Aku melangkah... tanganku gemetar. Hari makin sore dan senja telah memperlihatkan lukisan terindahnya.Langit yang kemerahan membuat bibirku melengkungkan senyum. Nafasku berhembus teratur mengikuti semilir angin. Hembusan halus ini membuat rambutku yang tergerai berayun mengikuti belaian angin.
Kulihat mobil yang berlalulalang dibawah kakiku. Mobil-mobil itu terlihat kecil dari sini. Jam 5 sore, artinya ini jam orang-orang pulang dari rutinitas mereka.
Mataku menyipit, ah, disana ada seorang pria parubaya sedang menarik dasinya kasar. Aku rasa dia mengalami hal buruk hari ini. Kini mataku beralih kebagian kanan. Ah, disana ada sepasang remaja yang seumuran denganku sedang berboncengan. Kulihat mereka sedang kasmaran. Seragam putih abu-abu, katanya itu masa paling bahagia, dan dua remaja itu seakan membenarkan hal tersebut.
Tapi, kenapa hanya aku yang harus merasakan kalau putih abu-abu hanyalah masa paling buruk.
Aku mengelus perut buncitku. Tidak, perutku membesar seperti ini bukan karena busung lapar. Aku terkekeh, satu bulan lagi. Aku menjadi ..., sial aku benci mengakui aib ini. Aku benci mengakui didalam perutku ini tengah tumbuh makhluk bernyawa. Dan aku benci melihat senyumnya dibawah sana. Senyuman laki-laki paling brengsek.
Aku tertawa meremehkan. Aku benci hidupku. Mataku lagi-lagi mulai memerah, dan air mata ini rasanya sudah tak mampu kutahan. Ah! Aku menatap langit, setidaknya dengan cara begini air mataku tak jadi tumpah.
Langit sekarang mulai menggelap, matahari sudah mulai tenggelam sempurna. Aku menarik nafas, tanganku mengepal. Yah, akan kupenuhi kemauannya.
Aku menatap jalanan dibawahku, sudah cukup. Aku sudah lelah hidup seperti ini. Aku lelah dinjak-injak. Aku lelah disebut siburuk rupa. Dan aku benci pada bajingan itu. Pria yang tak berhati itu tak akan pernah mengakui darah dagingnya. Ini hanya aib baginya. Begitu pula bagiku.
Aku mulai berdiri. Tujuh meter mungkin, yah aku rasa ketinggian ini bisa mambawaku menjauh ... menjauh dari derita ini. Dan memang hal inilah yang harusnya kulakukan sejak dulu.
"Ibu..., maaf Ita harus melakukan ini."
***
"Nikmati saja alurnya ...."
_S_
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA
General Fiction[SEBAGIAN SUDAH DIHAPUS, BISA DIORDER VERSI PDF SAJA] Senja gadis kecil berumur 6 tahun itu harus menerima kenyataan pahit. Terlahir prematur membuatnya bisu. Parasnya yang sangat mirip dengan ayah kandungnya justru membuat trauma sang mama semakin...