five

87 6 2
                                    

Habis membuka pintu masih dengan tatapan sedikit terkantuk, Sou berjalan sambil sesekali mengucek-ngucek kedua matanya. Kemudian menguap lebar, punggung tangan kanannya refleks menutup mulut. Sou mengerjap sekali sebelum dengan jelas mendapati Shori tengah duduk di sofa, pandangannya lurus ke arah televisi.

"Ah," hanya itu yang Shori katakan waktu menyadari kehadiran Sou yang baru saja keluar dari kamar. "Sudah bangun?" tanyanya lantas, menggunakan nada agak apatis yang seakan-akan bukan menjadi masalahnya kalau semisal Sou baru bangun tengah hari nanti sekali pun.

Sou mengangguk pelan, berjalan lagi ke arah sofa, membiarkan dirinya duduk di sisi kanan Shori setelah sampai; matanya masih mengerjap-ngerjap.

Kemudian berkebalikan dengan nada pertanyaannya yang tadi, Shori kali ini malah tertawa kecil. "Sana, cuci muka, gosok gigi," katanya sambil tersenyum-senyum memandangi wajah Sou yang terlihat kusut, mengabaikan televisi yang masih menyala di depan mereka.

"Mmmhh," Sou bergumam tidak jelas sebelum beranjak dari posisi duduknya dan lekas berjalan dari sana, tidak tahu ke mana, barangkali menuruti apa yang Shori perintah tak lebih dari satu menit lalu.

Shori kembali memfokuskan matanya pada tayangan sebuah acara di televisi yang sebetulnya tidak terlalu menarik; tapi dari pada tidak ada kegiatan apa-apa, ya sudah, pikirnya. Nyaris lima menit terlewat. Shori menoleh ketika menyadari keberadaan seseorang yang tahu-tahu ternyata Sou, sudah kembali duduk dengan pancaran wajah lebih baik dari yang tadi, tatapan matanya tidak lagi sayu.

"Sekarang jam berapa?" tiba-tiba Sou bertanya, sepenuhnya sedang tidak tertarik pada tayangan televisi.

"Hmm," gumam Shori. Ia harus benar-benar memastikan selama beberapa detik agar perkiraannya tidak jauh melenceng. "Sepuluh?" katanya, nadanya terdengar agak ragu disertai sebuah tanda tanya yang retorik.

Kedua mata Sou seketika menjadi lebih lebar dari biasanya. "Ah," decaknya sambil menoleh cepat ke arah Shori yang tidak juga lepas pandangannya dari layar televisi, seolah-olah ada sesuatu yang ia lupakan dan baru saja disadari. "Berarti Shori—"

"Sudah sarapan, aku buat sendiri," kata Shori, dengan santainya memotong sesuatu yang mungkin saja baru akan Sou simpulkan, atau ditanyakan padanya; Shori merasa tahu Sou akan bicara apa. "Jadi, tanpa kau juga aku bisa makan, 'kan," tambahnya bersamaan seulas senyum lebar, membanggakan diri, tapi objek matanya tidak berpindah.

"O-oh." Sou menurunkan nada bicara. "Tidak butuh aku lagi, ya."

Shori melirik ke kanan, mendapati Sou yang tengah memandangi lantai sambil cemberut—dan Shori mulai diam-diam tertawa kecil tanpa suara, merasa telah berhasil mempermainkan Sou, dalam hati berharap lelaki itu tidak menyadari tawanya.

"Shori."

"Iya?" Shori menghentikan tawa, tapi masih bersisa senyum. Sou melanjutkan konversasi, dan lagipula Shori tahu betul Sou tidak bisa lama-lama terjebak dalam keheningan, dirinya juga.

"Aku lapar," kata Sou setelahnya.

Kedua ujung alis Shori hampir saling menyinggung, dahinya berkerut. Kalimat yang tadi kesannya tidak berarti. "Ya ...," jawabnya agak menggantung, memberi jeda tidak sampai dua detik. "Makan sana. Aku sudah siapkan."

"Makan Shori, ya."

"Eh." Kemudian yang Shori sadari, Sou menciptakan suara tidak jelas dari bibirnya yang terkatup sebelum mereka saling menoleh satu sama lain, senyumnya sedikit tertarik; membuat Shori benar-benar tidak peduli lagi pada televisi yang acaranya baru berganti. Shori ingin memastikan dahulu apakah telinganya tidak salah dengar, tapi di detik selanjutnya ia malah menantang dengan suara pelan, "O-oke. Kalau berani."

Sou melirik sebentar ke atas. "Benar, ya?" tanyanya setelah menangkap pancaran mata Shori tanpa berkedip, mengalungkan tangan di lehernya, dengan gerakan cepat menghapus jarak antara bibir mereka sambil terpejam.

Tidak terlalu mengejutkan, tapi sedikit. Ia berada di antara keduanya—sudah menduga Sou akan mengajaknya bermain-main, atau tidak menduga sama sekali tentang hal ini. Namun sambil menepis pikiran-pikiran tidak penting tersebut, bibir Shori mulai bergerak mengikuti tempo, membalas ciuman yang Sou berikan tanpa terduga, menutup matanya.

Bibir mereka sama-sama terbuka pada akhirnya, membiarkan masing-masing menjelajahi isi milik satu sama lain tidak peduli sudah ada berapa sekon yang menjeda napas keduanya. Tanpa sadar kekuatan kedua tangan Sou kian lemah, bahkan tidak mencengkeram leher Shori sama sekali menggunakan jari-jarinya.

Dan tanpa sadar pula Shori malah memanfaatkan kesempatan untuk balik menyerang; tangannya dengan hati-hati menyingkirkan lengan Sou dari lehernya, tautan di bibir mereka belum juga terlepas. Tampaknya Sou semakin masuk pada permainannya.

Shori menggenggam kuat ujung kedua bahu Sou sebelum mendorongnya ke bawah. Posisi Shori sudah berada di atas. Pelan-pelan tangannya mulai nakal bermain, menggelitik pelan lehernya, tapi respons yang Sou berikan hanyalah seperti berupa tanda bahwa Shori dapat melakukan apa saja yang ia inginkan.

Maka tangan Shori semakin turun hingga tiba di kancing paling atas pada piyama yang Sou kenakan, seperti biasa menggunakan pergerakan yang amat hati-hati melepas si kancing dari lubangnya.

Namun Sou dengan refleks memberi reaksi yang berbeda.

Ialah yang pertama menghentikan ciuman itu sambil mendorong pelan dadanya, membuat Shori ikut spontan menghentikan kegiatan tangannya ketika kancing kedua hampir saja berhasil lepas.

"Ugh, sana, me-menyi ... ng ... kir ...," katanya dengan suara tertahan akibat menipisnya energi, salah satu faktornya adalah karena sembari menopang berat tubuh Shori yang berada di atasnya, masih tidak menyangka Shori malah balik bermain-main setelahnya.

Shori segera mengubah posisinya menjadi seperti semua, duduk tegap, Sou masih bersandar pada lengan sofa akibat ulahnya, nyaris bisa disebut sebagai posisi terlentang. Ia tertawa.

Sou sibuk membetulkan kancing piyamanya.

"Malah aku yang jadi sarapan dua kali, kalau begini," Shori akhirnya mengeluarkan kata-kata, tawanya semakin samar tapi senyumnya tidak hilang.

"Curang," kata Sou setelah memastikan kancingnya terpasang kembali. Kemudian menoleh ke kiri, memandangi Shori yang mengenakan kaus merah dengan seksama sebelum mengalihkan pandangannya ke depan dan mulai bicara lagi, "Cuma aku yang ada kancingnya."

Lantas Sou berdiri, Shori hanya menatap punggungnya.

"Aku tidak mau makan Shori lagi."

[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

welcome home | shorisouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang