Malam pun tiba, suasana malam ini benar-benar sepi. Handphone yang selama beberapa minggu terus berdering, kini menjadi sepi tanpa satupun kabar dari Rey. Hanya pikiran khayalan saja yang membuat suasan malam terasa hidup, tapi pada akhirnya malam itu berakhir sesuai alunan alur yang telah disusunnya sendiri.
Keesokan harinya, gue bangun dengan tubuh yang lemas, pikiran yang kacau. Tidak ada sedikit pun niat untuk meninggalkan kasur dan pergi ke sekolah.Tapi akhirnya gue pun terpaksa bangun, karena ulangan aljabar yang sudah menunggu.
Sesampainya di sekolah, tempat yang pertama kali gue lirik adalah 'kelas Rey'. Walaupun kelas gue dan Rey bersebrangan, gak menghilangkan niatan gue untuk duduk di samping jendela dan menatap kelas Rey dengan tatapan kosong, berharap Rey berdiri di jendela kelasnya dan membalas semua tatapan kosong yang gue berikan. Suasana itu terus berlanjut selama kurang lebih sepuluh menit, sampai akhirnya suara bel masuk memudarkan semua tatapan kosong gue.
.
.
Biologi, pelajaran pertama yang ada di hari itu, gue paling benci dengan pelajaran ini, gue benci di saat gue harus menghafal semua bahasa latin dan gak ada satupun soal yang keluar saat ulangan. Mood gue semakin kacau saat Bu Rachel memanggil gue untuk menjawab soal yang sedang dibahas."Kyla, nomor sebelas apa jawabannya?"
'Mampus gue, gue lupa ngerjaiin pr.'
gumam gue dalam hatiTerpaksa gue menanyakan jawabannya kepada Tharisca, teman sebangku gue.
"Ris, jawabannya apa?"
"Jawabannya A Ky."
"Oke thankyou ya!"Sesudah gue menanyakan jawabannya, gue menjawab pertanyaan Bu Rachel dengan pd karena gue yakin jawaban Risca anak ranking satu yang gak pernah pelit jawaban itu pasti benar.
"Yang A, Bu."
"Iya betul, perhatikan ya, kamu jangan melamun saja."
"Iya bu."*teng teng
Bel pelajaran pertama berbunyi, lega rasanya pelajaran Biologi selesai, selanjutnya adalah pelajaran matematika, seharusnya hari ini diadakan ulangan aljabar tetapi tak lama kemudian Marquel si KM, menuliskan beberapa tugas yang harus diselesaikan karena Pa Yadi sakit dan tidak bisa masuk. Sesuai dengan tradisi pada umumnya, yang mengerjakan hanyalah anak-anak ranking satu, dua, dan tiga, setelah mereka selesai mereka akan mengedarkan jawabannya dan kita semua menyalin, tentu saja gue termasuk ke dalam kelompok orang banyak itu.
Dua jam pelajaran matematika yang biasanya sangat terasa lama kini berakhir dengan cepat, karena memang faktanya saat di kelas tidak ada guru waktu akan berlalu dengan sangat cepat.Istirahat pun tiba, sesuai dengan kebiasaan gue, gue selalu ajak Tiara untuk berdiri di pinggir kelas dan memandang lapangan futsal, yap! Tujuan gue untuk melihat Rey bermain futsal. Namun, beberapa saat kemudiam semua kenangan mulai kembali lagi terlintas, ingatan-ingatan yang sudah mulai memudar kini seakan menjadi fokus kembali saat gue sadar sikap Rey yang sekarang akan sangat berbeda seperti dulu.
Dulu, setiap istirahat dia selalu menyapa dengan lambaian tangannya, dengan ke-khasan isyarat kepalanya dan juga gerakan bibirnya, dia juga sering ngajak gue untuk makan atau sekedar istirahat bareng, dia juga sering mampir ke kelas dan duduk di sebelah gue, kita akan menceritakan sesuatu yang gak penting, sesuatu yang aneh, tapi percakapan-percakapan itu merupakan moment yang paling special. Sampai akhirnya air mata itu sudah tak tertahan lagi dan mulai membasahi pipi.Bel masuk pun berbunyi, gue langsung menghapus air mata yang membasahi pipi dan mulai mengikuti pelajaran.
Semua pelajaran hari ini terasa garing dan membosankan, sampai waktu yang ditunggu -tunggu datang yaitu bel pulang sekolah.
.
.
Sore harinya, hujan turun dengan deras, ditemani alunan lagu mellow dari radio, dan suhu dingin yang membuat suasana menjadi semakin dingin, dan merekalah sahabat yang setia untuk menemani orang-orang yang terus berharap tanpa mengetahui cara untuk berhenti.
Rey hanyalah sesosok lelaki yang melintas dan memberi sedikit coretan warna dan pengalaman awal, tetapi sangat sulit untuk merelakan dan membiarkan semua kenangan itu pergi.
YOU ARE READING
Thousand Feelings
Teen Fiction"Otakmu tidak memiliki hati, dan hatimu tidak memiliki otak." Saat itulah kamu harus bijak memilih apa yang akan kamu gunakan, karena saat kamu berpikir dengan otak kamu akan terlihat kejam, dan saat kamu berpikir dengan hati kamu akan terlihat bod...