Pagi ini terasa sangat canggung. Sagita masih bersikap dingin, entah sudah berapa kali Senja melemparkan senyum tulusnya, tapi Sagita hanya mengacuhkannya. Bocah enam tahun itu benar-benar terlihat mengagumi mamanya. Namun semuanya tak seperti yang diharapkannya.
Senja akhirnya hanya sarapan dengan wajah yang sangat murung. Anak kecil sepertinya cuma ingin disayang oleh mamanya. Dan dia tak mengerti kenapa mamanya sangat menolak dirinya. Neneknya hanya berusaha bersabar melihat sikap anaknya yang masih menyimpan kebencian pada masa lalunya.
"Ita hari ini mau pergi, mau lihat lokasi tempat cabang roti yang disini."
"Iya," wanita renta itu melirik cucunya yang terlihat memperhatikan ibunya. "Bisa kamu bawa Senja juga? Ibu mau pergi ke rumah bu Rami, kasihan dia kalau sendiri disini."
Senja terlihat kembali bersemangat. Dia tahu neneknya menyuruhnya ikut sang ibu.
Sagita masih melahap sarapannya. "Tidak bisa, aku tak mau repot nanti disana." katanya dingin.
"Senja penurut kok nak, dia pasti akan nurut sama-"
"Bu, Ita nggak bisa. Bisakah ibu mengerti?" Katanya kesal.
Senja tahu dirinya ditolak, dan dia kembali murung.
Sagita langsung meminum airnya dengan sekali teguk dan pergi meninggalkan meja makan.
Senja hanya bisa menatap neneknya dengan pertanyaan mengapa?
Cucunya benar-benar terlihat terluka. "Sabar yah nak, mama lagi capek. Kamu mau bersabar?"
Senja masih menatap mengapa? Tapi akhirnya dia menunduk. Bocah kecil itu terlalu perasa. Dia bahkan sangat sadar kalau dirinya berbeda dari yang lain. Dia tahu dirinya tak sempurna tapi dia sudah berjanji tak akan menangisi hal itu. Dia tak mau membuat neneknya sedih. Seperti kata sang nenek, Senja adalah anak yang spesial dan kuat. Dan dia bangga akan hal itu.
Sagita menghembuskan nafasnya. Hari ini dia lebih memilih segera menyibukkan diri dengan sesuatu yang menurutnya bermanfaat. Seperti sekarang melihat lokasi untuk toko roti cabangnya di kota ini.
Toko roti dan kuenya di Medan sudah besar. Usaha yang dulu dirintis bersama kakak Natasya, Agatha memang maju pesat. Mereka bahkan memiliki 4 cabang di Medan.
Keputusan membuat cabang bukan ide dadakan. Dia sudah menyusunnya jauh-jauh hari. Demi ibunya, dia ingin menghabiskan masa hidup bersama malaikatnya itu. Senja, nama itu sebenarnya tak sekalipun dilupakannya.
Saat dirinya memutuskan membangun cabang tokonya disini itu artinya dia juga harus siap menghadapi masa lalunya. Jelas hal itu yang membuatnya menunda-nunda niatnya itu sejak dua tahun yang lalu. Dia merasa sangat bingung harus bersikap seperti apa pada Senja.
Hati nuraninya ingin merengkuh putri kecilnya tapi egonya tak bisa mengalah. Melihat senyum itu tawa itu benar-benar sangat mengingatkan pada pria bejat itu.
Menerima Senja membuat egonya makin terusik. Entahlah sampai kapan dia bisa menerima anak itu seperti permintaan sang ibu.
"Bagaimana? Tempatnya classic kan Ta, sesuai harapanmu bukan?" Natasya berhasil membuyarkan lamunan sahabatnya.
Sagita tersenyum. "Aku tahu kamu pasti ngerti apa yang aku mau Sya. Thanks ya."
"Tempat ini udah aku incar satu tahun yang lalu Ta. Ini bekas tempat toko roti juga tapi sejak pemiliknya meninggal 7 tahun yang lalu tempat ini dibiarkan kosong."
Sagita mengernyit. "Tujuh tahun? Kenapa tak ada yang melanjutkan bisnisnya."
Natasya cuma menaikan bahunya. "Tidak ada yang tahu. Padahal kata orang rotinya sangat enak. Dan anehnya semua pembeli toko ini ditolak mentah-mentah sama yang punya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA
General Fiction[SEBAGIAN SUDAH DIHAPUS, BISA DIORDER VERSI PDF SAJA] Senja gadis kecil berumur 6 tahun itu harus menerima kenyataan pahit. Terlahir prematur membuatnya bisu. Parasnya yang sangat mirip dengan ayah kandungnya justru membuat trauma sang mama semakin...