah yang mulai disinari mentari senja, kemudian berpaling pada pria bermuka indo yang sejak tadi masih tenang di bangkunya. "Saya duluan, ya," katanya sambil menunduk ramah.

Setelah mendapatkan anggukan dan senyum sebagai sebuah balasan, Mara melangkah menjauh. Sebelum dirinya benar-benar keluar dari teras ruko, gadis itu mengulurkan tangannya. Hujan sudah benar-benar berhenti.

Di jalan, Mara kembali mengingat-ingat sisa tabungannya. Hanya tinggal seratus lima puluh ribu. Alat tulis di Rumah Kertas dilihatnya sudah mulai habis. Tidak mungkin dia meminta Disti untuk patungan. Gadis itu sudah menyumbangkan buku gambar baru untuk adik-adik Rumah Kertas.

Mara menyibakkan anak rambutnya yang sedikit mengganggu. Matanya kembali memandang jalanan yang tampak semakin dekat dengan rumahnya. Pikirannya melambung kembali. Sebenarnya tidak masalah jika uang tabungan Mara habis sekalipun, namun ia sudah memiliki rencana untuk membeli beberapa buku akhir bulan ini.

Kak Oka juga sedang sibuk dengan skripsi, Mara tidak mungkin mengganggunya saat ini. Walaupun Kak Oka pernah mengatakan jika ia bersedia membantu jika Mara memerlukan sesuatu.

Gadis berkaca mata itu berhenti di penyebrangan. Melihat jalanan masih sepi, Mara segera melaju tanpa perlu menunggu. Langkah kakinya yang kecil-kecil langsung mengarah pada jalan setapak menuju rumahnya. Ia putuskan untuk menggunakan uang tabungan terlebih dahulu. Lagipula, membeli buku bisa ia tunda sampai uang bulanannya diberikan oleh bunda. Itu tidak masalah. Yang terpenting adalah bagaimana membuat adik-adiknya di Rumah Kertas tetap semangat untuk belajar. Mara ikut senang.

PlatonicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang