u-11

928 188 14
                                    

Tidak ada yang membuka suara setelah mereka duduk di halte bus. Bibir terasa enggan untuk sekedar berbasa-basi.

Tapi Ervin dengan sifatnya yang tidak tahan untuk berceloteh pun mengalah. Mengalah pada egonya. "Ada kabar dari Risya?" tanya Ervin.

Athifa masih tetap bungkam, ia hanya mengedikkan bahunya cepat. Kalau ia kembali bersuara, bisa jadi obrolan mereka akan selalu bertuju satu hal. Satu hal yang membuat Athifa tidak nyaman. Dan Athifa tidak mau hal itu akan berulang lagi, ia akan menunggu otak Ervin bisa berpikir kenapa selama ini Athifa tidak pernah menjawabnya.

"Kadang," ucap Ervin kembali bersuara. "Manusia juga ada rasa lelah, Fa. Gue berpikir, apa salahnya menjadi egois sedikit. If we are reaching for each other, mau gimana lagi? I've tried many times, Fa. Gue pun juga memperjuangkan hak gue, hak untuk merasa dimiliki, hak untuk terbalaskan. Dan lo selalu menganggap usaha gue selama ini adalah sia-sia. Gue seperti gak pantes untuk mendapatkan perasaan lo. Lo hanya bisa menyerah sama keadaan."

"I've tried many times too, Ervin. Sebaliknya, gue yang gak pantes untuk menerima itu semua. Dan gue menghargai perasaan yang lain juga. Karena manusia di bumi ini bukan cuman lo doang." Athifa membuka suaranya pelan.

Ervin tertawa hambar. "Kalau memang dari awal hati itu udah tertuju pada satu hati, memangnya lo bisa apa? Semua orang memang berhak bisa menyukai seseorang, tapi juga tiap hati berhak memilih seseorang yang diinginkan."

Keduanya diselimuti keheningan sementara. Angin yang bersemilir lembut membuat langit yang terik menjadi terasa sejuk. Gemerisik daun dan orang-orang yang berlalu-lalang menjadi latar suara di antara mereka.

"Then, what if I don't want you?"

Ucapan Athifa yang tiba-tiba itu, mampu menampar imaji Ervin detik itu juga.

unrequited.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang