Bagian 2

32.4K 1.6K 35
                                    

Kebencian

Hari-hariku terus berjalan normal mungkin terlihat normal. Sesekali aku berpapasan dengannya tanpa sengaja, dan si brengsek itu hanya menatapku datar dan acuh tak acuh.

Dari matanya aku tahu dia ingat semua kejadian malam itu. Tapi akan sangat memalukan baginya kalau sampai semua orang tahu kalau dia meniduri wanita super biasa sepertiku. Bukan tanpa alasan aku berkata seperti itu. Saat dikelas biologi kelasku dan kelasnya dijadikan satu kelas. Saat Miss Luna menjadikanku dan dia satu kelompok, dia menolakku mentah-mentah.

Tapi Miss Luna satu-satunya guru yang tak takut padanya akhirnya kita satu kelompok hari itu. Dan dia berbisik yang mampu membuatku makin membencinya.

"Lupakan kejadian malam itu, itu hanya bikin reputasiku jelek. Kau mengerti?"

Aku berhenti menulis. Menetralkan amarahku dan memasang senyum tipis yang pasti tak menarik tapi cukup membuatnya tahu diri.

"Kerjakan tugas ini dengan cepat dan kita selesai." Ucapku tegas.

Dia mendengus dengan tampang meremehkannya, sungguh aku muak melihatnya. Dan sialnya jam pelajaran ini terasa sangat lama dan menyiksa.

"Sial, aku bener-bener nggak betah." Ocehnya.

Aku memilih diam tak menanggapi. Lebih baik diam dari pada melayani tingkah menyebalkannya. Tak ada gunanya.

Bel istirahat kini benar-benar menyelamatkanku. Aku segera menyerahkan hasil tugas kami dan aku segera pergi dari kelas. Aku melangkah cepat setelah berpamitan. Naga? Dia sudah hilang. Dan aku tak peduli.

Tiba di koridor sekolah aku melangkah pelan menuju atap sekolah. Saat ada diatas sana aku mengadah ke langit. Awan terlihat besar dari sini, matahari bahkan tak terlihat karena ditutupi olehnya. Entah sudah bebarapa kali aku menghembuskan nafasku.

Aku sadar.

Kehidupan ku tak akan normal lagi, semuanya akan menjadi lebih sulit. Aku mengepalkan tangan kuat. Air mataku kembali menggenang. Dan kejadian sialan itu kembali berputar dalam benakku.

Sialan. Apa salahku? Aku tak pernah melawan orang tuaku. Aku tak pernah mennyakiti siapapun. Terus kenapa harus aku?

Entahlah... hanya Tuhan yang tahu.

Minggu demi minggu berlalu. Aku sudah mulai bisa menata semuanya kembali. Memang aku tak akan pernah mengembalikan mahkota berhargaku. Tapi bukankah seorang pemenang tak harus memiliki mahkota?

Aku harap setelah ini semua akan kembali normal. Yah... semoga.

"Nak, kamu kok pucat begini?"

Aku menoleh pada ibu. Telapak tangannya menyentuh dahiku. Dia beristighfar. Wajahnya terlihat khawatir. Aku memegang tangannya. Kuberikan senyum terbaikku.

"Aku baik-baik aja kok bu."

Aku tak mau dia mengkhawatirkan ku. Ibu akan menjawab dan aku menggeleng seraya menggenggam tangannya. "Anak ibu ini ndak papa bu..., Ita berangkat dulu yah." Pamitku seraya mencium tangannya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." Jawabnya.

Aku tahu ibu masih khawatir, tapi....

Aku pun tahu aku tak sehat, tapi mana mungkin aku tega membuat ibu khawatir saat dia bekerja nanti. Aku harus kuat. Bahkan aku harus tegar mengetahui fakta terburuk ini semalam.

Aku melangkah pelan di koridor sekolah. Hatiku ragu dan takut. Haruskah aku mengatakan ini padanya. Ku genggam benda panjang pipih itu. Kucoba meyakinkan diri. Setidaknya dia harus tahu fakta ini. Aku tak berharap banyak.

SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang